Hari ini, Rabu 23 Desember 2020 sesuai janji, Jokowi melantik 6 orang menteri baru dalam gerbong Kabinet Indonesia Maju. Sejak diumumkan sehari sebelumnya, apreasiasi mengalir deras kepada Presiden Jokowi atas keputusannya melakukan reschuffle terbatas. Artinya, enam orang yang dipilih menggantikan posisi menteri, dianggap sesuai ekspetasi dari publik terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh Indonesia yang akan segera memasuki tahun 2021.
Lain halnya dengan kubu Partai Nasdem, yang mungkin sangat tidak happy dengan pilihan Jokowi dari enam menteri baru. Dengan masuknya Sandiaga Uno seakan menyempurnakan kehadiran kubu lawan politik dalam Pilpres 2019 menyatu dengan KIM. Melalui tokoh Nasddem Irma Chaniago menyampaikan ketidaknyaman itu kepada publik.
Terkesan sekali bahwa Irma menilai Pilpres 2019 bagaikan dagelan saja, dan seakan menjadi sandiwara. Lha, kalau akhirnya dua pasangan yang berada di kubu berbeda saat Pilpres yang nyaris membelah bangsa ini, dan sekarang menyatu dalam KIM, untuk apa diadakan Pilpres?! Lalu untuk apa semua perjuangan para partai pendukung selama kompetisi sengit berlangsung hingga di meja Mahkamah Konstitusi?
Politik Apresiasi Irma Nasdem
Kompas.com menurunkan berita dengan judul "Sandiaga Uno Jadi Menteri Jokowi, Irma Suryani NasDem: Percuma Berdarah-Darah, Buat Apa Ada Pilpres", sementara ccnindonesia.com "Irma NasDem soal Sandiaga: Percuma Berdarah-darah di Pilpres", dan masih banyak pemberitaan serupa akan ketidaknyaman dari Partai Nasdem terhadap perombakan terbatas kabinet Jokowi.
Nada sumbang Irma ini bukan hanya sekarang, karena ketika Jokowi memilih menteri dari Partai Gerinda yaitu Prabowo dan Eddi Prabowo penuh polemik dan tantangan dari partai yang tegabung dalam kemennagan Jokowi menjadi RI-1 untuk perideo 2019-2024. Tetapi waktu itu, publik melihat hal yang lebih besar yang sedang dikerjakan oleh Jokowi bagi Indonesia Maju dan Unggul.
Irma yang terkenal sangat vokal dan suka to the point secara politik ini menegaskan agar Jokowi mengapresasi pengorbanan para pendukung kemenangan saat Pilpres. Apresiasi bisa saja dengan tidak lagi memasukan orang dari kubu lain politiknya. Atau bisa juga dengan kesempatan itu diberikan kepada salah satu partai pendukung.
Kalaupun tidak diberikan kepada partai pendukung, tetapi jangan berikan juga kepada partai musuh politik, karena ini akan lebih menyakitkan dan mungkin itu yang dimaksud dengan tidak diapresiasi oleh sang presiden.
"Ini bukan soal pamrih atau tulus, tapi ini soal apresiasi," imbuh Irma.
Secara politik bisa difahamai dengan baik pesan dari Nasdem ini, politik apresiasi merupakan hal umum dan mendasar dalam dunia ini. Bahkan dalam dunia sosial lainnya juga itu terjaga dengan baik. Sebab disana ada hukum take and give. Sebab kalau ini tidak terjadi, maka nilai-nilai politik dalam perjuangan menjadi kehilangan subtansi.
Gaya Kooptasi Jokowi
Dalam pemilihan pembantunya bahkan dilingkaran strategi, Jokowi menggunakan salah satu gaya kepemimpinan kooptasi. Sesuatu yang sangat lumrah dalam area politik. Dan nampaknya gaya ini sederhana walaupun tujuannya hanya jangka pendek.
Gaya kooptasi dikenal luas dalam mengefektifkan pengaruh oleh seorang pemimpin dengan cara memasukan unsur luar atau orang luar yang dianggap ancaman atau gangguan kedalam sistem kekuasaannya agar ancaman itu hilang atau berkurang pengaruhnya.
Inilah yang dikerjakan oleh Jokowi dalam menyusin KIM-nya. Partai Gerinda yang merupakan gerbong besar lawan politik dalam kontestasi Pilpres 2019, masuk dalam KIM melalui orang kuncinya yaitu Ketua Umum Gerinda, Prabowo. Dan sekarang Sndiaga Uno.Â
Jadi, lengkaplah kooptsi yang diserangkan oleh Presiden Jokowi. Secara politik, tdiak ada lagi musuh yang selama ini menjadi rival kerasnya. Pengiktunya juga sudah tidak memiliki kekuatan dan pengaruh lagi. Kalaupun ada, biasanya tidak signifikan bahkan bisa diabaikan.
Kooptasi sesuatu yang biasa dalam strategi kepemimpinan. Dan yang dikooptasi juga mau mengikuti orang yang mengkooptasi dia dalam sistem KIM.
Tujuan kooptasi tentu saja sangat jelas. Agar program kepemimpinan Jokowi dapat berjalan dengan mulus hingga akhir kepemimpinannya. Dan semua orang tahu, itu demi kemajuan Indonesia dan masa depan negeri ini. Bukan kepentingan pribadi si Jokowi.
Dibagian sinilah sesungguhnya harus dimengerti strategi yang diambil oleh Jokowi. Betul, menyakitkan bagi Irma Suryani dan Nasdem dan mungkin juga bagi Parpol pendukung lainnya. Tetapi, menyenangkan bagi kemajuan bangsa dan negara ini yang membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk mewujudkan Era Indonesia Emas di tahun 2045 saat negeri ini merayakan Ulang Tahun ke-100 tahun.
Dari perspektif yang lebih jau, harusnya, siapapun dia, golongan apapun dia, ketika Jokowi sedang menuntun ke jalan yang benar dan baik bagi negeri ini, maka tidak ada alasan untuk tidak didukung. Kalaupun ada kepentingan fraksi atau Parpol, tidak boleh menganulir perjuangan Jokowi untuk mewujdukan Indonesia maju dan Indonesia emas. Karena, tujuan itu dibutuhkan oleh semua orang dalam republik ini.
YupG, 23 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H