Di Indonesia industri rokok dan hasil tanaman tembakau menjadi polemik besar, pro dan kontra, dengan berbagai dalih. Bahkan ada seorang yang meraih gelar Doktor (Sarjana 3) karena desertasinya membela petani tembakau di Temanggung.
Belum lagi kontribusi hasil cukai rokok dan hasil tananam tembakau serta pajak perusahaan/pabrikan rokok yang mencapai lebih dari 60 triliun rupiah sejak beberapa tahun yang sangat berarti sebagai bagian kontribusi untuk meperkuat pendapatan Anggaran Belanja Pemerintah.
Ada yang berkomentar bahwa perokok itu buta huruf karena meskipun disetiap kemasannya dan setiap iklan rokok di tempelkan Peringatan Bahaya Merokok, orang tetap merokok juga!
Siapa yang dapat disalahkan: Pin the blame on the donkey...kembali ke kiasan ini: jadi salahkan yang bodoh?
Salahkah publik yang tidak mengkaikan balpen dengan ear-piece dan bisikan data yang dianggap merugikan pihak lawan debat, atau salahkah pihak lawan debat yang "kreatif".
Wuah...mungkin ada yang beri komentar: Menulis artikel begini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya?
Namun perlu juga kiranya dimaknai proverb bahasa Inggris ini: "A poor worker quarrels with his tools!"
Bukankah kubu penasehat pendebat yang merasa terpojokkan dengan data dan fakta kemudian mencari "kambing hitam", dalam hal ini betul-betul "tools" -- alat; yaitu balpen dan ear-piece?
Artikel bagus ini dikirimkan oleh sahabat yang baik, Ludwig Suparmo -- Pelatih Manajemen Krisis, Isu, Risiko dan Konflik; juga Manajemen Kepatuhan dan Tidak Stres
(YupG, 20/2/19)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI