Minggu terakhir Maret 2021 pasti akan dikenang karena peristiwa bom bunuh diri pasangan suami istri di depan gedung Katedral Makasar dan serangan seorang wanita di Mabes Polri Jakarta yang langsung tewas ditempat karena serangan balik para polisi. Kedua peristiwa ini menggegerkan bangsa ini, yang nampak seperti "baru siuman" dari sebuah kenyaman dan merasa kecolongan seperti yang diakui oleh pihak Mabes Polri sendiri.Â
Akhir Maret "kelabu" menjadi lebih mudah diingat karena pada saat yang sama, umat Kristiani memasuki pekan suci menuju Jumat Agung dan Paskah 2021. Lalu sebuah pertanyaan yang menggoda, adakah korelasi peristiwa paskah dengan fenomena bunuh diri yang seakan menjadi "model" jalan pintas sebuah keputusan yang  benar "sesat"?. Mungkin tidak perlu jawaban atas pertanyaan ini, kecuali sebuah pintu perenungan bahkan kontemplasi memahami kecenderungan yang sedang dialami oleh manusia di tengah perubahan zaman yang semakin "edan" barangkali!?
Bunuh Diri : Fenomena Serius
Apa yang dilakukan oleh pasutri Lukman dan YSF di depan gedung gereja Katedral Makassar dan yang dilakukan oleh seorang wanita Zakiah Aini menyerang Mabes Polri, ujung kisahnya sama dan serupa, bunuh diri karena sebuah keyakinan. Lalu, fakta-fakta yang terkuat dari dua kejadian ini semakin menarik karena membuka mata banyak orang bahkan mata hati publik seakan tersentak. Bayangkan saja, usia masih mudah 25 dan 26 tahun, tergolong generasi milenial harus mengakhiri hidup dengan "sia-sia".
Terlepas dari cara untuk bunuh diri, tetapi trend fenomena bunuh diri ini semakin serius dari tahun ke tahun. Dan harusnya tidak boleh dianggap remeh apalagi dianggap angin lalu saja. Denny JA, dalam sebuah artikelnya yang beredar luas di media sosial berjudul "Statistik sernagan bunuh diri dan Kisah Hassen Fahmideh" meringkas fakta-fakta menarik yang dilansir dari "Chichago project in security terorism".
Bahwa antara tahun 1981-2015, terjadi 4814 serangan bom bunuh diri di sekitar 40 negara di seluruh dunia dan manusia yang terbunuh dan mati sekitar 45.000 orang. Kompliasi fakta menjelaskan kecenderungan penyimpangan perilaku manusia di jagad ini :
- (i) periode tahun 1980-an terjadi bunuh diri sekali dalam 3 tahun,Â
- (ii) pada periode tahun 1990-an terjadi bunuh diri sekali dalam sebulan,Â
- (iii) pada periode tahun 2001 - 2003 terjadi bunuh diri sekali dalam seminggu, danÂ
- (iv) pada periode tahun 2003 - 2015 terjadi bunuh diri setiap hari.
Bagaimana dengan periode tahun 2015 sampai sekarang dan yang akan  datang? Data statistik diatas memberikan jawabannya sederhana, akan terus meningkat angka kematian karena bunuh diri, bisa saja hitungannya bukan hari lagi tetapi mungkin setiap jam ada yang bunuh diri, bahkan menit ke menit. Sebuah fenomena yang harus menyadarkan semua orang agar pro-aktif menjadi bagian dari penyelesaian masalah ini.
Bunuh Diri : Memiliki Otoritas Atas Hidupnya
Jawaban atas pertanyaan mengapa orang mengambil jalan super pintas yaitu bunh diri, menjadi area yang tiada akhir yang lebih banyak mengudang kontroversi tiada berujung nan tiada bertepi ketimbang solusi seerhana untuk melepaskan manusia dari belenggu semua yang seharusnya tidak dialami hingga memutuskan bunuh diri.Â
Apalagi kalau ranah keyakinan yang direpresentasikan melalui agama dan kepercayaan yang dianut, maka perilaku menyimpang dengan jalan bunuh diri akan terus menjadi berita dan kisah tragis kehidupan anak-anak manusia dibawah kolong langit yang penuh dengan kefanaan itu sendiri. Wilayah privasi dan sangat pribadi sering digunakan untuk memelihara dan meneguhkan keyakinan yang salah sesat sehingga mengakhiri dengan jalan bunuh diri. Ini menampak dari perilaku dua kasus bunuh diri di Ketedral Makassar dengan Mabes Polri, yang dalam keseharian cenderung berjalan sendiri dalam diam dengan menjaga jarak serius dengan komunitas publik yang luas.
Ajaran yang keliru akan mendorong seseorang untuk merasa memiliki otoritas penuh atas dirinya sendiri, termasuk keputusan untuk bunuh diri dengan ilusi yang luar biasa ketat pada tujuan yang sesat pula. Pada hal sesungguhnya, eksistensi kemanusiaan manusia itu ada karena kendali dari sang pemilik kehidupan demi keharminisan, kebaikan, kenyamanan, kesejahteraan dan kedamaian yang harus dicapai oleh si manusia itu sendiri dalam relasi dengan sesamanya manusia.
Publik pun maklum sejelask-jelasnya bahwa keyakinan yang benar dan lurus tidak pernah mendogmakan bunuh diri untuk mencapai tujuan yang mulia sebagai makhluk sosial yang mulia karena ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dogma sempit yang menyesatkan, akan dialami oleh seseorang, pun banyak orang, karena beragam faktor yang tidak berdiri sendiri tetapi saling kait mengkait. Apalagi dalam era globalisasi, keterbukaan informasi, ditimpali oleh era digitalisasi yang serba mudah dan murah akses pada sumber informasi super global. Pada sisi lai, kemampuan dan literasi social skill setiap orang sangat berbeda bahkan disparitasnya amat sunggu dalam dan jauh.
Paskah yang Membebaskan
Kalau dihubungkan antara fenomena bunuh diri, utamanya kejadian bom bunuh diri di gerbang gereja Katedral Makassar Minggu 28 Maret 2021 pada pukul 10.30 WITA, dan  3 hari kemudian di Rabu 31 Maret 2021 seorang wanita muda berumur 26 tahun tewas di tempat karena di tembak oleh polisi ketika menerobos masuk halaman Mabes Polri Jakarta dan melepaskan 6 kali tembakan, dengan masa Paskah yang mulai dirayakan Kamis putih, Jumat Agung dan Sabtu Sunyi serta puncaknya hari Minggu Paskah, harusnya ada korelasi.Â
Bagi umat Kristiani, masa raya paskah yang dahului dengan mingu-minggu sesangsara pra paskah selama 40 hari, menceritakan bagaimana Yesus Kristus mengalami penderitaan dan sengsara bahkan pencobaan maut yang datang dari si setan dan iblis saat berada di padang pasir. Tidak hanya itu, puncak kesengsaraan Yesus ketika dia dikhianti oleh murid-muridnya hinga disiksa, dan disaslib dan mati diatas bukit tengkorak, Golgota.
Secara spiritual, sesungguhnya puncak penderitaan dari Yesus, bukan ketika dia disalib, tetapi ketika dia merasa ditinggal oleh Bapa-Nya sendiri. Seperti disaksikan ketika Yesus berdoa semalaman di taman getsemani. Cawan harus diminum, dan harus melalui kematian itu sendiri hingga dikuburkan layaknya manusia yang mati secara sah dan utuh.
Tetapi, pada akhirnya, Paskah sesungguhnya bukan kisah kematian itu sendiri, tetapi cerita dan kisah tentang kebangkitan orang mati, yaitu pada hari ketiga setelah dikubur, Yesus Bangkit dan Hidup kembali. Kebangkitan Yesus menjadi kemenangan atas maut dan dosa yang telah membunuh danmemutuskan hubungan manusia dengan Sang Allah sendiri. Kebangkita Yesus menjadi bukti janji Allah sendiri, bahwa ada kebangkitan dari kematian dari setiap orang percaya kepadaNya. Sebab sesungguhnya Paskah itu membebaskan manusia dari belenggu dosa dan menyelamatkan jiwa manusia dari ikatan dosa, hukuman dan kuasa dunia yang fana.
Jadi, bunuh diri tidak perlu terjadi ketika setiap orang meyakini bahwa Paskah itu membebaskan dari tekanan apapun dalam hidup didunia ini. Bukan saja hanya urusan materi dan kebandaan dunia, tetapi juga hal spritual yang seharunya ada di dalam genggaman dan kendali Allah sendiri.
Bagi sahabat kompasianer yang merayakan, Selamat Paskah 2021, Tuhan datang untuk membebaskan bukan untuk membelenggu!
Yupiter Gulo, Jumat Agung, 2 April 2021,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H