Pelarangan mudik lebaran 2021 nampak seperti setengah hati dari pihak pemerintah. Bahkan larangan yang dikeluarkan berlaku sejak tanggal 6 Mei 2021 lebih cocok sebagai himbauan saja. Artinya sekedar menghimbau tetapi tidak memaksakan.Â
Sanksi yang melanggar larangan mudik ini pun, nampak tidak digubris oleh pemudik nekat. Karena disediakan rumah isolasi, rumah karantina kalau ketangkap. Â
Akhirnya, para pemudik tetap saja nekat dan untung-untungan kalau di antigen reaksi negatif mereka aman. Kecuali di beberapa daerah tetap dikarantina 14 hari.
Larangan setengah hati untuk urusan mudik lebaran 2021, kelihatan dari ketidakmerataan penyekatan, walaupun jalan-jalan tikus sudah termasuk disekat, tetapi kisah para pemudik nekat, selalu saja ada cara untuk bisa melewati. Walaupun harus dibayar sangat mahal dan berisiko. Tidak saja dari waktu yang panjang, energi, dan risiko bagi keluarga yang mudik.
Harian Umum Kompas pada Senin 10 Mei 2021, melaporkan bahwa walaupun sudah dilarang mudik masih ada sekitar 27 juta warga yang tetap mau mudik. Jumlah ini sekitar 11% dari sekitar 33% warga yang mengaku akan mudik lebaran bila tidak dilarang. Data menurut Kementerian Perhubungan mencatat data tertinggi ada di Jawa Tengah 37%, di susul 23% di Jawa Barat dan Jawa Timur sekitar 14%.
Nekat Mudik
Bila ditanyakan mengapa warga nekat mudik walaupun sudah dilarang, mereka pasti memiliki jawaban yang sangat kuat dan sah. Sebab kalau tidak ada alasan, maka mereka tidak akan nekat mudik.
Kelihatannya warga mudik nekat paham betul sikap pemerintah yang "sangat tidak tegas" mengamankan pelaksanaan pelarangan itu secara menyeluruh tanpa kecuali. Memang, menjadi serba tanggung dan serba salah. Karena sesungguhnya ritual mudik lebaran menjadi sumber daya lain yang bisa menggerakkan ekonomi nasional.
Dilematis Pelarangan
Pada akhirnya pemerintah menghadapi situasi yang serba dilema. Lihat saja, pengucuran THR sekian puluh triliun menjadi salah satu target untuk mendongkat kegiatan ekonomi di masa resesi sekarang ini.