Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Vonis 8 Tahun untuk Karen Agustiawan, Kontroversialkah Hukumannya?

12 Juni 2019   00:47 Diperbarui: 12 Juni 2019   16:35 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.bbc.com

Siapa yang tidak kenal dengan Karen Agustiawan yang sekitar 10 tahun yang lalu menjadi salah seorang wanita yang menarik perhatian publik karena menjadi Direktur Utama PT Pertamina periode 2009-2014, dan debutnya dalam mengelola bisnis minyak Indonesia ini mengantar dia menjadi salah seorang yang masuk ke daftar Most Powerful Women versi Fortune pada 2013. Nama Pertamina pun turut masuk ke daftar bergengsi Fortune Global 500.

Namun, hari ini nasib berbicara lain karena Karen dijatuhkan vonis 8 tahun penjara oleh sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, di jalan Bungur Besar Jakarta Pusat, Senin 10 Juni 2019. Vonis yang 7 tahun lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut.

Karen dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kesalahan yang membuat Karen harus di hukum adalah keputusannya sebagai Dirut Pertamina untuk melakukan investasi dengan mengakuisisi 10% blok Basker Manta Gummy (BMG) milik ROC Oil Limited Australia pada April 2009 yang lalu. Nampaknya ada kesalahan dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam jabatannya sebagai orang nomor satu di PT Pertamina itu.

Melakukan investasi seperti akuisisi, merger, aliansi dengan perusahaan lain sesuatu yang wajar dan umum dilakukan oleh banyak perusahaan sebagai upaya mengembangkan perusahaan yang dikelolanya agar memberikan hasil yang optimal bagi pemiliknya.

Setelah perusahaan BMG ini di akuisisi melalui anak perusahaan Pertamina yaitu PHE atau Pertamina Hulu Energy, ternyata BMG ini merugi bahkan operasionalnya dihentikan, Dan karenanya  Indonesia rugi hingga 568 miliar sebagai konsekuensi dari kesalahan dalam keputusan yang diambil oleh Karen sebagai Dirut Pertamina.

Berdsarkan keputusan Pengadilan kesalahan yang dibuat oleh Karen ada dua yaitu (i) keputusan investasi mengakuisisi BMG tidak didahului oleh penelitian semacam feasibility study, dan (ii) belum mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris. Tentu saja ini pelanggaran yang sangat serius ketika keputusan ini betul-betul gagal dan tidak memberikan keuntungan, malah kerugian yang harus diderita.

Kontroversi Vonis Hakim
Menarik untuk mencermati vonis yang dijatuhkan 8 tahun buat Karen oleh Hakim Pengadilan Tipikor, karena disangkakan korupsi tetapi sama sekali dia tidak mengkorupsi uang. Bahkan satu rupiahpun Karen tidak terbukti menerima atas investasi yang dilakukan oleh Pertamina itu.

Kontroversi ini bahwa Karen disangkakan korupsi tetapi tidak terbukti mengkorupsi. Yang juga di perkuat oleh salah seorang anggota hakim, yaitu Anwar. Hakim anggota Anwar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Karen. Dengan menyatakan Karen tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

"Menyatakan terdakwa Karen Agustiawan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan primer dan subsider," kata Anwar membacakan pendapat berbeda dalam dalam sidang vonis Karen.

Alasan utama atas kesalahan yang dilakukan, kendati Karen tidak terbukti korupsi uang dari proyek investasi ini, tetapi kerugian negara hingga 568 miliar rupiah, dan menjadi keuntungan atau diuntungkan bagi perusahaan Roc Oil Limited Australia itu sebagai konsekuensi dari kontrak atau perjanjian yang dibuat, termasuk biaya yang harus ditanggung oleh Pertamina kendati operasional dari BMG berhenti karena merugi.

Kontroversinya yang menarik adalah pemahaman mendasar apakah sesungguhnya ada niat atau kesengajaan dari Karen untuk melakukan kesalahan dalam keputusan investasi akuisisi BMG itu?

Nampaknya kecenerungan itu sangat kecil bagi seorang Karen yang memiliki reputasi manajemen profesional yang handal. Dan sangat mungkin pengalaman keputusan investasi yang dilakukan selama ini tidak hanya pada kasus akuisisi BMG ini saja.

Mungkin saja, karena BMG yang diakuisisi ini merugi setelah satu tahun lebih berjalan sehingga hasil yang diharapkan tidak ada, bahkan malah terbeban pada biaya yang menjadi tanggungjawab Pertamina. Artinya pula, apabila blok BMG ini berhasil dan mencetak untung yang besar, mungkinkah akan dipersoalkan menjadi temuan ?

Sebab, Karen sendiri mengakui bahwa hasil audit oleh BPK, tidak menemukan adanya kerugian negara sehingga menjadi tanda tanya besar bagi seorang Karen Agustiawan. Dan untuk itulah Karen merasa tidak bersalah, dan karenanya dia langsung memutuskan untuk mencari keadilan lagi dengan naik banding.

Pada tingkat Pengadilan lebih tinggi tentu akan terbukti nanti apakah kontroversi vonis ini benar atau tidak.

Penerapan GCG yang Diabaikan
Kasus yang dialami oleh Mantan Dirut Pertamina ini menjadi menarik untuk di jadikan sebagai lesson learn bagi perusahaan dimana saja, utamanya BUMN maupun BUMD yang sangat terkait dengan pengelolaan harta negara. Sehingga kalau para Direksinya tidak hati-hati maka UU Korupsi telah siap menanti untuk mengantar ke penjara.

Seperti yang dialami oleh Karen, betul bahwa dia tidak mengambil uang satu rupiahpun, tetapi karena sebagai Direktur Utama, maka keputusan dan kebijaksanan yang diambil, baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan Direksi yang lain, akan mempunyai konsekuensi hukum yang sangat berat.

Sebetulnya yang kita bicarakan adalah apa yang dikenal dengan Good Corporate Governance atau GCG yang harus dipedomani, ditaati dan diimplemntasikan secara benar dan konsisten dan konsekuen. Semuanya bermuara melalui SOP yang sudah menyatu dengan GCG ini.

PT Pertamina yang menjadi andalan negeri ini dalam mengelola dan menata industry perminyakan di tanah air, harusnya menjadi contoh yang prima dalam mengimplementasikan GCG.

Dengan kata lain, kalau kesalahan seperti dituduhkan oleh Pengadilan Tipikor tentang terjadinya penyimpangan keputusan investasi oleh Pertamina, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam manajemen Pertaminan tidak berfungsinya kepatuhan terhadap semua sistem pengendalian yang sudah dibangun dengan baik.

Disana ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip penerapan GCG yang mendasar. Seperti diketahui bahwa ada 5 prinsip GCG yang tidak boleh dilanggar untuk menghindari kerugian seperti yang dialami di Blok BMG Australia itu.

Lima buah Prinsip itu adalah :

  1. Transparancy
  2. Accuntability
  3. Responsilibility
  4. Independency
  5. Fairness

Hanya dengan mengikuti dan melaksanakan dengan baik ke lima prinsip diatas, seorang Direktur dan Direksi akan terhindar dari kesalahan fatal untuk tidak masuk penjara.

Yupiter Gulo, 11 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun