Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Membebaskan Prabowo dari "Penyanderaan"

14 Juli 2019   14:50 Diperbarui: 14 Juli 2019   15:14 3029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.facebook.com/Jokowi/

"Untuk segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk berpisah ada waktu untuk betemu. Dan selalu indah pada waktunya"

Jiwa kutipan diatas merupakan pesan terkenal dari seorang nabi besar, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah kolong langit ini pasti ada waktunya. Dan tentu saja waktu itu tidak ada yang bisa mendahului. Tidak bisa lebih cepat dan juga tidak bisa lebih terlambat. Dan karenanya, "segala sesuatu dibuatnya indah pada waktunya"

Saya melihat pertemuan antar Jokowi dengan Prabowo yang terjadi pada hari Sabtu pagi 13 Juli 2019 di atas MRT Jakarta merupakan refleksi tentang pesan dari surat nabi diatas.

Memang betul, bahwa pada akhirnya Jokowi bertemu dengan Prabowo. Tidak lagi menjadi penting, siapa yang mengajak bertemu dan siapa yang diajak berjumpa. Juga tidak menjadi persoalan apakah bertemu di rumah, di istana, di warung atau di atas Moda Raya Transportasi Jakarta. Yang penting adalah bahwa mereka akhirnya bertemu.

Pertemuan kedua tokoh yang sangat berpengaruh ini memang dinanti oleh masyarakat Indonesia. Karena proses Pilpres telah membuat terpolarisisa masyarakat Indonesia dalam dua kutub. Yaitu kutub "kecebong" dan kutub "kampret" sedemikian rupa sehingga berada dalam posisi berhadap-hadapan yang sangat sensitif berpotensi konflik.

Pertemuan kedua Capres 2019 di atas MRT, saling bersalaman, saling berangkulan, saling menatap, saling cikipa-cipiki, saling berhaha-hihi, saling melambai, saling bercanda, saling menggoda dan duduk bersama berdampingan, dalam acara makan siang bersama, dan saling berpidato, saling menyapa seluruh rakyat Indonesia.

Nampaknya komplit, tidak ada yang tertinggal, semuanya tuntas. Memang, pertemuan ini betul-betul indah karena waktunya untuk indah.

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/13/13512531/pelukan-jokowi-prabowo-yang-akhiri-cebong-vs-kampret
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/13/13512531/pelukan-jokowi-prabowo-yang-akhiri-cebong-vs-kampret
Setiap orang boleh memberikan penafsiran dan pemaknaan apapun, tetapi kejadian singkat itu telah menyatukan kembali Prabowo dengan Jokowi sebagai tokoh bangsa ini yang mempunyai pengaruh kuat bagi dinamika politik, sosial budaya Indonesia.

Prabowo bebas dari "penyanderaan"

Tidak adanya pertemuan Prabowo dan Jokowi sejak selesai Pilpres, dimaknai dan di narasikan oleh publik kalau Prabowo "tersandera" oleh berbagai kepentingan dalam kubu pendukung selama proses Pemilu berjalan.

Ketidakrelaan dari sebagian besar pendukungnya untuk tidak perlu bertemu Jokowi, bahkan untuk mengucapkan selamat kepada Jokowi sebagai presiden terpilih, hingga tuntutan agar membebaskan sejumlah tahanan dari kubu Prabowo, dan yang terakhir agar HR di bolehkan pulang ke Indonesia, telah menjadi isu yang menyandera Prabowo.

Secara politik, hal ini sungguh sangat lumrah adanya. Kepentingan yang sangat besar bagi pendukung Prabowo selama ini, tidak mau menyia-nyiakan peluang untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Bahkan yang terakhir ada dorongan sangat kuat agar Prabowo dengan Gerinda dan koalisinya menjadi oposisi dalam kabinet Jokowi.

Lagi-lagi itu semua tuntutan yang sangat wajar dan bisa di mengerti dengan jelas. Walaupun tidak selalu harus semua masyarakat setuju atau mendukungnya.

Apa yang terjadi dengan pertemuan yang heboh kemarin antara Jokowi dengan Prabowo, yang di liput dan diviralkan oleh semua pemberitaan di media dalam dan luar negeri?

Yang terjadi adalah, pertama, Prabowo telah bebas dari "penyanderaan" yang selama ini dilakukan oleh kekuatan yang ada dan terus berkembang dalam kubu pendukungnya. Dan Jokowi yang membebaskan Prabowo dari cengkeraman dahsyat yang nyaris bisa mematikan.

Kedua, bukan saja hanya membebaskan Prabowo, tetapi ikatan kekuatan yang menyandera Prabowo selama ini menjadi lepas nampak tak memiliki kekuatan, dan perlu mencari pengikat yang baru.

Dilaporkan oleh detik.com  dengan judul berita "Prabowo bertemu Jokowi, PA 212 angkat kaki". Novel Bamukmin, juru bicara Persaudaraan Alumni 212 menegaskan kalau mereka sudah kembali ke khitoh semula, yaitu tidak ada lagi bersama partai mana pun juga, juga Prabowo dan Badan Pemenganan Nasional.

PA 212 akan meneruskan perjuangan mereka untuk melawan kecurangan tanpa Prabowo dan Gerinda.

Ketiga, Prabowo dengan partai politiknya Gerinda menjadi "bebas" dari berbagai cengkeraman yang selama ini menjadi agenda untuk memenangkan ke kursi RI-1. Dan dengan begitu, Prabowo memiliki posisi yang lebih baik dalam konstelasi politik di Senayan, mengingat jumlah kursi yang dimiliki tidak sedikit.

Dalam posisi ini, mimpi Prabowo untuk ikut memajukan negeri ini agar memiliki kedaulatan bisa diakomodir secara politik. Menjadi partner seimbang sebagai oposisi ataupun collaboration dengan pemerintahan Jokowi.

Keempat, hancurnya "kecebong" dan "kampret" yang selama ini menjadi identitas dari pendukung militan dari Jokowi yaitu kecebong, dan kelompok pendukung Prabowo adalah kampret. Yang ada  sekarang adalah masyarakat Indonesia

Kelima, upaya Jokowi untuk melakukan pembebasan Prabowo dari penyanderaan kekuatan PA 212, menjadi kemenangan bagi demokrasi yang bersih dan powerful di Indonesia. Karena targetnya adalah memajukan kualitas demokrasi Indonesia yang tidak berbasis dengan pendekatan radikalisme dan terorisme.

Oposisi atau koalisi

Bagi seorang Prabowo yang sudah bebas dari penyanderaan kekuatan PA 212, harusnya tidak boleh disia-siakan. Dan harus segera mengambil keputusan politik yang strategis. Yaitu hendak menjadi oposisi atau berkoalisi dengan Jokowi dalam kebinet kerja jilid II.

Keputusan apakah pendulum mengarah ke oposisi murni, oposisi setengah, atau opisis seperempat, atau full koalisi akan menjadi indikator strategi bagaimana Prabowo melihat dinamika politik menuju 2024.

Fakta menjelaskan bahwa Gerinda sebuah kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh, walaupun secara perolehan suara masih belum menjadi nomor satu, tetapi peran sebagai katalisator dinamika politik menjadi penting.

Pilihan menjadi oposisi murni yang benar, akan menolong agar kinerja Presiden bisa lebih baik dan terkontrol menuju Indonesia yang lebih maju. Tentu saja ini bukan persoalan apakah selalu memenangkan proses pengambilan keputusan politik di dalam parlemen nantinya. Yang utama adalah kualitas kontrol yang dibawa oleh Gerinda akan dicermati oleh masyarakat yang memang pro kepada kepentingan rakyat untuk jangka panjang.

Dan lebih utama lagi adalah bagaimana Gerinda mempersiapkan diri untuk agenda Pemilu pada tahun 2024 yang banyak orang menduga akan jauh lebih seru daripada yang sekarang. Karena saat itu, Jokowi tidak lagi bisa masuk di dalam bursa Capres 2024.

YupG. 14 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun