Pada akhirnya pihak Senayan, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat angkat bicara setelah Jokowi akan mempertimbangkan kemungkinan untuk menerbitkan Perppu KPK sebagai respons signifikan Presiden setelah bertemu dengan sejumlah tokoh negeri ini berkaitan dengan demo mahasiswa besar-besaran sejak Senin 24 September 2019 yang lalu, dan nampaknya mungkin akan terus berlanjut.
Reaksi Jokowi ini disambut sangat antusias oleh publik dan berharap ini menjadi pintu besar untuk meredam berbagai gejolak yang sedang terjadi. Terutama yang digerakkan oleh BEM Se Indonesia, dan gerakan yang dilakukan merata terjadi di kota-kota besar. Ini tentu sangat sensitif dan rawan konflik dan bentrok di tengah masyarakat.
Lain halnya dengan sejumlah anggota DPR, yang nampak tidak nyaman dan mungkin gerah dengan rencana Sang Presiden untuk menerbitkan Perppu ini. Suara yang sangat keras datang dari salah seorang petinggi PDIP, Bambang Wuryanto yang terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya kepada Presiden  atas Perppu KPK itu karena alasan "tidak menghormati DPR", seperti diberitakan oleh tempo.com.Â
Lebih keras, Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto menyebut Presiden tak menghormati DPR jika menerbitkan Perpu. Menurut Sekretaris Fraksi PDIP di DPR tersebut, sudah ada mekanisme uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi bagi mereka yang menolak UU KPK hasil revisi.Â
"Bukan dengan Perpu. Clear. Kalau begitu (perpu terbit) gimana? Ya, mohon maaf Presiden enggak menghormati kami, dong," ucapnya di Gedung DPR, Senayan, hari ini, Jumat, 27 September 2019.
Pertanyaan yang menggoda dan tricky adalah apakah betul Presiden Jokowi tidak menghargai dan menghormati DPR kalau dia menerbitkan Perppu KPK itu ? Jangan-jangan anggota DPR ini menjadi sangat sentimentil karena sudah mau berakhir periode jabatan di DPR?
Sejak awal diketahui adanya revisi UU KPK oleh DPR yang disahkan secara mendadak dan diteruskan ke Presiden untuk mendapatkan persetujuan selanjutnya, Jokowi nyaris tidak memberikan "perlawanan" terhadap revisi UU KPK tersebut. Dan publik mengetahui alasan utama dari RI-1 ini bahwa sesungguhnya revisi UU KPK itu merupakan hak inisiatif dari Dewan. Dan karenanya, Presiden tidak menolak, kecuali memberikan 4 poin yang tidak boleh di ubah oleh revisi UU KPK tersebut.
Dan atas dasar itulah sesungguhnya akhirnya dalam sidang paripurna DPR maka hak inisiatif DPR revisi UU UKP menjadi UU KPK yang baru menjadi disahkan, untuk diproses selanjutnya oleh Presiden.
Sampai disini, harus di akui bahwa Presiden Jokowi menghargai dan menghormati Dewan yang terhormat terkait dengan hak inisiatif tersebut. Lalu, apakah masih ada alasan lain untuk menyimpulkan bahwa Presiden tidak menghormati Dewan?
Tetapi, kisah selanjutnya kan menjadi lain ketika publik menolak habis-habisan revisi UU KPK itu. Dan dengan alasan itu juga maka demo demi demo berhari-hari dan besar-besaran dilakukan oleh BEM SI. Bentrok, konflik, dan korban tidak bisa dihindari terjadi. Kendati aparat sudah melakukan yang terbaik untuk menangani demo yang luar biasa ini.
Harusnya, DPR melihat bagaimana gerakan demo ini terus bergulir. Dan nampaknya tidak fair kalau tidak dicatat bahwa salah satu pemicu gelombang besar demo mahasiswa ini adalah ketidakramahan dan tidak nyamannya penerimaan dari wakil DPR saat utusan BEM SI masuk kedalam DPR untuk menyampaikan tuntutan mereka. Situasi itu menjadi trigger luar biasa ketika mahasiswa merasa tidak percaya lagi kepada anggota DPR.
Masihkah DPR menuduh Presiden tidak menghormati mereka karena rencana Perppu KPK, sementara situasi dan gejolak demo telah menjadi arena "tunggangan" dari berbagai kepentingan politik saat ini. Apalagi menjelang hajat besar bangsa ini, yaitu pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.