Setelah 11 tahun  menjadi buron Kejaksaan Agung, akhirnya Djoko Tjandra ditangkap oleh Kepolisian RI di Malaysia pada hari Kamis 30 Juli 2020, dibawa pulang dan  langsung digelandang ke Bareskrim Polri.Â
Sebulan lebih sejak kemunculannya publik menjadi heboh dan pemerintah juga ikut heboh karena si buron Djoko ini bukan saja pandai dan licik, bahkan dia seakan-akan "mengkadalin" para penegak hukum di negeri ini, hingga makan korban 3 Jenderal di Mabes Polri.
Mungkinkah karena Presiden Jokowi sudah memerintahkan Kapolri untuk mengkap si  buron kasus cessie Bank Bali ini sehingga langkah pelarian Djoko harus terhenti? Tidak hanya itu, Kapaolri juga sudah mendapat pesan dari RI-1 agar menindak semua yang terkait dan terlibat dalam "permainan" si buron.
Tidak kurangnya seorang Mahfud MD, Menkopolhukam yang sangat tegas bahkan keras dan terus menerus mendorong agar Djoko Tjandra segera ditangkap dan dihukum sesuai keputusan yang sudah dijatuhkan  11 tahun silam.
Kasus Djoko menarik publik, dan  nampak ada magnik tertentu yang mendorong agar kasus ini dibuka dengan terang benderang. Bukan saja karena sejak pemunculannya bulan Juni yang lalu memakan sejumlah korban, antara lain tiga orang Jenderal, bahkan satu orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Betulkah akan terbuka "kotak pandora" setelah Djoko Tjandra tertangkap ? Karena sesungguhnya, sejak kasus ini marak pada tahun 2000-an yang lalu, ada aroma politik yang sangat kental. Namun karena dampak situasi krisis Indonesia tahun 1998, kasusnya menjadi campur aduk, sedemikian sehingga gugat menggugat terjadi di pengadilan hingga kasasi bahkan PK di MA terjadi. Dan hasilnya saling menang-kalah dan kalah menang.
Liciknya Djoko Tjandra
Kapolri sendiri mengakui, si buron Djoko Tandra ini licik dan dan sangat pandai, begitu berita yang dimuat dalam kompas.com pada hari ini. Bila tidak licik dan pandai, mana mungkin bisa buron selama 11 tahun. Pun mana bisa keluar masuk Indonesia tanpa terdeteksi selama ini. Padahal sejak 11 tahun yang oleh Kejaksaan Agung telah menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun, tetapi dia keburu kabur ke PNG dan menetap di negara tetangga.
Kalau tidak licik, bagaimana mungkin dia bisa masuk Indonesia pada bulan Juni lalu dan diejmput oleh 2 orang perwira polisi di bandara Pontianak. Bahkan juga mempunyai pengacara  bernama Anita Kolopaking untuk ikut mengurus KTP dan juga paspor atas namanya.
Namanya buron, pasti menjadi sangat pandai untuk mengelabui hukum dengan berbagai cara. Atau memang, hukum negeri ini mampu "dibeli" atau dikelabui oleh para buron semacam Djoko Tjandra?Â
Kotak Pandora:Â
Sebetulnya, kasus yang dialami oleh Djoko Tjandra ini sangat sederhana saja. Dan dalam dunia perbankan dikenal dengan terminologi "cessie" atau pengalihan hak tagih. Â Dalam terminologi keuangan akrab dengan istilahfactoring" atau anjak-piutang. Ini sebuah area bisnis anjak piutang yang sangat umum, dan banyak perusahaan memanfaatkannya.
Perusahaan yang bergerak dalam bisnis factoring ini, mendapatkan komisi  dari hak tagih yang diterima atau tepatnya dibelinya. Tentu saja ada biaya yang juga harus dikeluarkan untuk mendapatkannya.
Adalah Rudy Ramli, Dirut dan juga pemilik dari Bank Bali yang mempunyai piutang pada 3 buah bank saat itu tahun 1997, yaitu BDNI, BUM dan Bank Tiara yang jumlah totalnya sekitar Rp 3 trilun. Karena Ramli kesulitan menagih piutangnya itu, maka dimelakukan cessie dengan PT Era Giat Prima yang direkturnya adalah Djoko Tjandra, dan Dirutnya Setyo Novanto, yang kala itu sebagai Bendahara dari Partai Golkar. Dan menurut catatan pemberitaan yang ada, mereka sepakat komisinya sebesar 50% dari total piutang yang akan ditagih.
Karena tahun 1998 terjadi krisis perbankan di Indonesia maka 3 bank yang memiliki hutang kepada Bank Bali, terpaksa masuk dalam BPPN, yaitu badan penyehatan perbankan nasional. Dan dalam rangka penyehatannya, Bank Bali mendapatkan suntikan dana dari pemerintah melalui BI dan BPPN sebesar sekitar Rp. 905 miliar.
Dana jumbo  sebesar ini, tidak semuanya dikirim kepada Bank Bali. Hanya sekitar 40% saja, atau sekitar Rp. 359 miliar, karena sisanya yang 60% atau sebesar 546 miliar rupiah dikirimkan ke PT Era Giat Prima, atau kepada Djoko Tjandra.
Persoalannya semakin runyam, karena nampaknya pihak BPPN sama sekali tidak mengetahui tentang ada cessie antara Bank Bali dengan EGP. Dan juga Bank Bali tidak melaporkan kepada Bursa Efek Jakarta atau pihak penagwas, yaitu BAPEPAM. Dan karenanya pihak BPPN yang waktu itu di kepalai oleh Glenn MS Yusuf membatalkan cessie Bank Bali.
Dari sinilah saling menggugat terjadi. Setya Novanto menggugat BPPN ke PTUN dan dikabarkan dia menang. Lalu banding, dan MA memenangkan BPPN, Kemudian PT EGP juga tuntut Bank Bali dan BI untuk mencairkan dana sebesar 60% itu, dan dikabarkan PT EGP juga menang. Bahkan lanjut ke Kasasi dan juga PK dan Bank Bali menang dengan hak 60% itu.
Dan seperti diketahui publik, Kejaksaan Agung intervensi dan take over perkaranya sehingga ditetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Rudi Ramli. Dan ketika Djoko Tjandra dijatuhkan hukum penjara oleh Kejaksaan Agung, dia keburu melarikan diri sehari sebelumnya hingga dia tertangkap pada tanggal 30 Juli 2020.
Yang menarik sesungguhnya ketika dana sebesar 60% itu meluncur ke perusahaan Djoko Tjandra, siapa saja yang terlibat dalam memuluskan dana itu sedemikian mudahnya? Adakah kekuatan kepentingan lain yang ikut menjadi faktor kunci sehingga cessie ini menjadi instrumen mendapatkan dana besar untuk kepentingan lain yang lebih besar?
Mungkinkah kotak pandora ini akan dibuka habis-habisan oleh Djoko Tjandra di pengadilan nanti? Mari, menyaksikan "drama" selanjutnya.
Yupiter Gulo, 31 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H