Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Isu Etika dan Moral Kasus Beasiswa LPDP Veronica Koman

16 Agustus 2020   21:29 Diperbarui: 16 Agustus 2020   23:40 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://amp.suara.com/news/2019/09/09/134207/veronica-koman-provokator-bagi-polisi-malaikat-bagi-rakyat-papua

Kalau memiliki moral dan integritas yang tinggi, Veronica Koman Liau sebaiknya mengembalikan dana beasiswa yang diterimanya selama studi master degree di Australia sebesar Rp 773,8 juta kepada negara. Alasan utamanya, ini soal etika dan moral yang memilih jalur profesi advokasi kelompok masyarakat di Papua.

Rasanya koq tidak etis banget ya, sudah disekolahkan oleh negara dan biaya mahal serta mewah hanya untuk sebuah master degree. Lalu, setelah selesai tidak memenuhi kewajibannya untuk mengabdi kepada negara yang sudah membiayainya dan menjadi "orang". Dan sekarang malah menuding negara yang sudah menyekolahkannya dengan hal-hal alasan yang sangat politis.

Bila tidak maka akan menjadi sebuah preseden buruk bagi peserta program beasiswa yang sedang dikembangkan secara massif oleh pemerintah melalu BLU LPDP dengan peserta sudah melebihi 20.000an dengan alumni lebih 7000-an orang.

Ketika saya menjadi mahasiswa dulu, sekitar 40-an tahun yang lalu, dengan situasi yang sangat sulit, saya mendapatkan beasiswa. Walaupun hanya beasiswa bebas uang kuliah, tetapi sungguh sangat menolong hingga saya mampu menyelesaikan level strata-1. Beasiswa tidak gratis, harus dikompensir dengan membantu bagian kemahasiswaan dengan jumlah jam dalam seminggu sesuai kebutuhan.

Ketika lulus, saya sulit menolak permintaan pimpinan fakultas saya untuk menjadi dosen walaupun hanya satu atau dua tahun. Hitung-hitung membalas budi lembaga yang sudah memberikan beasiswa kepada saya. Dan mimpi saya untuk bekerja di perusahaan, saya "pendam" untuk sementara, dengan harapan setelah dua tahun menyelesaikan pengabdian buat lembaga almamater saya bisa masuk dalam dunia usaha dan industri.

Saya berpikir bahwa jiwa dan semangat dari program beasiswa di bawah paying LPDP ini sangat mulia. Karena dikhususkan bagi para generasi muda bangsa ini yang tidak memiliki kemampuan keuangan untuk melanjutkan studi ke luar negara di perguruan tinggi terbaik. Sebab, kesan kuat selama ini hanya orang kayalah yang bisa bersekolah ke luar negeri dan di universitas hebat pula.

Dengan program beasiswa LPDP maka kesan itu hilang. Artinya, sejauh mahasiswa memiliki otak yang encer, maka negara mampu menyekolahkan. Dengan target yang sangat bijaksana, yaitu agar Indonesia yang sedang melakukan lompatan maju ini, mampu mengejar ketertinggalan SDMnya, khususnya kemampuan adaptasi menjalani Revolusi Industri 4.0.

Nah, apa jadinya apabila seorang Veronica Koman yang sudah disekolahkan dengan biaya yang mewah ke negara maju, dan tidak kembali sesuai kesepakatan. Dan malah terkesan berseberangan dengan pemerintah yang membesarkannya karena pilihan profesi advokasi yang dijalankan di Papua? Ini koq, semakin tidak etis kelihatannya. Dan mungkin juga tidak bermoral atau rendah integrasi dari yang bersangkutan.

Membayangkan saja, kalau orangtua membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya, lalu anak-anaknya malah membangkan dan melawannya setelah berhasil! Kira-kira orangtuanya "marah" atau membiarkan saja si anak ini?

Saya piker, Veronica Koman ini sedang berada dalam sebuah dilemma yang sangat tidak mudah. Nampaknya dia harus segera mengembalikan uang negara itu, dan dia tentu akan bebas melanjutkan profesi advokasinya yang sangat potensial berseberangan dengan pemerintah seperti yang selama ini diahadapinya.

Melacak dari pemberitaan liputan6.com, kasus pengembalian beasiswa ini sudah dieksekusi sejak tahun lalu, bahkan sudah dicicil sebanyak Rp 64,5 juta. Tetapi nampaknya macet hingga menjadi pemberitaan di beberapa media.

"Pada tanggal 24 Oktober 2019 telah diterbitkan Surat Keputusan Direktur Utama tentang Sanksi Pengembalian Dana Beasiswa LPDP sebesar Rp. 773.876.918. Kemudian pada tanggal 22 November 2019, telah diterbitkan Surat Penagihan Pertama kepada VKL. Pada tanggal 15 Februari 2020, VKL mengajukan Metode Pengembalian Dana Beasiswa dengan cicilan 12 kali," mengutip keterangan tertulis LPDP, Jumat (13/8/2020).  Dalam catatan LPDP, cicilan pertama telah disampaikan ke kas negara pada April 2020 sebesar Rp 64.500.000.

Mencermati perkembangan program beasiswa LPDP ini, patut diancungkan jempol bagi pengelolaannya. Terutama kepada Menteri Keuangan yang terus mengawal dan mempromosikan program LPDP ini. Dan seakan menjadi jendela dan pintu besar sekali bagi harapan generasi muda bangsa ini untuk memasuki dunia global dan internasional.

Dalam sebuah penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan tahapan yang ketat bagi seleksi peserta program beasiswa yang sekarang dananya sudah diatas Rp 50 trikun rupiah. Itu sebabnya, kalua lolos seleksi maka peserta akan mendapatkan fasilitas "mewah" selama belajar di luar negeri.

Ketegasan dari pihak BLU LPDP untuk menuntaskan kasus beasiswa Veronica Koman ini akan menjadi feedback sangat baik bagi perbaikan seleksi peserta program penerima beasiswa selanjutnya. Artinya, seleksi terkait dengan etika, moral dan integritas harus dikedepanpan untuk memutuskan siapa yang cocok menerima program mewah ini.

Dan untuk peserta yang masih on going process, perlu dilakukan revitalisasi agar tidak muncul Veronica Koman berikutnya.

Yupiter Gulo, 16 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun