Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim menegaskan bahwa untuk lima tahun ke depan, yang menjadi prioritas nomor satu untuk dunia Perguruan Tinggi di Indonesia adalah mencetak pemimpin masa depan. Artinya, mahasiswa yang yang saat ini sedang duduk dibangku kuliah harus disiapkan menjadi pemimpin setelah lulus dari perguruan tinggi.
Nadiem mendeklarisikan pesan ini dihadapan civitas akademik Universitas Indonesia ketika berlangsungnya serah Terima jabatan Rektor UI dari  Prof Muhammad Anis kepada pejabat baru Prof Ari Kuncoro pada hari Rabu 4 Desember 2019 di kampus UI Depok Jawa Barat, seperti yang diberitakan banyak media dan menjadi pesan yang sangat penting bagi dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi.
Seperti yang sudah di duga, bahwa publik begitu antusias terhadap semua hal yang menjadi gerak-gerak, pidato, statement dari seorang Nadiem Makarim sebagai Mendikbud negeri ini, yang terus menunggu terobosan apa yang akan dikerjakan oleh Menteri dari generasi milenial ini. Bahkan apapun statemen yang disampaikan, akan menjadi pergunjingan publik, baik yang serius maupun yang super tidak serius dan sekedar mencari sensasi saja.
Memang sejak dilantik sebagai Mendikbud, Nadiem  membutuhkan waktu 100 hari untuk melakukan eksplorasi berbagai masalah yang ada dan merancang strategi dan terobosan terkait dengan bidang tupoksinya sebagai menteri yang mengendalikan bidang pendidikan dan kebudayaan. Cara yang ditempuh untuk melakukan itu dengan berbicara dan berjumpa sebanyak mungkin stakeholders di bidang pendidikan dan kebudayaan yang sarat dengan problem dan masalah yang luar biasa pelik di republik ini.
Prioritas Nomor 1, Mencetak Pemimpin
Menjadi perlu, penting dan urgen untuk memahami pesan sang menteri ini terhadap  dunia pendidikan tinggi. Mengapa prioritas nomor satu untuk perguruan tinggi adalah untuk mencetak pemimpin masa depan?
Paling tidak ada 3 alasan utama yang mesti dicermati, dipahami dan di referensi serta di eksekusi oleh setiap perguruan tinggi tentang pesan Nadiem Makarim ini, yaitu :
Pertama, Sebagai cara mengimplementasikan pesan besar dari Presiden Jokowi tentang fokus pada menghasilkan Sumber Daya Manusia Unggul. Manusia Indonesia yang unggul, diyakini oleh RI-1 sebagai pintu menuju Indonesia mengejar ketertinggalannya lebih cepat dan lebih maju. SDM Unggul diejawantahkan dalam bentuk setiap orang harusnya menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, lingkungannya, unit usaha, dan ditengah-tengah masyarakat. SDM Unggul berarti memiliki karakter sebagai sebagai pemimpin yang orientasinya kedepan dan bukan kebelakang, menyelesaikan masalah dan bukan membuat masalah, optimis dan bukan pesimis.
Kedua, menghasilkan pemimpin masa depan, pintu masuknya adalah perguruan tinggi. Mahasiswa yang akan belajar sekitar 3 sampai 5 tahun di sebuah perguruan tinggi, akan menjadi arena untuk mempersiapkan mereka menjadi calon-calon pemimpin.Â
Paham, bahwa segala sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencetak calon pemimpin masa depan paling tersedia di dalam sebuah perguruan tinggi. Paling tidak, perguruan tinggi sebagai sebuah institusi, bisa menjadi pengikat dan perekat semua rsources yang dibutuhkan untuk membentuk mahasiswa menjadi calon pemimpin.
Ketiga, Nadiem Makarim mengerti betul bahwa sesungguhnya Proses Pembelanjaran yang terjadi di dalam dunia kampus, sesungguhnya ada di bawah kontrol dan kendali penuh para Rektor, Dosen dan semua para ahli yang ada disana. Logika sederhananya, harusnya tidak ada alasan bagi perguruan tinggi untuk tidak bisa mencetak pemimpin yang berkarakter dalam kurun waktu 3 sampai 5 tahun.
Kalaupun selama ini, produk perguruan tinggi itu lulusan yang tidak kompeten, berarti ada yang salah dalam manajemen perguruan tinggi. Dan inilah yang akan menjadi pusat perhatian seorang Nadiem untuk mengubahnya secara "revolusioner" agar prioritas nomor satu ini dapat diwujudkan dengan jelas dan tegas.
Tantangan Tidak Mudah
Memahami agenda prioritas utama dari Mendikbud untuk mencetak lulusan perguruan tinggi sebagai pemimpin menjadi tantangan yang tidak mudah bagi dunia perguruan tinggi. Walaupun sesungguhnya mengontrolnya tidak terlalu sulit, karena Nadiem hanya akan membutuhkan output yang dicapai oleh setiap perguruan tinggi, dengan sebuah kriteria yang menjadi rujukan calon pemimpin masa depan yang mampu membawa perubahan di tengah-tengah masayarakat.
Mencermati pesan yang disampaikan oleh Nadiem Makarim di depan civitas akademika Universitas Indonesia, sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan dikelola oleh para rektor setiap univeristas adalah:
Satu, perkembangan dan perubahan dibidang teknologi yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia saat ini, termasuk dunia perguruan tinggi. Perguruan tinggi sedang menghadapi dinamika teknologi yang semakin cepat, rumit dan tidak bisa diprediksi. Sebab yang semula sederhana menjadi rumit, dulu transaksi harus pakai uang tunai sekarang pakai fintek dengan aplikasi yang bagi banyak orang itu rumit dan sulit dipahami.
Dua, saat ini republik ini sedang memasuki perubahan orientasi praktis kegiatan. Lihat, yang dahulu dilakukan secara formal dan dengan sebuah proksi kualialitas yang sekarang menjadi pertanyaan karena kemanfaatannya tidak langsung pada output yang diharapkan.
Ketiga, mengelola proses pembelajaran dengan kemerdekaan. Yang merdeka itu bukan saja hanya murid atau siswanya tetapi juga sang guru atau dosen dalam mengelola proses pembelajaran. Ini sebagai indikasi hambatan serius mengapa selama ini lulusan itu tidak memiliki kompetensi dan karakter yang kuat. Karena tidak ada kemerdeakaan dalam belajar.
Nadiem menegaskan bahwa kemerdekaan itu harus menampak dalam setiap jenjang unit pendidikan yang dikelola, dan tidak sekedar formalitas atau mengikuti SOP saja. Sebab itu hanya kebutuhan proses tetapi output rendah. Dan dengan kemerdekaan, masing-masing memiliki otonomi dalam membuat output yang berkualitas. Dan otonomi itu cemrinan dari kepercayaan kepada setiap pengelola unit pendidikan.
 "Tapi dalam era ini ekspektasi saya adalah kemerdekaan itu harus turun terus. lembaga perguruan tinggi merdeka dari berbagai macam regulasi dan birokratis". "Para pendidik dan dosen juga dimerdekakan dari birokrasi. Dan yang terpenting mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar sesuai kemauannya, sesuai kemampuannya, sesuai interest dia," Nadiem.
Dari semua tantangan yang ada dan akan ada, nampaknya yang sangat sulit dan tidak mudah adalah perubahan budaya organisasi perguruan tinggi yang selama ini sudah terbentuk dalam mengelola univeritas just business as usual management. Sebagai sebuah formalitas dan rutinitas yang nyaris minim bahkan miskin dengan inovasi, terobosan dan kreatifitas. Bahkan tidak jauh beda dengan organisasi sosial pada umumnya.
Waktu lima tahun untuk mencetak seorang calon pemimpin masa depan bangsa, harusnya lebih dari cukup untuk mewujudkannya kalau mind set dan budaya organisinya diubah juga bersamaan. Kalau tidak, maka mimpi Nadeim Makarim hanya sekedar mimpi saja, dan apa yang dikuatirkan oleh publik akan menjadi kenyataan, yaitu ganti pejabat ganti kebijakan, ganti menteri ganti sistem, tetapi hasilnya tidak ada.
Semoga Nadiem mampu mewujudkannya sebagai legasi bagi generasi milenial oleh generasi milenial Indonesia.
Yupiter Gulo, 5 Â Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H