Don't take power personally - Richard L Daft
Banyak orang ingin menjadi pemimpin dan berada di puncak sebuah organisasi, tidak hanya mau, Â tetapi ingin banget tak tertahankan seakan sudah berada di ubun-ubun kepalanya. Dan Anda sudah bisa menduga, kalau kebelet ini sudah datang, segala cara akan dilakukan demi mewujudkannya.
Betul, akhir-akhir ini, pemberitaan rame sekali sejumlah tokoh ingin menjadi RI-1, menjadi Presiden negeri ini. Walaupun agendanya di tahun 2024 nanti, tetapi sekarang para tokoh ini sudah tampil seakan sudah menjadi orang nomor satu di dalam republik ini.
Ini tidak salah, dan sah-sah saja, bukan ?! Tetapi, ketika niat yang sudah memuncak tidak bisa dikendalikan lagi oleh diri sendiri, maka umumumnya hasilnya tidak baik, mengecewakan dan bahkan menjadi "dagelan" publik yang menyakitkan.
Bijaksana bila merenungkan nasehat pakar kepemimpinan agar mampu mengelola 'kebelet" menjadi pemimpin. Richard L. Daft (2018) mengatakan, "do not take power personally" - jangan merebut kekuasaan itu secara pribadi, demikian salah satu sub judul dalam buku teksnya The Leadership  Experiennce yang dipakai secara global.
Semua pemimpin dan calon pemimpin harus menyadari makna dan pesan ini agar terhindar dari bahaya dan kekacauan yang potensi terjadinya akan sangat tinggi, dan bisa merugikan banyak pihak untuk waktu yang panjang.
Pertama, menjadi seorang leader harus melibatkan banyak orang sebagai follower, stake holders, lingkungan baik yang dekat maupun yang luas, orang atau lembaga yang sudah ada bahkan yang akan ada, semua terkait dengan peran dan kiprah seorang pemimpin dalam organisasi.
Kehadiran seorang pemimpin akan membawa dampak bagi kehidupan orang lain, karena sesungguhnya, peran pemimpin itu adalah membawa dan membuat perubahan, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tertinggal menjadi maju, dari miskin menjadi kaya yang semuanya dikemas dalam tujuan, visi dan misi serta target yang harus diwujudnyatakan secara seksama.
Kedua, kepemimpinan itu menjadi kesempatan untuk menggunakan segala kekuatan dan pengaruh demi mewujudkan tujuan ortganisasi, tetapi kekuasaan juga ada kecenderungan disalahgunakan. Dan ketika kekuasaan salah digunakan maka akan melukai dan menyakiti orang lain.
Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan pada dasarnya adalah demi kepentingan sendiri dan ataupun kepentingan kelompoknya.
Ini sangat berbahaya dan merusak, tidak saja untuk sekarang tetapi untuk jangka panjang karena efek kerusakan dari penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang leader berdampak multi dimensiaonal dan deret ukur. Yaitu, ketika orang lain, pesain-pesaing terus maju dan berkembang meninggalkan lawan-lawannya.
Memimpin, Bukan Urusan Pribadi
Kesalahan fatal para pemimpin maupun calon pemimpin adalah ketika mereka tidak paham bahawa memimpin itu bukan urusan pribadi tetapi beurusan dengan orang lain. Kepemimpinan hanya bisa dimengerti dalam relationship antara seorang leader dan banyak follower, antara organisasi dengan lingkungan masyarakat yang langsung atau tidak langsung.
Dan karenanya, sangat banyak pemimpin yang gagal dan tidak berhasil bahkan hancur karena merasa kepemimpinan itu urusan pribadinya sendiri. Sebaliknya, pemimpin yang berhasil, sukses dan diidolakan oleh publik bahkan ditahan menjadi pemimpin selamanya karena mengutamakan kepentingan pengikut ketimbang urusan pribadinya.
Hal ini tidak sulit dimengerti, karena ketika seseorang menjadi pemimpin, maka dia memiliki power, kekuasaan dan kekuatan serta semua sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya. Dan sesungguhnya sumber utama kekuasaan seorang pemimpin itu berasal dari pengikutnya, dari followernya dan dari stake holder organisasi yang dipimpinnya.
Artinya, ketika pengikutnya tidak percaya lagi kepada pemimpinnya maka sumber kekuasaan itu hilang, dan secara riil pemimpin tidak memiliki peran dan fungsi membuat perubahan. Dan karenanya lebih baik dia berhenti, turun dan mengundurkan diri saja dari takhta posisi leadernya.
Pemimpin Harus Etis
Pemimpin dan kekuasaan serta pengaruh merupakan sisi-sisi yang tidak terpisahkan dan menyatu sedemikian ketatnya sehingga sering kali susah memilah dan memisahkannya. Hanya para pemimpin hebat, bijaksana lah yang mampu tampil dengan tegas dan jelas memisahkan sisi-sisi itu dengan elegan. Dan publik menyadarinya, kendati tidak mudah mengungkapkannya.
Ketika pemimpin bermain-main dengan kekuasaan yang dimiliknya, akan nampak dua hal ektrim disana, yaitu :
- Personalized Leaders, yang mempertontonkan keegoisan serta kelakuan impulsif  seorang pemimpin yang menggunakan kekuasaaan untuk kepentingan diri sendiri.
- Socialized Leaders yang menjalankan semua fungsi dan peran kepemimpinannya untuk memberdayakan, mendukung dan menopang serta mengeksekusi semua power dan pengaruh yang dimilikinya hanya untuk kepentingan pengikutnya dan  organisasi secara menyeluruh.
Artinya pemimpin itu tidak bisa lepas dari etika, etis atau tidak etis dalam menjalankan kekuasaannya. Celaka-nya pula, bahwa justru aspek etika ini yang paling cepat dilihat, dirasakan oleh para pengikut dan orang lain. Dan dipastikan bahwa  respon pertama publik langsung menohok pada etis atau tidak etis si pemimpin ini.
Jangan kaget, kalau wilayah media sosial itu menjadi arena "penghakiman" publik kepada seorang pemimpin. Persoalan, benar atau salah, riil atau fitnah, itu menjadi urusan lain.
Oleh karena itu, maka setiap pemimpin harus menyadari dan membuat pilihan etis ketika menjalankan tupoksi-nya dengan menjawab dengan jujur 4 pertanyaan berikut:
- Apakah tindakan yang diambil dimotivasi oleh kepentingan pribadi atau konsisten dengan kepentingan organisasi?
- Apakah tindakannya menghargai hak-hak individu dan kelompok yang terpengaruh?
- Apakah tindakan memenuhi standar keadilan dan kesetaraan?
- Apakah pemimpin ingin agar orang lain berperilaku dengan cara yang sama?
Menarik, sebab apabila seorang pemimpin jujur pada dirinya sendiri, maka keempat pertanyaan diatas akan menjadi panduan etis yang sangat ampuh.
Artinya, tuntutan kesadaran etis bagi seorang pemimpin akan menjadi sangat efektif agar orang lain tidak tersakiti, dan terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki. Serta mengembangkan perspektif, bahwa pemimpin itu bukan mendapatkan keuntungan pribadi tetapi mewujdukan tujuan yang bermanfaat bagi seluruh organisasi.
Kebelet, Don't Take Power Personally!
Kebelet menjadi Pemimpin? Kebelet menjadi RI-1? Kebelet menjadi CEO? Kebelet menjadi Direktur?
Jawabannya, jangan!Â
Sebab, saat kebelet dan ubun-ubun sudah mau pecah, maka kecenderungan anda akan melakukan segala cara untuk mengambil kekuasaan itu sacara pribadi.
Richard L. Daft menasegat, don't take power personally! Titik. Karena menjadi pemimpin bukan urusan pribadi tetapi urusan orang lain.
Tetapi, kalau Anda memaksakan, maka dipastikan cara anda pasti tidak etis, melanggar kode etik kepemimpinan, dan etika publik, baik lokal, nasional bahklan etika kepemimpinan global.
Tetapi, Anda berhasil menjadi Leader, walaupun secara personally. Itu betul, tetapi Anda akan menjalankan tugas kepemimpinan dengan cara "brutal" memanfaatkan segala kesempatan demi kepentingan pribadi.Â
Sangat mungkin Anda berhasil untuk jangka pendek tetapi tidak untuk jangka panjang.
Sangat mungkin pengikut tidak setuju dengan Anda, tetapi mereka baik-baik saja di muka, tetapi sakitnya di dalam.
Kebelet jadi pemimpin, lebih jangan. Sebab hidup Anda tidak akan nyaman seumur hidup dan akan terus menjadi acuan atau referensi dari generasi ke generasi.
Yaitu referensi "kebelet" jadi pemimpin, yang selalu ditutup dengan pesan, jangan mengikuti jejak orang ini !
Yupiter Gulo, 10 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H