Keputusan Presiden Joko Widodo mengajukan Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kepala Kepolisisn Republik Indonesia menarik dicermati, lagi-lagi RI-1 ini memperlihatkan strategi yang elegan power play nya mengelola negeri ini yang super sensitif bahkan turbulensi politik begitu cepat menggelora.
Dalam eksekusi strategi, faktor timing menentukan keakuratan target yang hendak dicapai. Sebab bicara timing sesungguhnya itu adalah momentum. Dan momentum merupakan klimaks terbaik dari semua sinergi sumberdaya yang dimiliki sehingga segalanya tuntas paripurna.
Mengajukan Listyo Sigit Prabowo kepada Dewan Pertimbangan Rakyat sebagai satu-catunya kandidat yang akan menjadi orang nomor satu di Kepolisian RI merupakan gaya Jokowi untuk memeriksa dinamika politik republik ini yang sarat dengan gaya permainan bola sodok. Jokowi memang senang melakukan "tes ombak" terhadap sejumlah keputusan strategi politik sejak menjadi orang penting di Indonesia.
Calon tunggal Kapolri selain memiliki latar belakang karir profesional yang mumpumi, tetapi juga berasal dari latar minoritas dengan penganut agama minoritas. Sesuatu yang tentu sangat sensitif  yang selama ini mendominasi dinamika politik bangsa ini sejak satu dekade terakhir ini. Simpul-simpul penting, seperti pemilihan Gubernur DKI dua periode terakhir, pun Pilpres sejak reformasi berdarah-darah tahun 2000.
Pembubaran FPI oleh pemerintah dengan ditetapkan sebagai organisasi terlarang, dan juga HRS sebagai pimpinan ormas yang sangat fenomenal selama ini, merupakan keberhalan Jokowi dalam mengendalikan simpul power play dalam dinamika politik Indonesia. Sebab, sesungguhnya, FPI merupakan representasi dari sejumlah kepentingan politik yang sangat penting sejak ormas ini dibentuk.
Oposisi terhadap rezim pemerintahan yang berkuasa di bawah Presidein Jokowi sering muncul dalam aktifitas yang dilakukan oleh sejumlah ormas sedemikian rupa sehingga, nampak seperti tidak mampu di kendalikan oleh pihak penguasa. Dan publik pun seperti nya tidak berdaya menghadapi mereka.
Kini FPI sudah "almarhum" secara organisasi, tetapi tentu saja anggota dan pengikut setianya masih tetap esksis. Â Sebuah peluang yang sangat menarik "diperebutkan" bagi kepentingan politik kedepan, paling tidak menuju tahun 2024, yang diramalkan akan menjadi lebih seru, karena Jokowi tidak akan ikut lagi dalam kontestasi Pilpres berikut.
Dipastikan, agenda Jokowi kedepan adalah bagaimana mengokohkan kerangka pembangunan bangsa ini agar sesudahnya, siapapun yang menjadi presiden berikut, harus mampu meneruskan pekerjaan Jokowi. Baik pembangunan infrastruktur dalam segala aspek, maupun dalam mekonfirmasi kepada siapapun bahwa Indonesia dikelola di bawah NKRI harga mati, dan UUD 45 dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Presiden faham betul dampak dari politik identitas yang selama 20 tahun sejak reformasi terus saja di goreng habis-habisan demi nafsu politik berkuasa di kalangan elit partai politik. Karenanya,sumber daya negeri ini menjadi terkuras hanya untuk melayani tuntutan-tuntasan politik identitas yang sangat mengganggu.
Pertanyaan menariknya adalah setelah FPI bubar dan HRS di tahan oleh polisi, apakah masih ada kekuatan politik signifikan yang akan menggoyang terus jalannya pemerintahan di bawah Jokowi dan Amin? Masih sungguh kuatkah politik dan kekuatan identitas berlatar belakang "agama dan kepercayaan" misalnya untuk terus membangun stigma yang membuat publik terbelah-belah dengan kesadaran yang tumpul demi kemajuan bangsa dan negeri ini?
Nampaknya, Presiden Jokowi sedang mengajukan pertanyaan itu dengan memajukan calon tunggal Kapolri dalam diri Listyo Sigit Prabowo. Dia sangat sadar tentang suara miring berlatar politik identitas karena Sigit Prabowo dari kelompok sangat minoritas. Sesuatu yang selama ini menjadi isu kunci usungan dari sejumlah ormas terlarang seperti yang baru di bubarkan Desember 2020 yang lalu.