Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Demo Mahasiswa, Bentuk Kolaborasi Minus Gotong-Royong

5 Oktober 2019   21:18 Diperbarui: 7 Oktober 2019   09:51 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tirto.id/pembungkaman-ala-forum-rektor-dan-jokowi-larang-mahasiswa-demo-ejeG

Apa yang didengungkan satu dekade terakhir sebagai kolaborasi, sudah lebih dahulu dikenal  dengan frase kolektif dan teamwork.

Apa yang dipertunjukan Negara Republik Rakyat Tiongkok atas keberhasilan kemajuan 70 tahun menyatakan sebagai Negara baru merupakan hasil nyata kolektif dan teamwork dibawah pimpinan yang solid.

Menurut Yonhap News yang dikutip oleh Stephen Robbins dan Timothy Judge dalam buku mereka Organizational Behavior (2017, 196), Asian countries have a strong collectivist culture that fosters a team-based approach to work.

Sesungguhnya zaman dahulu negeri kita juga sangat maklum untuk bekerja gotong-royong. Selain budaya gotong royong membersihkan lingkungan pada hari Minggu oleh satu kampung, di berbagai desa masih dilaksanakan mengangkat satu bangunan utuh, sebuah rumah karena rumah tersebut ingin dipindahkan tempatnya.

Bergotong royong zaman dahulu erat hubungannya ketika rakyat harus menderita bersama akibat perang dunia ke dua, dan terpaksa banyak yang harus mengungsi oleh tekanan tentara kolonial, maupun tentara Jepang.

Bergotong royong ketika itu dikenal juga bersatu berjuang bersama untuk merdeka, tidak mau dijajah lagi.

Sayang sekali, frase gotong royong pudar, terutama di kota-kota besar, bagi masyarakat yang mengatakan dirinya moderen. 

Kebersamaan untuk saling membantu berubah kearah mementingkan diri sendiri atau kepentingan suatu kelompok saja.

Di zaman dahulu kelompok merupakan seluruh masyarakat yang heterogen; sekarang ini kelompok di kotak-kotak kedalam partai, agama, ataupun faham tertentu.

Bergotong royong pudar, bekerja sama hanya dilakukan karena ada paksaan, atau himbauan dengan suatu janji agama atau janji material berupa pemberian uang.

Ini jelas dengan tercetusnya berbagai demo dan gerakan unjuk rasa yang berlindung dalam aksi kebebasan berekspresi.

Demo mahasiswa yang dilakukan berhari-hari, jelas-jelas mempertontonkan sebuah panggung kolaborasi yang sangat dahsyat. Lihat saja, mereka mampu menggerakan ribuan bahkan puluhan ribu masa pada saat yang bersamaan ditempat yang sama seperti di Jakarta. Bahkan juga di tempat lain di Indonesia.

Tetapi, gerakan demo yang dilakukan, jauh dari semangat atau jiwa gotong royong yang dimiliki oleh bangsa dan masyarakat Indonesia ketika menghadapi penjajahan, kesulitan kehidupan ekonomi, dan mereka menyatu dalam sebuah gerakan "gotong royong".

Collectivism yang definisinya adalah suatu budaya nasional berbasis pada ikatan sosial yang kuat untuk saling membantu dan saling melindungi, dewasa ini harusnya sesuai dengan kata kolaborasi.

Banyak yang berpendapat bila kata kolaborasi lebih condong menghasilkan sesuatu yang besar atau tujuan output-nya berujung pada hasil capaian material atau keuntungan.

Maka collectivism memang lebih tepat disamakan dengan frase gotong royong, tidak memperhitungkan mendapat keuntungan.  Gotong roryong tidak pernah memikirkan individualism (dan kata itu belum ada dirasakan pada waktu zaman perjuangan kemerdekaan negeri ini!).

Ini kutipan dari buku Organizational Behavior (p.194), Individualism is the degree to which people prefer to act as individuals rather than as members of groups and believe in an individual's rights above all else.

Semoga kita tidak menuju ke faham dan praktek individualistis demikian.

Marilah kembali bergotong royong, atau seruan yang lebih baru (karena kita memang memerlukan hasil perhitungan materialnya, atau hasil nyata yang dapat berguna untuk meneruskan hidup ini) marilah kita berkolaborasi.

https://redbooth.com/blog/promoting-collaboration-br4-lessons-from-google
https://redbooth.com/blog/promoting-collaboration-br4-lessons-from-google
Catatan, berterimakasih atas kiriman artikel aktual ini dari sahabat baik saya, Ludwig Suparmo -- Lead Trainier: Manajemen Kepatuhan, Manajemen Krisis, Isu dan Risiko, juga Manajemen Tidak Stres     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun