Profesor Arief Budiman sudah meninggal setahun yang silam, tepatnya 23 April 2020, tetapi memori tentang beliau masih terus hidup dan malah semakin digali, terutama tidak saja oleh para mantan murid-murid dan teman sejawatnya, tetapi juga komunitas keilmuan di bidang seni, biduaya, sosial bahkan juga ekonomi dan politik.Â
Sejumlah webinar terus bergulir untuk mengenang, merefleksikan dan mendokumentasikan perjalanan eksistensi seorang Arief Budiman yang dianggap sebagai legasi penting bagi komunitas keilmuan Seni Budaya dan Sosial.Â
Sebuah tanya yang menarik, mengapa Arief Budiman memilih Salatiga sebagai tempat tinggal sejak pulang dari Amerika Serikat setelah menyelesaikan PhD programnya di Harvard University, dan tidak kembali ke kampus almamaternya di Universitas Indonesia Jakarta pada tahun 1980?
Pertanyaan ini terungkap dan dijawab dengan gamblang dalam acara Webinar Nasional bertajuk "Arief Budiman Dalam Kenangan" pada Rabu sore 5 Mei 2021 yang digelar  oleh Fakultas Interdisiplin dan FISKOM Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.Â
Sebuah acara refleksi yang menghadirkan 4 orang Profesor sebagai nara sumber, yaitu Prof. Melani Budianta dari Universitas Indonesia, Prof. Ariel Heryanto dari Monash University Australia, Prof. Vedi Hadiz dari University of Melbourne, dan Prof. Nico Schulte Nordholt dari University of Twente Netherlands, serta Doktor Kamala Chandrakirana. Dan dipandu langsung oleh Dekan Fakultas Interdisiplin UKSW, Dr. Titi S. Prabawa.
Ada alasan utama mengapa Arief tidak tinggal di Jakarta dan melanjutkan perjuangan dan karir akademik, seni dan budayanya. Dan malah pergi ke desa kecil di kaki gunung Merbabu yaitu di kampus UKSW Salatiga Jawa Tengah.Â
Pertama, kota Jakarta tidak sesuai lagi dengan apa yang dibayangkan dan diinginkan oleh Arief Budiman.Â
Ketika menginjak kota Jakarta sekembali dari AS, dia kaget luar biasa dan merasa asing sama sekali dengan kemajuan yang dicapai selama ini.Â
Dia merasa ada yang hilang dari Jakarta ini. Dan dia merasa perlu mencari apa yang hilang itu. Dan karenanya dia memutuskan untuk tidak tinggal di kota kelahirannya Jakarta.
Ini bukan main-main, karena bisa ditemukan jejak ini dalam rangkaian tulisan Arief Budiman, baik buku maupun artikel-artikel di koran dan dimajalah.
Kedua, Arief Budiman memilih Salatiga, tepatnya memilih UKSW yang ada di Salatiga untuk melanjutkan perjalanan karir akademiknya karena UKSW memiliki lembaga yang dikenal dengan LPIS (Lembaga Penelitian Ilmu Sosial) yang sangat cocok dengan passion keilmuan Arief Budiman.Â
Alasan kedua ini, sangat menarik dan bahkan baru saja terungkap pada webinar nasional ini.
 Melalui Prof. Nico lah terungkap mengapa Arief harus memilih UKSW Salatiga tempat berkarir.Â
Sebelum kembali ke Indonesia, Arief bertanya kepada Prof. Clifford Geerd (salah seorang guru besar Arief Budiman di Harvard University) dan dijawab : "agar Arief bekerja di UKSW Salatiga karena mereka memiliki LPIS dan mempunyai "Jurnal" bernama Tjakrawala", demikian dikisahkan kembali Nicolas.Â
Ketiga, mengapa UKSW menerima seorang Arief Budiman yang memiliki latar belakang yang agak ekstrim waktu itu?Â
Alasan ini menjadi bagian dari cerita Prof Nico pada alasan kedua yang juga jauh lebih menarik lagi.
Dia naik bus malam dari Jakarta ke Salatiga, langsung menghadap Dr. Sutarno, dengan celana jeans, bukan pake sepatu, hanya baju t-shirt, dan sebuah ransel. Dan bertanya ke Rektor UKSW "apakah saya boleh menjadi pengajar di UKSW?". Dan Sutarno pun menyetuji, bahkan pagi itu langsung diatur untuk memulai bekerja.
Arief diterima karena memang UKSW sudah memiliki oreintasi inklusif dan terbuka dengan tokoh sekaliber Arief Budiman.
Dan dikemudian hari kita bisa menyaksikan bahwa Arief Budiman memilih tetap tinggal di kota Salatiga, bahkan membangun rumah tinggalnya di kota Salatiga.Â
Walaupun dalam perjalanan karirnya, beliau harus keluar dari UKSW dan pindah ke Australia menjadi guru besar pada Univeristas Melbourne di Australia.Â
Tetapi dia tetap menjadi warga kota Salatiga. Bahkan ketika beliau sakit-sakitan dan sudah emeritus hingga meninggal dia tetap bersama dengan istrinya di rumah tinggal mereka di Salatiga.
Prof. Arief Budiman telah menjadi sebuah ikon pada masa Orde Baru dan menjadi referensi dalam banyak diskusi dan dinamika menyangkut bidang kajian dan profesinya.
 Jejaknya masih hidup, sebagai akademisi sangat banyak buku, tulisan dan hasil-hasil penelitian yang tersimpan dan terdokumentasi untuk dijadikan referensi bagi generasi berikut.
Yupiter Gulo, 5 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H