Di dalam sebuah diskusi kelompok yang serius, seorang Ibu mengajukan pertanyaan sambil menarik nafas yang berat dan bernada mengeluh mengatakan "sekarang ini kita tidak boleh lagi sembarangan bicara bahkan bertanya juga tidak boleh lagi, karena kalau bertanya bisa saja dipenjarakan seperti seorang Ibu di Sumatera Utara, hanya gara-gara bertanya tentang suara yang terlalu keras maka dia harus dipenjara sekian tahun!?" Mungkin kita lebih baik diam dan menjadi pendengar yang baik saja tanpa bicara dan bertanya, demikian ibu ini melanjutkan dan didengar dengan serius oleh peserta diskusi.
Apa yang ditanyakan oleh seorang Ibu diatas, semua bisa merasakan hal yang sama sekarang ini. Kebebasan berbicara, berkicau di sosial media, dan menyampaikan apa saja yang menjadi unek-unek akan bisa menjadi masalah yang berujung di kantor polisi, di kantor pengadilan bahkan di penjara juga sebagai akibat terbukti melanggar undang-undang yang berlaku.
Polemik dan "kasus" pidato seorang Capres 2019 yang viral dengan tagar "tampang boyolali" juga telah menjadi bumerang tersendiri bagi yang bersangkutan dan timnya, tetapi juga sudah menjadi cenderung "reseh di tengah-tengah publik yang tidak proporsional, bahkan seperti menjadi "dagelan" yang dianggap sah-sah saja dalam dan menjelang tahun politik pemilu tahun depan.
Apapun analisis yang dibuat oleh para ahli, pengamat dan para cendekiawan yang hendak dikatakatan bahwa inilah kondisi empirik dari masyarakat negara ini, yang masih "belum dewasa" dalam mengelola dinamika yang sedang dihadapi. Ketidakdewasaan ini tidak saja dari sisi masyaraktnya sendiri tetapi juga bagi aparat penegak peraturan yang berlaku.
Masyarakat negeri ini masih harus bekerja keras lagi untuk mencapai kedewasaan dalam berbangsa dan bernegera. Kultur sebagai  masyarakat negara maju masih belum nampak dalam segala aspek kehidupan. Kemajemukan yang dianggap kekayaan bangsa, malah dijadikan alasan untuk saling memarginalkan, mendominasi dan bukan berupaya membangun harmonisasi yang dinamis dan bertumbuh.
Dalam berkomunikasi, publik masih sangat miskin dan sangat tidak toleran terhadap kesalahan dan  penyimpangan yang sesungguhnya tidak bermaksud untuk memojokkan pihak yang lain.
Dengan keragaman suku, kepercayaan dan latar belakang sosial, masyarakat harus belajar lebih terampil untuk saling mendengar dengan efektif dan produktif.
Paling tidak ada 4 cara atau tips  yang bisa diterapkan untuk menjadi pendengar yang baik di tengah-tengah kemajemukan yang sensitifitasnya sangat tinggi, yaitu:
1. Tahan diri Anda dari menghakimi dan mengkritik
Jangan mengevaluasi sampai Anda sudah mendengar dan memahami segalanya. Harus diakui bahwa hal ini tidak lazim dilakukan orang. Karena ketika orang lain berbicara dan Anda mendengar sesuatu yang tidak Anda setujui, maka Anda pasti tergoda untuk berkata, "Tunggu dulu! Berhenti dulu! Mari bersama satukan pemahaman dahulu sehingga dengan begitu Anda tidak akan pernah melangkah lebih jauh lagi.
Sikap yang tidak mampu menahan diri dari menghakimi dan mengkritik merupakan sumber konflik yang sering dihadapi ditengah-tengah masyarakat, dan bisa berakibat fatal ketika  setiap orang tidak mampu menahan diri pada langkah selanjutnya.
Yang dibutuhkan agar menjadi pendengar yang hebat adalah yang sebaliknya, Anda perlu mendengar orang itu dahulu. Pesan bijaksana mengatakan, "Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya."