Saya sangat tertarik mengikuti kisahnya, dan suasana lalu-lintas serta rute angkotnya yang hari itu sangat tenang kendati rame, menjadikan ceritanya tentang pesan-pesan kepada putra-putrinya sangat menarik bagi saya, karena menjadi substansi dari  buku yang sedang saya tulis saat ini, yaitu  Pengembangan Karakter.
Sungguh saya sangat bersyukur menemukan bahan baku yang sangat langka dan mahal. Karena kisah si supir angkot ini merupakan realitas yang ada dan masih hidup ditengah-tengah kemajemukan masyarakat di Negeri ini, yang akhir-akhir ini banyak "dirusak" oleh kepentingan "politik sesaat" ketimbang kepentingan masa depan dari bangsa ini.
Kisah pengemudi angkot itu dimulai bahwa dia berasal dari Banten, mampu selesai SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), namun gagal menyelesaikan tingkat SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas).Â
Kemudian dia diambil oleh pamannya  dan dibawa ke Jakarta, bekerja sebagai kuli bangunan, hingga mandor dan dipercayai oleh kontraktor menjadi ahli estimasi inventori kebutuhan bahan bangunan, belajar menyetir truk sambil menyekolahkan anak-anaknya hingga mencapai prestasi yang baik yaitu lulus sarjana. Ada juga anaknya yang berprofesi sebagai pedagang.
Sangat mengesankan, bagaimana anak-anaknya mensupport orangtua mereka yang sudah berjuang untuk membesarkan hingga mereka mandiri semua. Sang pengemudi angkot ini, mengkisahkan bahwa, dari modal yang dikumpulkan oleh putra-putranya, kemudian dibelikan secara kredit mobil baru, diberikan pada sang ayah untuk menghasilkan pendapatan dan memberi kesibukan sang ayah menjadi pengemudi angkot.
Ya, ayah mereka didukung untuk menjadi pengemudi angkot sehingga aktifitasnya tidak berhenti, produktif pula karena menghasilkan uang untuk kebutuhannya, dan bisa tetap melayani masyarakat dengan menompang di angkotnya sepanjang hari, disetiap hari.
Saya sungguh terkesan dan menjadi basis kekuatan sebuah keluarga. Dalam persepsi saya bahwa "Keluarga ini sangat sederhana, namun maju terus dan berkarakter mulia!".Â
Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh siapapun, keluarga apapun untuk tetap mampu mengelola kehidupan secara benar dan baik ditengah tengah "ganasnya" persaingan, ancaman bahkan perebutan sumber daya yang langka di zaman sekarang.
III
Saking asyiknya kami mengobrol, seakan kami berdua sudah menjadi teman lama yang sering berbagi dan bertukar pikiran dan tentang kehidupan ini. Si pengemudi angkot ini, berkisah tentang rahasia spiritual yang dialami dan dijalani salama ini bersama dengan keluarganya, sehingga mampu bertahan di tengah-tengah kota Metropolitan Jakarta yang sangat "panas", panas dalam segala hal, tidak saja udaranya, tetapi juga kehidupan didalamnya.
Kembali kisah sang pengemudi kepada saya menceritakan bahwa Islam itu "hablum minallah dan hablum minanas". Dia sangat antusias untuk menjelaskan filsafat dan maknanya, namun, pada waktu itu kami sudah sampai di depan kampus yang saya tuju dan minta turun dari angkotnya, dan kami berpisah :
Saya : "Terimakasih pak, saya Katolik-Kristen, kita harus hidup berdampingan penuh cinta kasih!"
Pengemudi angkot (agak merasa bersalah memegang tangan saya) : "Maaf pak saya tidak mau mengajari bapak!"
Saya (tersenyum memandang dia): "Pak saya doakan bapak sehat selalu, terimakasih pak, motto saya Learning Never Stops!"