Ada risiko bagi orang yang dalam keadaan baik, sukses, akan kehilangan karakter baiknya, terutama apa bila malas mawas diri. Biasanya orang dalam keadaan nyaman akan terlena dan lupa (sifat manusia itu memang pelupa) untuk tetap bertahan pada yang baik. Belum lagi dari segi agama, ada yang berargumentasi bahwa hidup manusia ini penuh godaan syatan.
William Wiguna dalam bukunya Lifetime Behaviors, Memahami Diri dan Sesama dengan Perspektif Perilaku, dalam Bab 3 “Rajin atau Pintar” di halaman 95 menulis sebagai berikut:
“Non Scholae sed Vitae Discimus: …rajin adalah perilaku yang sangat ditekankan oleh pamong asrama. Setiap hari anak-anak dalam asrama harus bangun yang berarti pembentukan. Dalam formatio, seorang anak dipandang sebagai kertas putih yang siap dibentuk oleh para formatur, yaitu para pendidikan pagi, berdoa bersama, bekerja, belajar bermain pada jam yang telah ditetapkan, setiap hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Kebiasaan ini dsebut formatio
Itu semua dimulai dengan menerapkan kebiasaan baik yang dipraktikkan terus-menerus. Setiap anak dibimbing agar menginternalisasi kebiasaan-kebiasaan baru yang baik.” Demikian ini memerlukan kerajinan, dan ketekunan.
Pengembangan karakter haruslah dilakukan dengan penuh kerajinan, dan ketekunan, apabila tidak diperhatikan, dan orang terlena karena suksesnya, karakter yang baik bisa saja meluntur.
Tentu saja orang yang sudah menjadi terbiasa dan merasa nyaman berkelakuan baik, akan sulit tergoda meninggalkan kebiasaan/tabiat yang baik. Orang yang terbiasa rajin akan merasa lebih nyaman agar tetap rajin.
Namun, tetap contemplation, pemeriksaan diri, setiap hari perlu mendapat perhatian. Rajin memeriksa diri dan tetap rajin mengulangi kebiasaan baik, itulah salah satu cara pengembangan karakter.
Dalam keadaan yang nyaman, secara materi mendapat kepuasan, merasa cukup, karakter harus tetap dibina. Itulah kesempatan juga berbagi acuan dan contoh berkarakter baik kepada lainnya.
Orang lain akan lebih mudah melihat contoh perbuatan kita, kelakuan kita yang baik daripada tausiah, kotbah, atau pengajaran, ataupun wejangan-wejangan dan nasihat.
Orang akan lebih mengingat karena melihat tingkah laku dan sopan santun kita. Orang lain juga terkesan, lebih ingat akan cerita kisah nyata sesungguhnya tentang sikap dan tabiat yang baik.
Kisah nyata demikian lebih bermakna dan meresap dalam kalbu orang lain; syukur dapat ditiru dan merubah cara bertindak merubah yang kurang baik, kemudian ingin mengikuti apa yang didengar, dibaca, tentang kisah nyata itu. Legacy of character carries forward like folklore.