Ketiga, kualitas caleg tidak lebih dari sekedar mencari pekerjaan saja dan bukan karena memang profesional, menguasai tugas, peran, fungsi dan tanggungjawab sebagai wakil-wakil rakyat. Ini bisa difahami, dengan kebutuhan anggota legislatif sebanyak sekitar 20.000-an orang, untuk seluruh Indonesia, maka menjadi daya tarik untuk mencoba mengadu nasib sebagai caleg.
Di Jawa Timur ada sebuah hasil survei yang dilakukan oleh Surabayapagi.com menemukan bahwa 61% Caleg tidak jelas pekerjaannya ketika mendaftar diri sebagai caleg. Ini difahami sebagai petunjuk bahwa para caleg sesungguhnya tak memiliki pekerjaan yang jelas. Dan karenanya sangat mungkin mereka mengadu nasib menjadi caleg. Kalau lolos nasibnya akan baik, kalau gagal ya terus jadi penggangguran.
Kalau hasil survei ini dianggap mewakili seluruh Indonesia, berarti dari 20.000-an Anggota Legislatif  yang terpilih 2019-2024 adalah mantan pengangguran, maka pertanyaan kritisnya adalah "Apa yang diharapkan dari anggota DPR yang pengangguran?".
Sangat mungkin, mereka yang 61% inilah yang menjadi sumber persoalan di dalam lembaga legislatif, dan yang merecoki terus menerus pekerjaan dari eksekutif pihak pemerintahan.
Keempat, banyak caleg yang berani mencalonkan diri dengan cara memaksakan diri tanpa persiapan yang memadai. Apalagi kalau didorong oleh partainya, hanya sekedar memenuhi kuota jumlah caleg saja.
Kelima, ada kecenderungan yang sangat kuat para caleg petahana itu "greedy" atau rakus akan kekuasaan menjadi anggota legislatif. Hal ini nampak dari usaha yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara agar terpilih kembali. Jamak dilakukan adalah "money politics", dengan praktek serangan fajar, amplop berisi uang yang disebarkan menjelang pemilu atau pileg.
Serangan fajar ini diakui sangat efektif untuk mendulang suara dari pemilih. Hanya saja, persaingan diantara caleg menjadi sangat ketat, sehingga berlomba untuk menaikkan nilai amplopnya. Dahulu uang Rp 10.000 efektif, pelan-pelan naik Rp 50.000, dan Rp. 100.000. Sekarang angkanya sudah bermain diatas Rp 200.000 hingga Rp 500.000. Terutama di daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota yang jumlah suaranya tidak terlalu banyak.
Kepentingan ideal maksudnya adalah memilih caleg karena untuk masa depan bangsa dan negara. Tetapi kalau kepentingan pragmatis adalah memilih caleg sesuai dengan besarnya serangan fajar yang diberikan, ataupun janji-janji lainnya.
Inilah bahayanya proses pileg yang merusak masa depan bangsa dan negara. Sebab, Caleg yang terpilih karena pertimbangan pragmatisme pemilih tidak akan menghasilkan Anggota Legislatif yang berkualitas untuk mengelola, dan menjaga republik ini agar berjalan sesuai jalur yang benar.