Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Salah Kaprah tentang Sekolah Minggu dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

27 Oktober 2018   08:43 Diperbarui: 28 Oktober 2018   14:49 2581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pernyataan sikapnya, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) menegaskan tentang keberatan mereka akan dua pasal ini, yaitu "Kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja. Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja," demikian salah satu poin dalam pernyataan resmi PGI yang dimuat di situs resmi, dikutip Rabu (24/10/2018).

Pertimbangan Anggaran pun Salah Kaprah

Berdasarkan narasi dan penjelasan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah dan juga sejumlah anggota legislatif, salah satu pertimbangan utama mengapa Sekolah Minggu dan Ketekisasi dimasukkan dalam RUU ini adalah karena pertimbangan anggaran.

Artinya, apabila sudah diatur dalam Undang-Undang maka pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran atau budget bagi penyelenggaraan Sekolah Minggu dan Ketekisasi, tentu dengan seluruh proses dan prosedurnya. 

Memahami semua penjelasan yang ada, kondisi inilah yang dihadapi oleh pihak pesantren yang nampaknya support dan dukungan anggaran atau keuangan sangat minim sehingga pennyelenggaraan proses pendidikannya tidak maksimal.

Bicara tentang biaya sekolah minggu dan ketekisasi di lingkungan gereja selama ini sesungguhnya tidak ada masalah. Juga tidak memerlukan biaya besar seperti yang umum bayangkan. Karena kegiatan itu adalah ibadah rutin setiap minggu diadakan. Dilayani oleh para pengurus yang secara sukarela melakukannnya sebagai bagian dari ibadah dalam gereja tanpa digaji.

Waktu penyelenggaraannya juga pada umumnya diadakan bersamaan dengan ibadah orang tua atau ibadah orang dewasa. Jadi, pada saat bersamaan ibadah yang terjadi dalam gereja itu bersamaan atau simultaan dari semua anggota jemaat dengan ruangan yang berbeda-beda.

Dan saya pikir juga  bahwa selama ini, gereja tidak pernah ribut atau mencari dana ke sana ke mari untuk kegiatan sekolah minggu atau ketekisasi. Apalagi kalau yang melayani kegiatan itu adalah pendetanya sendiri, maka sesungguhnya tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk itu. Karena memang seorang pendeta di gereja sudah dibayar dengan gaji rutinnya setiap bulan.

Jadi, di sini pun terjadi salah kaprah lagi dalam memaksakan dua pasal dalam RUU ini tentang pertimbangan anggaran bagi sekolah minggu dan ketekisasi.

Oleh karenanya, memasukkan dua pasal ini dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan akan menciptakan masalah baru dalam kehidupan umat di lingkungan gereja. Nampaknya lebih banyak masalahnya ketimbang manfaatnya. Dan dengan demikian, akan lebih bijaksana bila tidak dilakukan pengaturan seperti itu.

Karena ini masih RUU, maka diskusi dan pembicaraan yang mendalam terutama dari sisi lingkungan gereja yang sangat memahami tentang SM dan Ketakisasi itu HARUS dilakukan agar tidak menjadi batu sandungan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun