Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspadai Munculnya Krisis akibat Terlena dan Tertidur di "Sofa Nyaman"

12 Oktober 2019   07:50 Diperbarui: 12 Oktober 2019   08:48 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: ISTOCK/GETTY IMAGES

Setelah memenangkan Pilpres 2019-2024, ketika Jokowi menyampaikan visi Indonesia 5 tahun kedepan dengan sebuah pesan penting dan mendasar, yaitu jangan lagi bekerja biasa-biasa saja, jangan lagi terjebak dan tenggelam dalam rutinitas sebab Indonesia harus segera melompat meraih kemajuan yang lebih besar. Bukan lagi berjalan, apalagi jalan santai, tetapi harus melompat kalau mau negeri ini menjadi salah satu yang terbesar di jagad ini.

Sesungguhnya, pesan kunci dari visi Indonesia lima tahun kedepan itu adalah mengingatkan semua masyarakat agar tidak terlena apalagi tertidur di zona nyaman yang sekarang dinikmati. Tidak ada zona nyaman bagi setiap orang yang ingin maju dan berkembang. Kecuali dia harus bangun, berlari dan melompat.

Pada level tertentu, kenyamanan atau zona nyaman sangat mungkin akan menjadi sumber penyakit mental setiap orang dalam membangun dan menjalankan hidup kesehariannya. Karena saking ingin tetap berada di zona nyaman, maka dia tidak mudah untuk menerima perubahan. 

Apalagi kalau perubahan itu akan menurunkan gaya hidupnya. Ketika dia tidak mampu mempertahankan gaya hidup, sangat mungkin mental akan terganggu, jiwanya akan down grade dan membawa akibat yang lebih fatal

Nampaknya disana ada kontradiksi positif yang harus dimengerti dan dibangun setiap saat. Sebab setiap orang ingin mencapai kenyamanan hidup, tetapi justru kenyamanan itulah yang menjadi sumber terjadinya krisis dan kehancuran hidup. Memang demikian di dunia ada positif ada negatifnya.

https://topikini.com/pidato-lengkap-jokowi-visi-indonesia-sentul-14-juli-2019/
https://topikini.com/pidato-lengkap-jokowi-visi-indonesia-sentul-14-juli-2019/
Bekerja untuk mencapai kenyamanan, nyaman berproduksi, nyaman mencapai target, nyaman menerima imbalan uang atau keuntungan.

Namun bila terlena berada dalam zona nyaman, seakan-akan tertidur; bila tertidur dalam menjalankan usaha, dalam bekerja, dalam berbisnis, dalam menjalankan kendaraan di jalan tol akan membahayakan, dapat terjadi kecelakaan, musibah dan bagi usaha instansi/perusahaan timbul krisis.

Krisis dapat terjadi kapan saja, terlena karena berada dalam zona nyaman, tiba-tiba menghadapi risiko yang tidak diperkirakan, bahkan risiko yang sudah diperhitungkanpun dapat meleset, tiba-tiba ditiupkan isu negatif, timbullah ancaman terjadinya krisis.

Mitigasi krisis adalah menjalankan tiga ketentuan konsep antisipasi dan  bagaimana cara mengendalikannya: 

  1.  Selalu siap atau be prepared, 
  2. Selalu hadir tidak mengelak atau be available,  dan 
  3. Selalu bertanggung jawab, atau be credible.

Antisipasi dan menghadapi krisis dengan konsep demikian sudah terbukti menciptakan citra baik; sudah terbukti di dunia internasional dapat meredakan krisis bagi banyak perusahaan atau instansi.

Di Jakarta demikian pula telah dijalankan dengan sangat baik oleh PT KCI (Kereta Commuter Indonesia) ketika akhir September, 2019, dari pagi hari terjadi maraknya unjuk rasa demo yang anarkis hingga mengancam perjalanan kereta komuter dari stasiun Tanah Abang. Bahkan VP Communications, Anne Purba, tampil dalam interview TV di siaran pagi memberitahukan pelanggan kereta terjadinya penundaan kedatangan dan keberangkatan kereta di stasiun Tanah Abang; "Demi keselamatan penumpang".

Pemikiran dan tampilan demikian sangat terpuji, sesuai konsep menghadapi krisis, terutama memikirkan salah satu stakeholders utama PT KCI: "keselamatan pengguna jasa kereta komuter!"

Tiga acuan utama mitigasi krisis, handling crisis dan disaster relieve actions dapat dipelajari secara singkat melalui beberapa studi kasus terkenal sebagai berikut:

1. Selalu siap (Be Prepared); Tidak tidur atau tertidur, tidak lengah dan selalu waspada.

Sudah sering (dan sayangnya dapat diperkirakan akan sering terjadi) kecelakaan di jalan raya karena pengemudi tiba-tiba tertidur. Meskipun sesungguhnya pengemudi tahu bahwa bila mengantuk atau kurang tidur akan tiba-tiba kehilangan kesadaran sewaktu sedang memegang "setir", sedang menjalankan bus, van, ataupun mobil; pengemudi sudah tahu lebih dulu risiko mengantuk dalam perjalanan.

Oleh pihak kepolisian dan petugas pengaman jalan tol juga mengetahui bahaya demikian, di banyak jalur jalan tol maupun non-tol diberi papan peringatan agar beriistirahat bila mengantuk.

Di setiap jarak tertentu oleh pengusaha jalan tol atas anjuran pemerintah disediakan "rest area" agar pengemudi beristirahat memulihkan kebugaran agar sanggup meneruskan kembali menjalankan kendaraan secara aman.

Tidak hanya kecelakaan transportasi darat yang mengalami kecelakaan fatal karena pengemudi "kurang tidur", beberapa kali juga terjadi kecelakaan pesawat udara karena pilot tiba-tiba kehilangan kewaspadaan yang setelah terjadinya kecelakaan oleh pihak berwenang ditemukan salah satu penyebab kecelakaan karena pitot kurang tidur.

Namun, seperti sudah diungkapkan di awal bahwa, kejadian kontradiktif bila perusahaan terlena "tertidur", berada di zona nyaman, kurang atau terlepas dari kewaspadaan; selain mengakibatkan krisis dalam perusahaan, bisnis perusahaan/industri "habis berhenti" alias bangkrut.

Bukan hanya industri perumahan yang tidak resmi seperti di tahun 2018 "pabrik" mercon di kawasan pinggiran Tangerang terbakar habis, mengakibatkan banyak karyawan menjadi korban.

Perusahaan penerbangan resmi milik pemerintah Indonesia: Merpati Airlines, juga harus berhenti beroperasi karena terlena, tertidur terhadap pengawasan komisaris dan direksi ditambah menurunnya kinerja keseluruhannya.

Bahkan di bulan September, 2019 Thomas Cook, perusahaan Inggris yang sudah memulai usahanya sejak 170 tahun lebih, tiba-tiba harus dinyatakan bangkrut. 

Belum lagi peristiwa beberapa tahun terakhir yang mengancam kebangkrutan; Ryan Air, perusahaan penerbangan Irlandia; antara lain karena pengusaha/pemilik dan direksi tidak waspada dan tidak cepat bertindak ketika risiko yang dihadapi perusahaan tidak segera ditanggapi.

Maka Be Prepared, siap menghadapi, apapun dalam menjalankan kemudi secara harafiah, maupun kemudi perusahaan menjadi "tanggap darurat nomor satu" .

2. Be Available. Dalam pengertian "selalu tampil, tidak "ngeles" tidak menghindar.

Pemilik perusahaan, investor, pucuk pimpinan, direksi diwajibkan "tampil". Tampil bukan untuk "nampang", tampil bukan untuk menyombongkan diri; namun tampil sebagai pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab.

Contoh diatas: PT KCI menugaskan VP Communications tampil di interview bagi khalayak TV channel mayor. Siapa yang tampil tidak perlu harus pemilik perusahaan "in person", karena perusahaan/instansi yang profesional sudah siap dan melatih manajer/petugas senior sebagai ahli menghadapi krisis, biasanya ditangani oleh Divisi Komunikasi.

Ketika terjadi kebakaran di Kantor Polda Jawa Tengah di Semarang, beberapa tahun silam, segera tampil diineteriw oleh media: Kapala Divisi Komunikasi, tidak perlu Bapak Kapolda pribadi harus dimunculkan.

Tentu saja jika bobot keamanan terancam berat/serius, Bapak Kapolda akan tampil. Sering terjadi musibah/kecelakaan kereta api; bila itu terjadi dekat dengan wilayah daerah operasinya, seorang petugas komunikasi dari DAOP stasiun terdekat dengan cepat dan jelas memberitakan kepada wartawan media.

Studi kasus dari Kepolisian, Commuter Line di Jakarta dan PT KAI menjadi acuan contoh yang baik dalam Manajemen Krisis berbasis Ilmu Komunikasi.

3. Be Credible. Bertanggungjawablah, agar dapat dipercaya, menjunjung kredibilitas.

Point ke 3 ini merupakan kilas balik contoh studi kasus jelek - mohon tidak ditiru.

Terjadinya pencemaran nama baik bahkan tuntutan berlarut-larut atas  terbakarnya pabrik pestisida di Bhopal, India, Desember 1984; ketika itu masih "zaman dahulu" dengan kertbatasan jaringan telekomunikasi dan pengetahuan Manajemen Krisis masih minim, maka tidak ada yang tampil sebagai yang bertanggungjawab.

Menyedihkan, bayangkan dengan akibat langsung yang meninggal ada ratusan penduduk desa kecil di Bhopal dan tuntutan kompensasi bagi ribuan orang yang terdampak menderita sakit, juga ada yang akhirnya meninggal karena menghirup udara terkontaminasi bahan kimia beracun dari pabrik ini berlangsung hingga tahun 2017. Bahkan mungkin masih ada trauma karena krisis Bhopal tidak tuntas diselesaikan.

Kemudian kasus menyemburnya lumpur dari tempat eksplorasi gas LNG di desa Renokenanga, Sidoarjo, Mei,  tahun 2006 yang menenggelamkan desa dengan seluruh bangunan pabrik, jalan raya, dan perumahan, meluas berhektar-hektar, yang tersohor dengan kasus Lumpur Lapindo.

Bukannya pimpinan PT Lapindo Brantas, tampil bertanggungjawab dan berusaha membatasi "musibah yang dituduhkan karena gempa bumi di Jogjakarta", pemilik perusahaan dengan Holding Company besar, dengan kuasanya mengalihkan tanggung jawab agar pemerintah membayarkan kompensasi.

Satu lagi kisah nyata memilukan terjadi karena keluhan seorang pasien melalui e-mail kepada kerabatnya tentang pelayanan pemeriksaan yang tidak memuaskan, mengantarkan pasien itu yang bernama Prita Mulyasari di tahun 2008- 009 dipenjarakan.

Isu yang sederhana dihembuskan menjadikan krisis pada rumah sakit mewah di daerah Alam Sutera, Tanggerang.

Krisis berkelanjutan selama 5 tahun dengan simpati masyarakat luas mengumpulkan "Koin untuk Prita" demi membebaskan yang dinyatakan bersalah oleh pimpinan manajemen rumah sakit itu.

Ketiga studi kasus diatas memilukan dan memalukan bagi perusahaan besar yang tidak mau bertanggung jawab. Bila saudara pimpinan/pemilik perusahaan, mohon jangan sampai hal serupa terjadi.

Bagaimana mitigasi agar tidak terjadi "ketiduran" dari zona nyaman mengakibatkan peristiwa tidak nyaman?

Catatan, artikel inspiratif yang disiapkan oleh sahabat baik saya Ludwig Suparmo, seorang pakar dan senior dalam Lead Trainer: Crisis, Issue, and Risk Management; Conflict Management; No Stress Management

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun