Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepala Daerah Korupsi Karena Gaji Kecil, Lalu Gaji Dinaikkan, Setujukah?

12 Desember 2018   14:29 Diperbarui: 12 Desember 2018   14:49 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rencana pemerintah untuk menaikkan gaji para kepala daerah di Indonesia sungguh sangat menganggu dan kalau dilakukan sangat mencederai keadilan publik. Saya menduga publik cenderung menolak rencana dari pemerintahan ini, karena alasan tentang rencana penyesuaian renumerasi itu seperti tidak masuk akal.

Alasan kenaikan renumerasi ini adalah untuk mencegah terjadi korupsi dikalangan kepala daerah di Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa "Masih banyaknya pejabat selevel kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan harus berhubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)" 

Nampaknya alasan ini yang perlu dicermati dan dikaji dengan sungguh-sungguh. Karena perbincangan di ranah publik memperlihatkan bahwa para Kepala Daerah yang terkena OTT oleh KPK bukan karena gaji mereka kecil, tetapi karena masalah moral, mentalitas dan integritas yang sangat rapuh, lemah, dan tidak memenuhi kualifikasi sebagai kepala daerah yang harus menjadi panutan dalam segala hal.

Mari perhatikan mereka yang memiliki gaji yang kecil yang bahkan untuk makan sehari-hari saja rasanya jauh dari cukup. Apakah mereka lalu melakukan korupsi? Maksudnya, berapa banyak orang yang sudah tertangkap korupsi itu karena gaji yang kecil-kecil seperti alasan yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan?

Dari sisi pertimbangan manajerial rasanya koq tidak masuk akal yang sehat ya. Dan cenderung seperti meng-ada ada saja dengan pertimbangan agar para kepala daerah ini tidak melakukan korupsi maka gajinya dinaikkan.

Tidak logis karena suatu ketika nanti ketika mereka merasa gajinya kecil maka mereka akan melakukan korupsi. Dan supaya mereka tak melakukan korupsi maka gaji mereka akan dinaikkan lagi oleh pemerintah. Begitu seterusnya dan pemberantasan korupsi menjadi tidak pernah selesai dan tuntas karena bukan akar persoalan utama dari penyebab korupsi oleh para kepala daerah ini.

Memberikan kompensasi atau gaji atau renumerasi atau apapun istilahnya, merupakan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan managerial yang utuh. Yaitu berdasakan Job Analysis yang pada akhirnya akan menentukan beban kerja seorang kepala daerah, dan dengan kualifikasi yang dituntut dari pengejawatahan "tupoksi"nya, lalu muncul angka rupiah yang menjadi haknya untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi utamanya itu.

Meminjam istilah akademisnya yang dikemukakan oleh Milkovich dalam buku teksnya berjudul COMPENSATION (2016) mengatakan bahwa kompensasi itu segala bentuk pengembalian atau return yang diberikan kepada seorang karyawan atas pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya pada sebuah pekerjaan yang dibebankan padanya oleh organisasi atau oleh manajemen atau oleh pimpinan.

Ada dasar dan petimbangan manajerial organisasi yang sangat logis dan terukur bagi seorang kepalam daerah untuk menerima secara keseluruhan kompensasi atau renumerasi. Tidak saja gaji pokok yang jumlah relative sangat kecil, tetapi juga berbagai tunjangan, insentif, fasilitas, kesempatan, dan semuanya merupakan bentuk return yang menjadi hak seorang kepala daerah.

Pertanyaannya, kecilkah jumlah itu semua? Haha.... Come on! Bangun, bangun... Mana ada Bupati dan kepala daerah yang miskin setelah selesai jabatannya? Tidak ada. Karena anggaran dan dana taktis yang dikelola oleh seorang kepala daerah jumlahnya luar biasa! Saat Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI, menjadi rahasia umum jumlah ratusan milliard yang menjadi dana taktis yang dikelola oleh seorang Gubernur, untuk mengmbackup seluruh aktifitasnya.

Kendati itu bukan menjadi penghasilannnya, tetapi seorang kepala daerah rasanya tidak perlu lagi memakai gaji yang diterima karena semua kebutuhan operasionalnya telah discovered oleh budget kedinasan yang ada.

Jadi, rasanya seperti menggada-ada kalau pertimbangan kenaikan gaji kepala daerah hanya supaya mereka jangan korupsi lagi. Ini tidak benar, karena mencederai keadilan publik di negeri ini.

Kepala Daerah melakukan korupsi bukan karena kaya atau miskin dari gaji. Tetapi ini sudah menyangkut moral, etika dan integritas publik yang mereka tidak sanggup menjaganya. Sehingga ketika mereka korupsi saat itulah sebetulnya mereka sudah segera harus turun dari jabatannya karena pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat saat mereka dipilih.

Ketika seorang kepala daerah melakukan korupsi, dan apalagi OTT oleh KPK, maka seluruh indikator kepemimpinan yang disyaratkan sama sekali hilang dan hancur tiada guna. Dan posisi sebagai kepala daerah harus dilepas sama sekali. Mereka tidak mampu menjaga dan tampil sebagai cerminan dan representasi dari publik terhadap semua nilai-nilai moral, etika, keagamaan dan integritas dan karenanya tidak layak lagi mempin.

Pertimbangan untuk menyesuaikan renumerasi bagi kepala daerah di Indonesia harus dicari alasan manajerial yang pas dan tidak mencederai keadailan dan kesopanan publik, ditengah tengah maraknya kaasus OTT oleh KPK yang sudah melebih angka 100 orang di republic ini.

Misalnya, dikembangkan sistem insentif yang lebih menarik dan menantang, dengan melihat kinerja dari si Kepala Daerah tertentu. Lakukan penilaian, misalnya dengan merit system, setiap periodik. Dan bagi kepala daerah yang berhasil diganjar atau diberikan insentife besar, misalnya 200 kali gaji setiap bulannnya. Angka ini sungguh berarti, dan juga menantang agar setiap kepala daerah berlomba untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Misalnya, Walikota Surabaya yang sangat berprestasi dalam mengelola kota buaya itu menjadi kota bersih dan teratur sehingga warganya sangat senang dan bangga. Lalu kepada walikotanya diberi insentif 200 x Gaji perbulannya. Demikian juga dengan kepala daerah lainnnya.

Sistem seperti ini akan menjadi adil dan publik merasa nyaman dan mendukung siapapun kepala daerah yang sukses. Tentu saja masih banyak cara-cara lain yang bisa dipikirkan dan dikembangkan.

Dalam dunia bisnis profesional, sudah lama dilakukan sistem pemberian kompensasi kepada CEO atau tenaga-tenaga pakar di perusahaan dengan cara membayar dalam bentuk insentif, bonus, traveling, saham, fasilistas proteksi, dan jaminan jaminan lainnya. Besarnya jauh melebihi dari gaji pokoknya. Bahkan sesungguhnya gaji pokok itu tidak berarti sama sekali dari sisi jumlahnya.

Oleh karenanya, pemerintah melalui Menteri Keuangan perlu mengkaji dan merenung ulang dasar pertimbangan menaikkan gaji kepala daerah itu hanya karena agar tidak korupsi, supaya keadilan publik tidak tercederai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun