Demo mahasiswa yang dilakukan berhari-hari, jelas-jelas mempertontonkan sebuah panggung kolaborasi yang sangat dahsyat. Lihat saja, mereka mampu menggerakan ribuan bahkan puluhan ribu masa pada saat yang bersamaan ditempat yang sama seperti di Jakarta. Bahkan juga di tempat lain di Indonesia.
Tetapi, gerakan demo yang dilakukan, jauh dari semangat atau jiwa gotong royong yang dimiliki oleh bangsa dan masyarakat Indonesia ketika menghadapi penjajahan, kesulitan kehidupan ekonomi, dan mereka menyatu dalam sebuah gerakan "gotong royong".
Collectivism yang definisinya adalah suatu budaya nasional berbasis pada ikatan sosial yang kuat untuk saling membantu dan saling melindungi, dewasa ini harusnya sesuai dengan kata kolaborasi.
Banyak yang berpendapat bila kata kolaborasi lebih condong menghasilkan sesuatu yang besar atau tujuan output-nya berujung pada hasil capaian material atau keuntungan.
Maka collectivism memang lebih tepat disamakan dengan frase gotong royong, tidak memperhitungkan mendapat keuntungan. Â Gotong roryong tidak pernah memikirkan individualism (dan kata itu belum ada dirasakan pada waktu zaman perjuangan kemerdekaan negeri ini!).
Ini kutipan dari buku Organizational Behavior (p.194), Individualism is the degree to which people prefer to act as individuals rather than as members of groups and believe in an individual's rights above all else.
Semoga kita tidak menuju ke faham dan praktek individualistis demikian.
Marilah kembali bergotong royong, atau seruan yang lebih baru (karena kita memang memerlukan hasil perhitungan materialnya, atau hasil nyata yang dapat berguna untuk meneruskan hidup ini) marilah kita berkolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H