Â
Lho, ada apa di Sekolah Minggu?
Pengaturan Sekolah Minggu atau SM di gereja sebagai unit pendidikan oleh RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan bagaikan "gempa bumi dan gelombang tsunami" yang membangunkan semua umat Kristen dari tidurnya dan seakan melongo dengan ribuan tanda tanya dan pertanyaan sangat besar terus berkecamuk di kepala ini, Lho ada apa sih?
Ribuan tanya ini terus berkecamuk dan nyaris sulit difahami jalan pikiran orang atau "oknum" yang memasukkan dalam dua pasal RUU Pesantren itu. Lho, ada apa dengan sekolah minggu?
"Lho ada apa dengan sekolah minggu di Gereja?", "apakah sekolah minggu selama ini sudah mengganggu pemerintah sehingga harus diatur oleh Undang-undag?", "lho ada apa dengan sekolah minggu, apakah sudah mengganggu lingkungan selama ini?", "lho, ada apa koq sekolah minggu lalu diatur melalui RUU Pesantren?", "lho, ada apakah dengan sekolah minggu di gereja sehingga harus minta izin dari penguasa agar bisa dilaksanakan?", "lho, ada apa dengan bangsa dan negeri ku ini?", "Lho, apakah bangsa ini sedang sakit sehingga harus mengurus sesuatu yang tidak perlu diatur dan diurus?".
Isu tentang pengaturan Sekolah Minggu dan Katekisasi di Gereja telah menimbulkan pergolakan dalam lingkungan umat gereja di Indonesia. Dan nampaknya hampir semua gereja menolak dengan tegas tentang rumusan dua pasal dalam RUU Pesantren itu. PGI atau Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sebagai reprenstatif dari ratusan Organisasi Gereja atau Sinode di Indonesia telah melakukan penolakan dan reaksi kritis yang sangat tegas dengan berbagai dasar pemikiran.
Sebagai RUU, melihat reaksi dan resistensi dari gereja-gereja di Indonesia, harusnya pemerintah dan legislatif menjadikan itu sebagai acuan dan indikator untuk melakukan revisi tentang dua pasal yang dimaksud.
Memang, tidak bisa dihindari, bahwa memasukan dua pasal dalam RUU ini tentang pengaturan Sekolah Minggu dan Ketekisasi memiliki muatan dan kepentingan politik tertentu yang sangat tidak sehat dan tidak nyaman dalam kehidupan beragama, khususnya dalam lingkungana gereja.
Salah Kaprah tentang Sekolah MingguÂ
Bila tidak ada muatan dan kepentingan tertentu dalam dua pasal di RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, saya sangat yakin bahwa di sana ada salah kaprah tentang pendidikan sekolah minggu yang diselenggarakan di setiap gereja, baik gereja  sangat kecil maupun gereja besar. Artinya, ada misunderstanding tentang hakekat dari sekolah minggu itu sendiri yang sesungguhnya tidak sama dan tidak setara dengan apa yang disebut dengan Pesantren.
Sesungguhgnya sekolah minggu atau sering disingkat SM, atau dalam bahasa inggrisnya Sunday School, hanyalah sebuah istilah saja dan bukan "SEKOLAH" yang dipahami seperti SD, SMP, SMU atau Pesantren sekaligus. Karena di dalam sekolah minggu itu, pada dasarnya sama dengan "ibadah" yang dilakuan oleh gereja setiap minggu yang dihadiri oleh umat, baik pagi, siang dan sore atau malam hari.Â
Sebagai ibadah, maka di sana akan ada liturgi atau urut-urutan melaksanakan ibadah itu. Ada doa, ada nyanyi, ada pemberitaan firman tuhan, ada pemberian persembahan atau kolekte, ada koor atau paduan suara, ada salaman dan seterusnya disesuaikan dengan kebutuhan ibadah itu sendiri.
Nah, Sekolah Minggu pun demikian. Di dalamnnya ada doa, ada nyanyi, ada penyampaian firman Tuhan sesuai usia anak, ada tepuk tangan, ada saling berbagi. Semuanya dilakukan disesuaikan dengan anak-anak yang hadir. Jadi sekolah minggu itu sama saja dengan ibadah anak-anak sesuai ketegori usianya.
Jadi, hanya namanya saja yang disebut Sekolah Minggu, dan isinya adalah ibadah untuk anak-anak. Jadi, di sana tidak ada ujian, atau tes. Juga di sana tidak ada ijazah atau wisuda. Juga tidak ada uang sekolah. Dan jumlahnya juga tidak selalu sama. Bisa hanya dua orang, bisa juga banyak. Tergantung waktu anak-anak dan keluarga. Sama dengan ibadah, ada orang atau tidak ada orang ibadah tetap berjalan oleh para petugas dan pelayan. Demikian juga dengan Sekolah Minggu. Satu anak atau dua anak saja pelayanan tetap berjalan.
Jadi, sangatlah aneh kalau kemudian Sekolah Minggu diatur oleh dua pasal dalam RUU itu. Dan harus ada izin dari pemerintah. Harus ada anggarannnya. Harus ada ini dan harus ada itu. Astaga! Inilah yang saya sebut salah kaprah habis!
Dua Pasal Dipaksanakan
Memahami kesalahkaprahan yang ada, seperti yang saya kemukakan sebelumnya, maka dua pasal yang ada dalam RUU ini sangat terkesan terlalu dipaksakan. Atau memang ada agenda politik tertentu untuk "mengobrak-abrik isi perut dari gereja itu sendiri"? Atau dalam istilah yang digunakan oleh Pimpinan PGI, mau mengatur pakaian dalam apa yang harus dikenakan oleh seseorang!
Inilah dua pasal yang menjadi kontroversial saat ini tentang RUU Pesantren dan Pendidikan keagamaan di pasal 69 dan pasal 70:
Pasal 69
(1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program.
(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.
(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 70
(1) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang diperoleh di Sekolah Dasar/ Sekolah Dasar Teologi Kristen, Sekolah Menengah Pertama/ Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Teologi Kristen/Sekolah Menengah Agama Kristen atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan.
(2) Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang
Dalam pernyataan sikapnya, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) menegaskan tentang keberatan mereka akan dua pasal ini, yaitu "Kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja. Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja," demikian salah satu poin dalam pernyataan resmi PGI yang dimuat di situs resmi, dikutip Rabu (24/10/2018).
Pertimbangan Anggaran pun Salah Kaprah
Berdasarkan narasi dan penjelasan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah dan juga sejumlah anggota legislatif, salah satu pertimbangan utama mengapa Sekolah Minggu dan Ketekisasi dimasukkan dalam RUU ini adalah karena pertimbangan anggaran.
Artinya, apabila sudah diatur dalam Undang-Undang maka pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran atau budget bagi penyelenggaraan Sekolah Minggu dan Ketekisasi, tentu dengan seluruh proses dan prosedurnya.Â
Memahami semua penjelasan yang ada, kondisi inilah yang dihadapi oleh pihak pesantren yang nampaknya support dan dukungan anggaran atau keuangan sangat minim sehingga pennyelenggaraan proses pendidikannya tidak maksimal.
Bicara tentang biaya sekolah minggu dan ketekisasi di lingkungan gereja selama ini sesungguhnya tidak ada masalah. Juga tidak memerlukan biaya besar seperti yang umum bayangkan. Karena kegiatan itu adalah ibadah rutin setiap minggu diadakan. Dilayani oleh para pengurus yang secara sukarela melakukannnya sebagai bagian dari ibadah dalam gereja tanpa digaji.
Waktu penyelenggaraannya juga pada umumnya diadakan bersamaan dengan ibadah orang tua atau ibadah orang dewasa. Jadi, pada saat bersamaan ibadah yang terjadi dalam gereja itu bersamaan atau simultaan dari semua anggota jemaat dengan ruangan yang berbeda-beda.
Dan saya pikir juga  bahwa selama ini, gereja tidak pernah ribut atau mencari dana ke sana ke mari untuk kegiatan sekolah minggu atau ketekisasi. Apalagi kalau yang melayani kegiatan itu adalah pendetanya sendiri, maka sesungguhnya tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk itu. Karena memang seorang pendeta di gereja sudah dibayar dengan gaji rutinnya setiap bulan.
Jadi, di sini pun terjadi salah kaprah lagi dalam memaksakan dua pasal dalam RUU ini tentang pertimbangan anggaran bagi sekolah minggu dan ketekisasi.
Oleh karenanya, memasukkan dua pasal ini dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan akan menciptakan masalah baru dalam kehidupan umat di lingkungan gereja. Nampaknya lebih banyak masalahnya ketimbang manfaatnya. Dan dengan demikian, akan lebih bijaksana bila tidak dilakukan pengaturan seperti itu.
Karena ini masih RUU, maka diskusi dan pembicaraan yang mendalam terutama dari sisi lingkungan gereja yang sangat memahami tentang SM dan Ketakisasi itu HARUS dilakukan agar tidak menjadi batu sandungan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yupiter Gulo, 27 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H