"Blow-up" "Tiuplah hingga melembung besar" -- Jadikan berita "wah!"
Tunjukkan sesuatu lebih jelas. Berbagai pendapat untuk mengartikan frase "blow-up", termasuk jika ada berita atau kenyataan kurang-terlihat, kecil bendanya, perlu memakai kaca pembesar, perlu dibesarkan.
Ballpoint atau balpen yang kecil dipencet-pencet dalam genggaman tangan, tidak tampak nyata ketika ditayangkan di layar TV -- ini perlu di "blow-up".
Dalam ilmu biologi dan kedokteran pemakaian mikrosop untuk melihat benda atau  bakteri kecil perlu melalui pembesaran ribuan kali - dalam hal demikian tidak dipakai istilah "blow-up".
Jadi secara umum frase "blow-up" lebih kearah pengertian negatif, sesuai pengertian: "tiup, tiup terus, biar balonnya pecah -- dor! Kaget semua!" Juga agar lebih meyakinkan peristiwa seseorang menggenggam balpen perlu ditambahkan dengan "ear-piece" agar mendukung hubungannya dengan "pembisikan" dalam mengutip angka-angka atau membisikan untuk memberikan arahan data, meyakinkan: balpen dipencet-pencet -- dapatlah bisikan jawaban data melalui ear-piece.
Padahal orang yang memberitahukan data di TV minggu lalu itu dan memberi pernyataan tersebut adalah seorang insinyur yang sejak sekolah SD suka mata pelajaran matematika!
Ada yang memberi komentar bahwa pihak lawan berdebat sesungguhnya: "Kreatif, inovatif, jeli, melihat kenyataan yang harus diungkap ke publik!"
"Pin the blame on the donkey" -- ini perumpamaan (proverb) mendukung pernyataan "blow-up".
Secara harifiah donkey si keledai selalu menunjukan hewan dan juga diumpamakan sebagai manusia yang bodoh. To pin menyatakan sama seperti "tempalah", "masukkan ke otak" agar pernyataan atau peristiwa yang sudah lewat dapat disalahkan pada mereka yang bodoh.
Dalam acara perdebatan  Capres 2019 minggu lalu sesungguhnya siapa "yang bodoh?  Yang "bodoh", yang "disalahkan" sering disebut sebagai scapegoat (domba macam apa, ya?).
Apakah sepadan dalam bahasa Indonesia dengan "kambing hitam"? Berikut kisah yata yang lain: Kisah rokok yang di "blow-up" sebagai alat/bahan penenang. Ketika perang dunia ke II, berlangsung hebat; pabrikan rokok sigaret melihat peluang bisnis besar.
Serdadu di medan perang dibagikan rokok dan diberitahu bahwa nikotin dalam rokok merupakan bahan penenang. Serdadu dalam perang tidak menjadi nervus, tenang menghadapi serangan atau sambil menghisap rokok maju perang!
Contoh bahwa kebanyakan jenderal di Amerika dan Eropa juga pemimpin Negara seperti Winston Churcill selalu terlihat menghisap cerutu di mulutnya, menjadi citra, bahwa tembakau itu menenangkan, membuat orang cair berpikir. Namun cerutu besar mahal harganya, dan itu memang memberi citra "lebih" bagi para pemimpin, mereka tidak menghisap sigaret yang kecil.
Sebelum itu dikenal menghisap tembakau dengan pipa, ini juga memberi citra orang "besar" yang menghisap pipa, bukan sekedarnya menghisap sigaret, rokok yang kecil dan relatif murah.
Citra menghisap rokok, di  "blow-up" oleh Advertising Agencies, para ahli periklanan, bahwa merokok itu menunjukkan "macho".
Digambarkan melalui iklan media cetak, poster, media luar ruang sangat besar dan filem bioskop sebagai cowboy yang gagah, sebagai nahkoda kapal yang nggantheng!
Bahkan rokok yang khusus dibuat untuk wanita, bentuknya lebih langsing putih bersih di "blow-up" memberikan citra elegan bagi wanita yang merokok.
Industri rokok di tahun 50an bertumbuh pesat dan booming di tahun 70an; hingga para peneliti kesehatan satu demi satu mengungkap pendapat ilmiah mereka bahwa merokok itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Konsumen yang mulai sadar di US melihat kesempatan dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan karena merokok.
Tercatat peristiwa yang menggemparkan diberitakan ke seluruh dunia di tahun 1998 ketika seorang wanita memperoleh kompensasi US$ 20 juta atas tuntutan kesehatan karena wanita ini menjadi perokok sejak tahun 1972 didiagnosa kanker paru-paru di tahun 1997.
Sebenarnya ketatnya pengawasan kesehatan di Amerika Serikat sudah mengeluarkan peraturan yang harus mencantumkan sbagai Surgeon's General Warning bahwa merokok dapat membawa kematian sejak tahun 1969.
Di Indonesia peraturan pencantuman Peringatan Bahaya Merokok baru diundang-undangkan di tahun 2000an, setelah itu jumlah produksi rokok tidak berkurang bahkan tercatat ada peningkatan.
Di Indonesia industri rokok dan hasil tanaman tembakau menjadi polemik besar, pro dan kontra, dengan berbagai dalih. Bahkan ada seorang yang meraih gelar Doktor (Sarjana 3) karena desertasinya membela petani tembakau di Temanggung.
Belum lagi kontribusi hasil cukai rokok dan hasil tananam tembakau serta pajak perusahaan/pabrikan rokok yang mencapai lebih dari 60 triliun rupiah sejak beberapa tahun yang sangat berarti sebagai bagian kontribusi untuk meperkuat pendapatan Anggaran Belanja Pemerintah.
Ada yang berkomentar bahwa perokok itu buta huruf karena meskipun disetiap kemasannya dan setiap iklan rokok di tempelkan Peringatan Bahaya Merokok, orang tetap merokok juga!
Siapa yang dapat disalahkan: Pin the blame on the donkey...kembali ke kiasan ini: jadi salahkan yang bodoh?
Salahkah publik yang tidak mengkaikan balpen dengan ear-piece dan bisikan data yang dianggap merugikan pihak lawan debat, atau salahkah pihak lawan debat yang "kreatif".
Wuah...mungkin ada yang beri komentar: Menulis artikel begini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya?
Namun perlu juga kiranya dimaknai proverb bahasa Inggris ini: "A poor worker quarrels with his tools!"
Bukankah kubu penasehat pendebat yang merasa terpojokkan dengan data dan fakta kemudian mencari "kambing hitam", dalam hal ini betul-betul "tools" -- alat; yaitu balpen dan ear-piece?
Artikel bagus ini dikirimkan oleh sahabat yang baik, Ludwig Suparmo -- Pelatih Manajemen Krisis, Isu, Risiko dan Konflik; juga Manajemen Kepatuhan dan Tidak Stres
(YupG, 20/2/19)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI