Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengukur Kesaktian Pancasila sebagai Perekat Keretakan Bangsa

2 Juni 2019   15:52 Diperbarui: 3 Juni 2019   09:32 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://news.detik.com/berita/d-4572878/sejarah-hari-lahir-pancasila-jangan-keliru-dengan-hari-kesaktian

I. Pancasila 74 Tahun

Kini usia Pancasila memasuki 74 tahun sejak dilahirkan bersamaan dengan bebasnya Indonesia dari cengkeraman penjajahan yang sangat mengerikan dan menyakitkan dari negara lain. Lahirnya Pancasila sebagai penanda negeri ini merdeka dan memiliki kedaulatan yang absolut diatasnya. Pancasila di yakini, dipercaya dan diterima sebagai dasar negara yang memungkinkan bersatunya bangsa ini dalam tubuh NKRI.

Pancasila sebagai perekat semua anak bangsa yang memiliki keragaman yang sangat luar biasa besarnya. Tidak saja dari sisi suku, agama, bahasa, bahkan juga geografis dan tipikel demografis yang sangat komplit ada di republik yang di pecaya sangat kaya raya.

Bila dilihat usia 74 tahun perjalanan waktu dalam udara kemerdekaan, harusnya kesimpulan yang bisa di rumuskan adalah bahwa bangsa ini tetap bersatu, bersekutu, menjadi kuat karena memiliki dasar dan alat perekat yang sangat kuat dan awet, yang tidak mudah hancur, roboh, robek atau hilang, yaitu Pancasila.

Pancasila sebagai alat perekat dan pemersatu negeri ini hingga mampu melewati usia hingga 74 tahun saat ini, ketika di rayakan peringatannya 1 Juni 2019.

Pertanyaan yang sifatnya reflektif adalah apakah Pancasila masih kuat sebagai alat perekat bangsa ini? Atau seberapa kuat rekatan yang dimiliki Pancasila untuk tetap menyatukan keragaman dari Indonesia saat ini dan kedepan mengingat dinamika perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi?

Pertanyaan ini menjadi sangat penting dan relevan dengan situasi yang sedang dihadapi oleh bangsa ini sejak reformasi digulirkan 21 tahun yang silam, ketika Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tumbang.

Situasi yang dimaksudkan adalah adanya keretakan sosial yang sangat signifikan di tengah-tengah dinamika politik yang sedang menjadi pendorong kuat dinamika yang ada saat ini. Munculnya keinginan untuk mendirikan negara dengan dasar yang berbeda dengan Pancasila sebagai dasari NKRI. Walaupun pada akhirnya pemerintah telah melarang organisasi HTI sebagai gerbong yang akan mengakomodir seluruh gagasan untuk sebuah mimpi bagi negara dengan dasar yang lain.

https://nasional.kompas.com/read/2017/06/12/07462921/jika.khilafah.berdiri.apakah.pancasila.tetap.ada.?page=all
https://nasional.kompas.com/read/2017/06/12/07462921/jika.khilafah.berdiri.apakah.pancasila.tetap.ada.?page=all
Harus diakui bahwa ada kesan sangat kuat bahwa pemerintah sangat terlambat untuk mengontrol gerakan-gerakan seperti itu hingga akhirnya di larang dan ditutup. Maksudnya adalah organisasinya bisa saja dilarang tetapi sesungguhnya, kelompok masyarakat yang sudah terikat dan menjalankan semangat dari misi tersebut masih eksis di tengah-tengah masyarakat.

Akibatnya adalah hilang ketenangan dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat dengan munculnya dorongan mempertajam dan membenturkan perbedaan identitas sakral yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu agama dan kepercayaan masing-masing. Situasinya semakin menjadi sensitif dan akhirnya masyarakat saling berhadap-hadapan, saling curiga, dan berakhir dengan konflik yang akan merugikan semua orang.

Masyarakat menjadi mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan maupun gangguan-gangguan bagi kehidupan publik yang damai dan tenteram, Karena ujung-ujung dari semua polarisasi yang ada adalah radikalisme dan terorisme yang mencuri semua kedamaian yang harusnya dimiliki oleh semua anggota masyarakat.

Proses penyelenggaraan pesta demokrasi dalam bentuk Pemilu Serentak 2019, seakan menjadi konfirmasi yang sangat reprsesntatif bagi publik tentang keretakan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Anak-anak bangsa ini menjadi terbelah dua, antara dua kubu Capres yang bertanding habis-habisan untuk menjadi pemenang.

Bahkan dengan terang benderang, mantan kepala BIN Hendropriyono, ditengah-tengah masa kampanye Capres menegaskan bahwa sesungguhnya yang berkompetisi saat ini adalah bukan Jokowidodo versus Prabowo, tetapi Pancasila versus Khilafah.

Dalam keadaan yang seperti ini, menjadi sangat penting untuk mempertanyakan Pancasila ada dimana? Masih ampuhkah menjadi perekat atas keretakan yang sedang dialami oleh anak-anak bangsa negeri ini? Apa yang sedang terjadi dengan Pancasila kita?

II. Pancasila sebagai Perekat

Harus diakui bahwa sejak terjadinya Reformasi 1998 di negeri ini, ada semacam trauma yang sangat berlebihan dengan semua hal yang berbau rezim orde baru. Bahkan berbagai program terkait Pancasila sebagai dasar negarapun seperti Program P4, seakan-akan tabu dibahas apalagi diteruskan. Jadilah Pancasila itu seakan-akan hanya ada di rak buku saja. Ini sejalan dengan apa yang disimpulkan oleh Yudi Latif dalam artikelnya berjudul Memanjurkan Pancasila di Harian Kompas 31 Mei 20219

Tatkala tenunan sosial robek, kita memerlukan Pancasila sebagai simpul perekat. Namun, apa daya, keberadaan Pancasila saat ini ibarat kitab suci dengan kertas yang rombeng. Dibuang takut kualat, dipakai tak lagi terbaca.
Terlalu lama terpajang sebagai hiasan seremonial, tanpa ketekunan perawatan, membuat Pancasila mengalami pelapukan. Untuk menghentikan proses degenerasi, cara melestarikan Pancasila harus keluar dari tendensi formalisme verbalistik menuju efektivitas operatif.

Nampaknya konklusi yang dibuat oleh Yudi Latif banyak benarnya. Bahkan ketika Presiden Jokowidodo pada dua tahun yang lalu membentuk BPIP, yang diketuai oleh Megawai SP dan Yudi Latif sebagai Pelaksana Hariannya, mendapat tantangan dan penolakan kelompok-kelompok masyarakat. Seakan badan ini tak dibutuhkan. Pada hal tujuannya sangat jelas, agar Pancasila sebagai dasar negara menjadi efektif dalam mengelola kesatuan dan persatuan bangsa dan negera ini.

Pancasila hanya sebgai pajangan saja, artinya tidak lagi pernah dibahas, dikupas, direview dan ditindaklanjutin. Padahal dinamika dan perkembangan yang ada harusnya menuntut kajian Pancasila dalam merelevansikan dengan generasi yang ada, dengan Revolusi Industri 4.0 yang sedang dihadapi, era disrupsi inovasi yang terus terjadi, dan perubahan dunia yang semakin menantang.

Pancasila menjadi pajangan saja, dan itu berarti daya rekatnya untuk menyatukan anak-anak bangsa ini semakin menurun dan tidak mampu merekatkan lagi. Atau memang dorongan yang datang dari luar lebih kuat dari daya rekat yang ada didalam Pancasila.

Sebutkan saja berbagai konflik keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Bukan saja kelompok masyarakat yang berbeda kepercayaan atau agama, tetapi didalam satu agama yang samapun muncul konflik yang sering membuat masyarakat menjadi terbelah.

Padahal sila pertama dalam Pancasila itu, Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat jelas makna dan pesannya, yaitu "Mengandung nilai saling menghormati antar sesama penganut agama dan tidak mempermasalahkan perbedaan tentang cara beribadah kepada Tuhan."

Pesan ini menolong semua anak-anak bangsa ini bahwa bahwa konflik Agama banyak yang terjadi karena sentimen agama tidak akan terjadi apabila kita memahami secara mendalam tentang Pancasila terutama pada sila pertama karena akan tercipta rasa saling menghormati dan menghargai ketuhanan masing-masing.

III. Perlu Pembumian Pancasila

Situasi yang akan dihadapi oleh Indonesia sebagai negara yang akan menjadi besar dan diperhitungkan dalam peta global, secara khusus bidang ekonomi, maka tidak ada jalan lain selain agar Pancasila sebagai dasar negara harus terus direlevansikan dengan dinamika dan perubahan yang dihadapi oleh bangsa ini dari tahun ke tahun. Dan Pancasila tidak bisa lagi hanya sebagai panjangan saja.

Nasehat yang sangat baik dari Yudi Latif menarik untuk dipertimbangkan secara seksama. Dia mengatakan bahwa:

"Apabila Pancasila dikehendaki ketahanan kemanjurannya, ia harus dibumikan secara efektif dalam tiga ranah peradaban: ranah tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera; bersamaan dengan penguatan Pancasila pada tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.
Selain persoalan ruang lingkup pembumian di tiga ranah peradaban, kemanjuran pembudayaan Pancasila juga memerlukan proses aktualisasi tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Sangat menarik dan sekaligus juga menantang, khususnya bagi pemerintahan yang akan menjalankan roda pengelolaan negara ini lima tahun kedepan. Nampaknya tidak bisa lagi dipisahkan pemahaman dan implementasi Pancasila itu sebagai single issues saja, tetapi dia akan menyatu dengan secara totalitas dalam dinamika kehidupan bangsa ini.

Katakanlah bahwa Pancasila itu sebagai "Buku Suci"nya republik yang semua orang harus faham benar tentang isinya dan menjadi acuan dan pedoman untuk mengontrol setiap pergerakan di tengah-tengah masyarakat. Bukan saja pihak eksekutif, tetapi juga legislatif, yudikatif, bahkan semua stakeholders di republik ini.

Pancasila akan benar-benar menjadi alat perekat bagi anak bangsa untuk membuat Indonesia ini berada dalam satu langkah dengan satu tujuan demi kemajuan dan kehebatan bangsa ini diantara negara-negara yang ada di jagad ini.

https://news.detik.com/berita/d-4572878/sejarah-hari-lahir-pancasila-jangan-keliru-dengan-hari-kesaktian
https://news.detik.com/berita/d-4572878/sejarah-hari-lahir-pancasila-jangan-keliru-dengan-hari-kesaktian
Selamat Hari Pancasila 1 Juni 2019

Yupiter Gulo, 2 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun