Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pasangan Memaksakan Anda Berbohong

1 Maret 2020   06:27 Diperbarui: 1 Maret 2020   06:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur versus Bohong

Komunikasi memiliki peranan yang sangat vital dalam menjaga, memelihara serta mengembangkan hubungan antara pasangan, baik yang masih dalam proses berhubungan dan terutama setelah menjadi pasangan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Saking pentingnya komunikasi ini, banyak pasangan bisa berakhir dengan kepedihan, dan bahkan banyak keluarga dijalani dengan penuh ketegangan, konflik dan juga kekacauan. Semuanya karena komunikasi yang tidak tepat dan baik.

Harus diakui bahwa tidak ada satu bentuk dan model komunikasi pasangan yang ideal untuk semua pasangan. Karena sesungguhnya, komunikasi  pasangan itu tailored made. Bisa disesuaikan dengan kebutuhan pasangan dengan ragam keberadaan masing-masing. Misalnya ada yang sangat terbuka, setengah terbuka, tertutup, bahkan mungkin komunikasi verbal dan non verbal yang mendominasi salah satu.

Bagaimana kalau pasangan Anda memaksakan Anda untuk berbohong atau tidak jujur ketika berkomunikasi? Bagaimana menyikapi perilaku pasangan yang "memaksa Anda berbohong"?

Saya mempunyai pengalaman unik tentang komunikasi dengan pasangan yang "memaksakan saya untuk tidak jujur berkomunikasi" yang harus kami alami pada saat  memulai memasuki hidup berumah tangga.

Kisahnya sederhana saja dan unik bagi saya. Saya yang memiliki profesi  sebagai pengajar dan punya  kebiasaan untuk bercerita kepada pasangan tentang apa yang dialami sepanjang hari yang dilewati. Terutama pada saat malam menjelang makan bersama, atau sebelum memasuki ibadah/doa malam hari. Jadilah kami berdua saling menceritakan apa saja yang dialami seharian. 

Satu bulan, dua bulan dan tiga bulan semua berjalan biasa-biasa saja dan tidak ada masalah. Hanya saja, pasangan saya tidak terlalu bersemangat cerita apa yang dialami . Memasuki bulan keempat, ketika saya mulai bercerita, tetapi istri saya minta agar ceritanya dihentikan saja, lalu dia menangis dan tidak mau lagi mendengarkan saya. Saya bertanya mengapa, apakah ada yang salah dengan saya. Padahal semuanya dan apa adanya, tidak ada yang tersembunyi.

Ketegangan itu tidak bisa dihindari sedemikian sehingga suasana menjadi tidak nyaman bagi kami. Malam itu kami bersepakat menyelesaikan dengan tuntas supaya masalah tidak terulang besok dan hari-hari seterusnya. Ternyata istri saya merasa sangat tersinggung dan sakit hati salah satu bagian "pertemuan yang saya hadiri karena profesi sebagai dosen". Sesungguhnya disana tidak ada yang salah dan tentu tidak melakukan hal-hal yang tidak benar. 

Walaupun melegakan setelah mengetahui penyebabnya, dan meyakinkan istri saya tidak melakukan yang tidak benar dan baik, tetapi tetap saja dia meminta untuk tidak menceritakan hal-hal yang demikian. Kemudian, saya  menegaskan bahwa itu berarti saya tidak jujur kepadamu dan terpaksa harus menyembunyikannya. 

Perlukah Semua Diceritakan kepada Pasangan?

Begitulah yang saya yakini sebelumnya bahwa dengan mengkomunikasikan semua hal akan menjadi landasan kuat hubungan menjadi bertumbuh dengan penuh saling percaya mempercayai. Juga sebagai indikator kuat bahwa kami jujur dan tidak berbohong tentang apa yang dialami, dirasakam, diperjuangkan dan disikapi setiap saat hari demi hari.

Tetapi pengalaman sederhana dan unik diawal perjalanan rumah tangga saya, mengajakan hal utama pada saya bahwa tidak semua hal perlu disampaikan kepada pasangan. Bukan soal berbohong atau tidak jujur tetapi karena pasangan itu juga memiliki kepribadian yang tidak selalu sama dengan pasangannya.

Saya ingat ada sebuah buku yang saya baca kala itu, judul buku itu adalah "Personality Plus", saya lupa penulisnya siapa. Tetap inti buku ini tidak pernah saya lupa seumur hidup saya, karena pengalaman unik diawal saya berkeluarga.

Si penulis buku yang sangat keren ini menyimpulkan bahwa setiap orang itu unik dengan kepribadian yang nyaris tidak sama dengan orang lain. Pada dua kutub ekstrim ada kepribadian yang keras seperti kerasnya besi, tetapi pada kutub yang lain ada kepribadian orang yang lunak bagaikan kayu empuk. Keduanya sangat berbeda dalam karakter dan perilaku. Besi tidak bisa berubah menjadi kayu, dia tetap keras tetapi besi bisa di poles di asah agar mengkilat, tetapi karakter dasarnya keras tetap saja. Demikian juga kayu bisa dibea ntuk dengan mudah karakter dasarnya lunak dan lembek.

Pesan buku ini sangat powerfull. Kalau memiliki pasangan fahamilah karakter dasarnya dan jangan pernah berusaha mengubahnya, besi menjadi kayu atau kayu menjadi besi, karena itu pekerjaan yang sia-sia saja. Yang bisa dilakukan adalah memolesnya saja agar mengkilat kalau besi, dan agar indah kalau kayu. 

Pesan ini saya terapkan dengan powerfull juga, dan saya berhasil sehingga hubungan dengan pasangan semakin kokoh. Disana akan lahir dan bertumbuh saling penegrtian yang dalam dan luas sedemikian indahnya, walaupun benturan dan konflik serta ketgangan selalu muncul, tetapi itu menjadi energi membuat besi semakin mengkilat tetapi tetap saja keras.

Pola komunikasi apa yang paling efektif dan ideal di lakukan pasangan dalam keluarga sangat tergantung dari kebutuhan pasangan dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu adalah memahami kepribadian pasangan secara tepat dan baik. Atas dasar pemahaman kepribadian itulah pola komunikasi bisa di kembangkan.

Putri saya paling kecil memiliki gaya yang sangat berbeda dengan dua orang kakaknya yang juga perempuan. Dan saya sangat mengerti gaya komunikasinya yang saya sebutkan dengan "komunikasi gaya telepati". Sebab, dia tidak suka banyak bicara, selain yang perlu-perlu saja. Bisa jadi dalam banyak waktu kami tidak saling bicara. 

Komunikasi dengan Bijaksana

Berkomunikasi dengan pasangan dan anggota keluarga dengan penuh kebijaksanaan akan menjadi sumber terjadinya damai dan sukacita serta keceriaan dalam keluarga dan bisa diminimalisir terjadinya ketegangan dan konflik.

Berbicara apa adanya, perlu dan dibutuhkan serta tidak perlu terlalu banyak atau terlalu sedikit dengan sikap dan perilaku saling mendukung, melengkapi, berbagi dan saling memiliki.

Hasilnya sangat luar biasa, tetapi tidak bisa instan menemukannya karena harus dilatih terus menerus sepanjang interaksi yang terjadi dalam keluarga sampai maut memisahkan pasangan-pasangan ini.

Sebab, sesungguhnya tidak ada satu orang yang hendak memiliki pasangan tetapi tujuannya mau berkonflik melulu dengan pasangan. Pun tidak ada orangtua yang mau anak-anak dan keluarganya hancur berantakan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Sebab yang ada adalah ingin semuanya baik, damai, gembira dan sukacita, saling menolong dan bertumbuh bersama-sama.

Semua itu hanya bisa diraih kalau ada komunikasi yang kokoh dan terus bertumbuh diantara pasangan dan keluarga!

Yupiter Gulo, 1 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun