I. Bohong Abadi
Pernahkah Anda berjumpa atau menemukan seseorang yang menjalani hidup dengan kejujuran di dalam dunia ini? Artinya, tidak pernah berbohong selama hidupnya? Jawabannya sederhana saja, tidak ada. Yang ada, mungkin kejujurannya tidak sampai 100 persen, tetapi biasanya masih dinggap jujur.
Kecuali kalau memang kebiasaan dan perilakunya memang tidak jujur, bahkan memiliki hobi bohong dan membohongi orang. Nah, ini pasti akan disebutkan sebagai orang yang tidak jujur.
Bisa dimengerti juga kalau demikian, karena sesungguhnya tidak ada seorangpun yang memiliki kejujuran 100%. Tetapi yang menarik adalah bahwa sesungguhnya ada satu pola perilaku setiap orang hampir sama dan perilaku itu mencerminkan ketidakjujuran hidup.
Inilah yang disebut dengan kebohongan abadi setiap orang yang dilakukan seakan-akan tidak ada yang salah dan baik-baik saja. Padahal sesungguhnya, dia bohong dan tidak jujur, tidak saja pada dirinya sendiri, tetapi juga kepada orang lain.
II. Bagaimana Kabarmu?
Tanyakan kepada seseorang bagaimana kabar mereka. Atau bagaimana perasaannya? Dan pertanyaan yang hampir sama dengan itu. Dan perhatikan apa jawaban yang diberikan. Jawabannya sama, atau hampir semua, yaitu "Baik-baik saja". "Saya baik-baik saja".
Dan biasanya, orang yang bertanyapun juga tidak ambil pusing apakah betul atau tidak benar jawaban itu. Sebab, mungkin akan menjelaskan, bahwa itu hanya sebuah "basa-basi saja". Sapaan biasa saja, dan tidak ada maksud lain selain sekedar menyapa, daripada tidak menyapa sama sekali.
Di sinilah sesungguhnya sumber persoalan yang disebut sebagai kebohongan abadi, terutama bagi yang memberikan jawaban itu, "saya baik-baik saja". Karena sesungguhnya, dia tidak baik-baik saja. Lalu, persoalan selesai? Tidak juga, karena jawaban itu, menjadi legitimasi dan pembentukan sikap "berbohong yang abadi".
Setiap orang tanpa menyadari, terutama diawal kalau itu sikap dan jawaban yang salah. Tertapi terus saja dilakukan sepanjang hidupnya setiap ada orang yang bertanya apa kabar, bagaimana perasaannya. Dia akan memberikan jawaban yang bohong.
Inilah yang saya sebutkan sebagai kebohongan abadi yang dilakukan oleh setiap orang sepanjang hidupanya. Tidak hanya itu, orang lain juga akan memiliki sikap yang sama ketika menanyakan hal yang sama kepada orang lain.Â
III. Baik-baik saja artinya "tidak baik"
Jawaban seseorang yang mengatakan bahwa "baik-baik saja" sesungguhnya, mengandung banyak ironi bahkan kisah tragis yang sedang dialami oleh seseorang yang membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Pada hal sesungguhnya, di tidak sedang baik-baik saja. Dia tidak sedang sehat, dan dia sedang ada dalam sebuah persoalan besar dalam hidupnya.
Kenyataan ini banyak ditemukan dalam kisah hidup setiap orang. Antara pasangan suami dan istri, atau hubungan antara orang tua dengan anaknya, disana penuh dengan "kebohongan abadi". Saking abadinya kebohongan itu, sehingga ketika seseorang mengatakan yang sebenarnya, mau jujur dan tidak bohong, maka orang lain tidak menerima kenyataan itu. Akibatnya, lingkaran kebohongan itu terus meenrus terjadi. Lalu menjadi kebiasaan yang dianggap bukan berbohong.
Adalah seorang Kimberli Davino dalam menulis sebuah artikel dengan menjelaskan bagaimana kebohongan itu dilakukan oleh banyak orang tentang keadaan dan perasaan yang sebenarnya dialami ketika seseorang bertanya "bagaimana perasaanmu"?
- Sesungguhnya, "saya tidak baik-baik saja". Tetapi lebih mudah untuk mengatakan bahwa saya baik-baik saja daripada menjelaskan bagaimana perasaan saya sebenarnya.
- Sesungguhnya, "saya sedang berjuang". Tetapi  benar-benar tidak ingin Anda tahu itu karena itu membuat saya merasa lemah untuk menjalani perjuangan hidup saya.
- Saya tidak ingin Anda tahu bagaimana perasaan saya yang sebenarnya karena saya sudah bisa merasakan penghakiman dari orang lain terhadap yang saya alami.
- Kami tidak berada di tempat yang baik agar dapat diterima bagi saya untuk menjelaskan bagaimana perasaan saya yang sebenarnya.
- Sesungguhnya "saya sedang dalam keadaan jatuh". Tetapi mata saya terbuka dan saya berbicara kepada Anda, jadi itu berarti saya baik-baik saja.
- Saya tidak ingin belas kasihan Anda karena saya merasa tidak enak badan, dan saya tidak ingin Anda mencoba menyembuhkan saya dengan rasa pengasihan dari orang lain.
- Saya dalam penyangkalan diri dan ingin percaya bahwa saya benar-benar baik-baik saja. Di sisi lain saya mungkin terlalu lelah dan lemah untuk menjawab dengan hal lain selain saya baik-baik saja.
- Untuk sepersekian detik, saya mungkin benar-benar merasa baik-baik saja. Dalam satu saat itu, saya tidak mengalami kambuh atau rasa sakit. Itu tidak berarti saya baik-baik saja, tetapi itu berarti untuk sesaat itu, saya dapat tersenyum dan mencoba menangani hari saya.
- Kenyataannya adalah bahwa keadaan tidak baik tetapi saya ingin fokus agar tetap positif.
- Ketika saya mengatakan saya baik-baik saja, yang saya maksud sebenarnya adalah saya merasakan sakit yang mengerikan dan saya benar-benar ingin meringkuk dan menangis.
- Saya tidak ingin membebani Anda dengan masalah saya dan karenanya saya baik-baik saja.
- Sesungguhnya, saya hanya bisa mencoba berpura-pura normal.
- Saya baik-baik saja, artinya saya berjuang untuk melewati hari-hari berat dalam keadaan utuh.
Apa yang dikisahkan oleh Kimberly diatas, pada dasarnya juga dialami dan dijalani oleh hampir setiap orang. Bahwa sesungguhnya, ketika mengatakan baik-baik saja, itu adalah bohong karena keadaan sebenarnya tidak baik-baik saja.
IV. Kejujuran itu Makna Sejati
Kejujuran memang menjadi barang yang sangat mahal, dan tidak mudah ditemukan dalam diri setiap orang. Dan karenanya, makna dan pengertian dari kejujuran itu semakin jauh dari apa yang sebenarnya.
Kejujuran dimaknai sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan setiap orang dalam memenuhi kebutuhan bersamanya. Akibatnya adalah maka makna kemanusiaanpun semakin keluar dari hakikat kehidupan itu sendiri.
Kejujuran lalu dimaknai menjadi kebohongan, dan kebohongan menjadi kejujuran. Ada pemutarbalikan nilai kehidupan, dan karenanya kedepan akan menimbulkan kekacauan sistem nilai.
Ini tidak boleh dibiarkan. Dan harus dikembalikan kepada hakikat kehidupan itu. Agar makna hidup yang sesungguhnya di rasakan oleh setiap orang. Sebab, kejujuran itu adalah tetap kejujuran, yaitu apa yang sesungguhnya terjadi itulah diungkapkan. Dan bukan sebaliknya, apa yang diungkapkan diupayakan agar seperti itu kenyataannya.
Yupiter Gulo, 9 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H