Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gaya Cuci Otak dan Hoaks

18 Februari 2019   13:59 Diperbarui: 18 Februari 2019   21:52 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendengar kata cuci otak, biasanya pikiran kita langsung terarah pada sebuah kejahatan yang dilakukan oleh para mafia atau oknum untuk menguasai seseorang untuk kepentingan "jahat" yang mereka rancangkan.

Banyak film-film fiksi dan action yang sering menggambarkan tentang kegiatan cuci otak yang dilakukan pada sejumlah orang yang dianggap mampu mengemban tugas dan tanggungjawab demi mewujdukan mimpi mereka.

Namun, cuci otak tidak selalu berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam fim-film fiksi atau film horror misalnya. Tetapi, cuci otak juga berkaitan dengan kesehatan manusia. Terkhusus dengan penyakit stroke yang diderita sejumlah orang dan potensial setiap orang mengalaminya bila tak mampu mengendalikan kesehatannya, sebagai akibat dari gaya hidup yang salah.

Bicara stroke dan cuci otak, nampaknya selalu terkait dengan nama seorang dokter yang heboh, yaitu Dokter Terawan, yang beberapa waktu yang lalu sempat menjadi kontroversi dan mengundang perhatian dan viral dimana-mana.

Harus diakui bahwa ribuan orang telah tertolong metode yang dikembangkan Dr Terawan. Penyakit stroke menakutkan bagi sebagian orang, karena disebut-sebut sebagai pembunuh nomor satu di Indonesia, juga menjadi salah satu penyebab kematian manusia di banyak negara lain.

Setiap tahunnya jumlah penderita stroke di Nusantara terus bertambah, dan penderitanya berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Sejak beberapa tahun lalu penderita stroke di Indonesia tidak perlu kuatir, karena ada cara baru yang berhasil ditemukan untuk menyembuhkan penyakit yang menyeramkan ini. Metode penyembuhan tersebut dikenal dengan metode cuci otak ala Dr Terawan.

Kurang lebih setahun lalu Metode Dr. Terawan dipertanyakan oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia), menjadi polemik di berbagai media. Namun di minggu ke tiga bulan Februari, 2019, muncul berita Dr. Terawan diutus oleh Presiden Jokowi untuk ikut menangani perawatan Ibu Ani Yudhoyono di National University Hospital di Singapore.

Frase Cuci Otak sebenarnya dikenal lebih dahulu di tahun 1938 ketika Nazi Jerman mulai menguasai anak-anak muda juga prajurit dan aparat pemerintahan dalam usaha Nazi membangkitkan anti Semit (anti Yahudi) yang puncaknya terjadi pada holucost (pembunahan masal etnik Yahudi diseluruh Prusia -- Jerman dan Polandia di Perang Dunia II).

Cara cuci otak  pemimpin Nazi, Adolf Hitler, adalah dengan indoktrinasi dan orasinya berapi-api membakar semangat prajurit, alat pemerintahannya dan anak-anak muda akan kejelekan bangsa Yahudi yang bermukmin di Prusia (Jerman).

Orasi dan indoktrinasinya juga untuk menamkan loyalitas pada partai Nazi dan fahamnya. Indoktrinasi verbal disertai indoktrinasi non-verbal dengan gerak tangan spesifik menghormat sang Fuhrer (Pemimpin Besar) dengan tangan dikepalkan mengacung ke depan ditarik ke dada sambil berteriak; "Heil Hitler!" dijadikan indoktrinasi nonverbal dan teriakan verbal yang ampuh.

https://nypost.com/2018/09/04/book-claims-to-have-uncovered-the-real-story-of-hitlers-death/
https://nypost.com/2018/09/04/book-claims-to-have-uncovered-the-real-story-of-hitlers-death/
Gerakan berbaris yang tegap dan nayanyian membangun kebanggaan dipimpin Partai Nazi, pimpinan Adolf Hitler, dan nyanyian di direkam dalam piringan hitam serta berkali-kali diperdengarkan lewat radio, juga diwajibkan dinyanyikan di sekolah-sekolah, merupakan cara cuci otak faham Nazi.

Cuci otak faham Komunisme juga diajarkan oleh Engels, seorang rakyat jelata, yang diteruskan kepada Stalin yang memerintah Rusia ketika itu. Di China terjadi juga cuci otak faham komunis China semasa pemerintahan Mao Tje Tung.

Dalam bukunya Brain-Washing in Red China, Edward Hunter mengemukakan bahwa cuci otak oleh jajaran Mao di kerjakan melalui hypnosis terkontrol dengan paksaan. Cuci otak demikian dikenal juga sebagai "mengganti otak" yang menurut penulis Hunter, merusak pemikiran orang.

https://www.amazon.com/Brain-Washing-China-Calculated-Destruction-Minds/dp/B002DGJJD8
https://www.amazon.com/Brain-Washing-China-Calculated-Destruction-Minds/dp/B002DGJJD8
Diuraikan dalam buku itu bahwa cara ini dengan sengaja mepraktekan  ilmu psikologi secara salah demi pembenaran keinginan partai.

Buku tersebut menceritakan kisah seorang siswa diindoktrinasi faham komunis melalui hypnosis, setiap hari dengan indoktrinasi faham komunis. Selanjutnya juga dikisahakan bagaimanai "hatred campaign" terhadap Amerika Serikat yang merupakan perang psikologis yang dilancarkan oleh Red China dalam cuci otak melawan faham dunia bebas.

Dalam tahun politik 2019 di Indonesia lebih sering kita mendengan disiarkannya berita hoax, yang dianggap bagian dari gerakan tertentu mempengaruhi pikiran calon pemilih.

Menuding penggunaan istilah propaganda melalui pengulangan kekurangan atau kekeliruan digoreng tanpa data masuk dalam ranah ilmu komunikasi politik.

Kata "propaganda" juga menjadi populer dalam "perang" pemilihan presiden di Amerika Serikat beberapa tahun lalu dengan istilah "Propaganda Rusia".

Namun istilah cuci otak tidak dikenal dalam ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP). Ilmu NLP yang mulai dikembangkan di tahun 1970-an lebih benar dan lebih mulia dengan mendalami "membingkai ulang" atau reframing untuk mengubah tingkah laku dan cara berpikir suatu kejadian.

Dalam pendalaman ilmu agar tidak stres, istilah reframing juga dianjurkan; agar tidak mengeluh rubahlah cara pandang dari pada memandang segi negatif jadikan pandangan/pemikiran yang positif, sesuai ajaran mulia setiap agama agar bersyukur.

Cuci otak yang dikenal sebagai usaha mengubah pemikiran sesorang di dalam ilmu NLP tidak pernah digunakan; namun sangat mulia pelajaran NLP mengajarkan "mengubah frustrasi menjadi fleksibilitas", "mengubah kesadaran diri", juga "menyelaraskan diri" (sesuaikan keadaan agar beradaptasi secara positif).

Marilah  kita mengikuti yang terbaik dan agar tidak menerima faham "cuci otak".

Catatan, artikel special dari seorang sahabat yang baik, Ludwig Suparmo: Pelatih Manajemen Tidak Stres, Manajemen Krisis, Manajemen Konflik, pembelajar NLP

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun