Usai debat pertama capres dan cawapres 2019 yang berlangsung pada hari Kamis, tanggal 17 Januari baru lalu, ramai sekali media konvensional dan media sosial menanggapinya, dengan berbagai pokok atau topik pembahasan, baik yang memuji maupun yang mencela.
Tidak untuk menambah lebih meramaikan silang pendapat publik di kalangan publik tentang penampilan kedua capres yang berkontestasi, namun menarik untuk dicermati dan di didalami sedikit tentang topik "opini publik" itu apa dan bagaimananya, karena ada kesan banyak orang tidak memahami hakekat dari opini publik.
Bagi mahasiswa yang belajar ilmu komunikasi, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum, maka ilmu tentang opini publik, merupakan salah satu mata kuliah penting dalam menyelesaikan perkuliahan kesarjanaan dan akan terus menghasilkan banyak karya tulis jurnalistik, bahkan juga mereka yang berkecimpung dalam ilmu politik.
Tahap Membentuk Opini Publik
Pemahaman secara komprehensif opini publik bertumpu pada ilmu komunikasi massa dan komunikasi politik yang seyogyanya sangat penting dikuasai bagi pimpinan dan manajemen partai dan juga para kadernya yang akan mendukung kampanye pemilihan. Opini publik atau public opinion merupakan fenomena dalam kehidupan sosial dan politik dan dalam tiga dekade terakhir menjadi sorotan penting di Indonesia.
Mendalami ilmu Opini Publik antara lain dapat dimulai melalui 4 tahap sebagai berikut:
- Pemahaman konsep dan pengertian opini publik
- Pemahaman kebebasan informasi dan perilaku media
- Proses terjadinya opini dan opini publik serta survei opini publik yang meliputi polling dan pemahaman hasil polling
- Analisis dan rekomendasi penerapan ilmu opini publik dalam upaya mencerdaskan bangsa berpolitik demokratis
Dari sudut pandang seorang ahli Ilmu Komuniasi spesialisasi Kehumasan, maka perlu kajian studi kasus opini publik mengarah pada Ilmu Public Relations atau kehumasan dan komunikasi politik praktis dalam kancah politik yang sangat dinamis.
Pemahaman komprehensif ini perlu dalam pementasan opini serta pengendaliannya ke arah yang positif sesuai kaidah ilmu Public Relations dan Etika Kehumasan serta kesantunan berpolitik.
Opini publik merupakan ukuran yang dilakukan oleh badan/agency polling. Mengukurnya dapat melalui teknik sampling, yang biasanya dikerjakan melalui telepon (dalam era digital sekarang dapat juga dikerjakan dengan cara media sosial lainnya) dengan menanyakan satu daftar pertanyaan kepada seseorang yang telah ditentukan berdasarkan publik yang dituju.
Publik merupakan target tertentu, bukan masyarakat umum, karena publik sudah dipetakan terlebih dahulu berdasarkan social economic status (SES) termasuk umur, jenis kelamin dan geografis tempat tinggal. Publik yang sudah terarah memberi nilai dalam merangkum hasil polling agar analisis tajam dan berguna untuk ditindak lanjuti lebih mendalam.
Tidak diragukan oleh banyak negara maju (kecuali negara yang masih mengikuti faham otoriter) bahwa opini publik merupakan acuan secara tidak langsung berjalannya suatu pemerintahan demokratis, merupakan fenomena dinamis masa kini (sebenarnya sudah berpuluh tahun lalu fenomena ini berlangsung di Negara demokratis -- Negara Barat -- namun baru beberapa dekade dilaksanakan di Indonesia).
Opini publik merupakan ekspresi isu-isu atau wahana kejadian/dinamika sosial, ekonomi dan politik (jadi bukan hanya terjadi semasa ada kampanye atau menjelang dan saat berlangsungnya suatu pemilihan kepala negara atau kepala daerah). Â
Ingat peristiwa yang memakan waktu 5 (lima) tahun atas peristiwa e-mail Prita Mulyasari dalam kasus ketidakpuasan layanan suatu rumah dakit, yang menyebabkan penulis e-mail itu dijatuhi hukuman penjara? Dengan spontan masyarakat menyatakan pendapat di berbagai media dengan mengumpulkan "Koin untuk Prita".
Pendapat spontan demikian yang difasilitasi berbagai media secara luas sebenarnya termasuk sebagai kajian opini publik. Tentulah kejadian tersebut lain pendekatannya, tanpa survei ataupun polling.
Polling dan Opini
John Locke (1632-1704), ahli filsafat, pendiri politik liberal, mengatakan bahwa, "Hukum berpendapat, memberi opini, merupakan faktor reputasi tertinggi bagi sesuatu isu atau kejadian akan pembentukan opini bagi masyarakat  yang menjadi kekuatan mempengaruhi, termasuk memberi acuan salah atas tindakan dan kelaikan norma-norma sosial."
Jurgen Habermas (1929), ahli filsafat teori kritis, berpendapat bahwa, "Pada waktu terjadinya isu atau pra-kejadian penting lainnya, suasana publik menentukan "apa" yang perlu dibahas sehingga membentuk suatu pemikiran, opini, tertentu. Dalam suasana publik yang ikut terlibat kejadian itu timbulah debat sosial, tanpa memandang tingkat sosial masyarakat."
Tokoh yang pertama melalukan polling adalah George Gallup (1901-1984) father of American polling". Â Di tahun 1935, dia membentuk the American Institute for Public Opinion. Pendirian institusi ini karena keinginan-tahunya bagaimana ibu mertuanya akan dapat menang atau tidak, untuk menjabat kursi dalam suatu pemilihan daerah di Negara bagian Iowa.
Ibu mertuanya menghadapi incumbent yang sangat populer waktu itu. Gallup memberikan arahan pada ibu mertuanya, dan meskipun perkiraan orang kebanyakan, ibu ini bakal dikalahkan; berkat ketekunan Gallup, serta memberi arahan pada konstituennya bahwa bisa menang; itulah yang terjadi! Kejadian tersebut merupakan prediksi yang tepat di antara banyak polling selanjutnya di masa depan. Gallup is the founder of modern polling.
Daftar pertanyaan polling harus disusun dengan penuh kecermatan, dan dituliskan dalam kalimat yang jelas. Sample yang akan ditanyanya harus ditentukan secara acak. Responden dapat dihubungi secara hitungan biaya yang paling cost-efficient.
Pengumpulan jawaban polling harus dicermati agar betul menjelaskan jawaban yang diberikan dan agar ditabulasi secara akurat. Polling publik yang mengikuti disiplin demikian hampir selalu memberikan prediksi yang mendekati tepat.
Polling merupakan komponen yang tidak dapat diabaikan sewaktu akan berjalanannya kampanye pemilihan; karena dari analisis hasil polling kandidat dan konsultan, tim pemenangan, dapat segera mengambil tindakan strategis.
Hasil polling harus segera diumumkan, seperti jika mengikuti pacuan kuda disebut juga (horse-race-polling), dengan harapan memenangkan uang taruhan besar atas kuda yang dipertaruhkan (pacuan kuda biasanya dilakukan bertahap, perseleksi urutan pemenang).
Jika hasil polling terlambat dikeluarkan sebagai acuan strategis, tindakan konstituen dan kandidat juga tim kemenangan, akan terlambat mengambil dan menjalankan strategi baru, berakibat dapat menjadi kalah, didahului strategi pemenangan oleh lawannya.
Hasil quick count (hitung cepat) dewasa ini sangat terbantu dengan adanya sararan teknologi digital, yang memungkinkan kecepatan perhitungan advanced random samples; maka hasil polling yang dapat dipercaya dengan teknologi perhitunan akurat dan sangat cepat sudah dapat memberikan gambaran "perlombaan" kemenangan jam demi jam, dan dalam waktu 12 (dua belas) jam, setelah pengumpulan suara pemilih terakhir, biasanya sudah tercapai hasil 90% gambaran sesungguhnya yang dapat disebar-luaskan ke seluruh negeri.
Versi up-date setiap menitnya biasanya diberikan dalam siaran langsung melalui komunikasi audio dengan radio atau transmisi digital lainnya, yang juga ditayangkan oleh berbagai saluran TV. Polling demikian adalah pada "Hari H" pemilihan; sedang sering jauh hari sudah dilakukan survei melalui telpon atau alat media sosial lainnya.
Jika institusi/badan survei yang melakukannya profesional -- mengikuti disiplin ilmiah dan memenuhi etika berpolitik, hasil survei dapat dipercaya.
Sebagai contoh konkrit, di tahun pemilihan 2014 yang lalu, diperkirakan ada satu badan survei/polling yang sengaja atau memang dirancang oleh yang "membayar" mengikuti kemauan salah satu pihak pengikut pemilihan.
Sering juga media TV atau media elektronik lainnya yang dimiliki oleh "orang kuat" dalam salah satu partai pendukung peserta pemilihan, mempunyai "agenda setting" tersendiri yang sengaja dirancang untuk mengumumkan hasil survei atau polling dengan "bumbu-bumbu" kepentingan pemilik atau orang kuat media itu yang berpihak.
Artikel kiriman dari Ludwig Suparmo; mantan dosen Opini Publik; pelatih spesialisasi Manajemen Krisis, Isu dan Krisis dalam Komunikasi, menerbitkan buku TidakStres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H