Hoax atau konten negatif dalam media sosial telah menimbulkan "kegaduhan" dimana-mana, tidak saja di Indonesia tetapi juga dihampir seluruh dunia di muka bumi ini. Di Indonesia sendiri, beberapa tahun terakhir, secara publik dilihat "telah mulai meresahkan" masyarakat  karena berbagai dampak negatif yang dianggap merugikan bangsa dan negera Indonesia yang sedang membangun ini.
Walaupun belum ada hasil penelitian yang comprehensive tentang dampak Berita Hoax ini di Indonesia, namun seakan-akan ada kesepakatan umum bahwa Hoax harus dilawan karena merugikan kehidupan keberagaman dalam wilayah negeri Indonesia ini. Tetapi, tetap menjadi sangat relevan dan mendasar untuk bertanya "seberapa besar dan dahsyatkah dampak berita hoax ini merugikan di Indonesia?".Â
Maksudnya adalah, jangan-jangan ini hanya kekhawatiran semata-mata saja  karena pemberitaan yang massif melalui media-media elektronik. Sebab, bila betul dianggap sangat merugikan, maka harus ada strategi khusus unutuk menghadapinya. Tetapi apabila tidak ada dan hanya perkiraan saja, sebaiknya, mulai sekarang harus dihentikan untuk mendramatisir efek dari berita hoax ini.
Efek Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pada tahun 1970-an, ketika Indonesia memasuki era pembangunan yang menerapkan industrialisasi, dengan pendekatan capital intensive ketimbang labou intensive, lalu muncul dampak yang sangat tidak diinginkan oleh masyarakat atau public.Â
Efek penerapan industrialisasi di segala bidang waktu itu adalah munculnya fenomena pelacuran dimana-mana, sehingga meresahkan masyarakat. Dan tidak bisa dihindaripun polemic terjadi terus menerus ditengah-tengah publik. Lalu pertanyaannya apakah pelacuran bisa dihapuskan? Ternyata tidak juga. Sebab, itu menjadi bagian dari efek negative dari sebuah kemajuan.
Situasi yang dihadapi oleh Indonesia sekarang sama dengan yang terjadi saat tahun 1970an. Sekarang Indonesia sedang menghadapi revolusi dibidang Komunikasi, Teknologi dan Informasi.Â
Sebuah situasi dimana media daring menjadi begitu terbuka, mudah, dan murah diakses oleh semua lapisan masyarakat, dengan berbagai latar belakang social ekonomi yang berbeda. Disana ada kebebasan yang sungguh luar biasa untuk memanfaatkan dan mencoba dengan segala macam gaya untuk ber social-media. Nyaris tanpa hambatan, sekat dan larangan.
Kebebasan mermedia-sosial menjadi sesuatu yang melekat dalam seluruh jiwa dan kepribadian masyarakat Indonesia. Dengan heterogenitas yang sangat tinggi ditengah tengah masyarakat maka kecenderungan untuk terjadi fenomena berita hoax, konten negative dan menyesatkan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dan karena tidak bisa dihindari sesungguhnya berita hoax sesuatu yang tidak bisa dihapuskan dari eksistensi kehidupan manusia, sama dengan fenomena pelacuran sebagai efek penerapan industrialisasi pada tahun 1970an.
Mengapa tidak bisa dihindari karena komunikasi, bersosial media telah merupakan kebutuhan dasar manusia saat ini. Didukung pula oleh kemajuan bisnis dibidang teknologi informasi, internet dan berbagai kebutuhan digital yang sangat menentukan gerakan dan dinamika kehidupan manusia dalam membangun dan berkemajuan.
Strategi Mengelola Berita Hoax
Oleh karena itu, maka sikap pertama yang harus diluruskan tentang Berita Hoax adalah harus benar bahwa berita berkonten negative itu menjadi bawaan dari sebuah perubahan kehidupan. Sehingga tidak perlu dilawan tetapi seharusnya dikelola dengan benar agar efek negatifnya dapat dikelola untuk tidak membawa kerusakan ditengah-tengah kehidupan masyarakt.
Berita Hoax harus "dirangkul" dan dikelola secara benar agar menjadi sarana yang lebih efektif untuk memberikan makna hidup yang lebih baik kedepan.
Mengelola berita hoax berarti mengelola manusia yang menyebarkan berita hoax itu. The man behind the news. Manusialah yang ada dibelakang berita bohong dan negative itu. Bukan siluman dan bukan hantu-blau juga. Tetapi sungguh-sungguh manusia utuh yang memiliki secara lengkap panca indra.
Bila menilik perkiraan orang Indonesia yang memiliki akun internet sebanyak sekitar 1346 juta, dan ini adalah yang potensial memiliki akun social media, yang juga sangat mungkin terlibat dalam akun berita hoax, maka pertanyaannya adalah seberapa banyak atau seberapa %kah yang menyebarkan berita hoax itu?
Hasil-hasil percakapan dengan sejumlah komunitas menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat yang memiliki pendidikan terendah tidak memahami dengan baik dampak dari berita hoax itu ketimbang masyarakat yang berpendidikan tinggi. Mereka yang memiliki pendidikan menengah keatas yang sangat memahami akibat dari berita hoax. Dan disimpulkan bahwa justru yang memahami dampak berita hoax itulah yang tidaj terlalu besar jumlahnya.
Dua kelompok extrim yang potensial menyebarkan berita hoax. Dan yang paling besar dan banyak adalah mereka yang berpendidikan rendah sekali, tetapi tidak mengerti dampaknya.
Oleh karenanya, maka edukasi, literasi dan pemberdayaan yang harus dilakukan adalah kepada kelompok pengguna akun social media yang berpendidikan rendah. Sebab mereka begitu mudah menyebarkan berita-berita yang tidak benar. Sementara mereka yang berpendidikan tinggi relative mampu mengolah berita dengan dampaknya. Sehingga jumlahnya sangatlah tidak signifikan sebagai penyebar berita hoax secara massif.
Jalur Pendidikan dan Agama
Mengelola berita hoax secara efektif hanya melalui jalur pendidikan dan agama. Keduanyanya bisa bersinergi secara baik dan efektif. Itu sebabnya, kedua lembaga yang terkait, Mendikbud dan Menag harus melakukan kolaborasi yang strategis untuk melawan berita hoax ini.
Melalui jalur pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, yang menjadi ujung tombak adalah guru-guru dan dosen, akan mudah menjadi fasilitatior dan mediator untuk merubah mindset mahasiswa dan siswa agar melawaan hoax.Â
Lingkatan sekoah in bisa berimbas kelingkungan yang lebih luas, didalam keluarga, lingkungan mereka dan sebagainya.
Para dosen sebagai panutan didepan kelas dipastikan akan sangat beresedia untuk melakukan tugas melawan berota hoax ini secara ilmiah akademis dan melibatkan mahasiswa secara akitf dan praoktif.
Lembaga-lembaga keagamaan akan menjadi isntrumen utama bagi Menag untuk memfasilitas para tokoh agama baik formal maupun tidak formal untk menjadi ujung tombak melawaan berita hoax itu. Mimbar kegamaan bisa dipakai oleh setiap tokoh, ustaz, pendeta, biksu dll menjadi pembawa berita baik dan bukan hoax.
Targetnya adalah merubah mind set masyarakat, memberikan pemahaman yang benar tentang bagaimana melihat dan menyaring setiap informasi dan berita yang terus menerus menggempur masyarakat dengan konten-konten negative yang memiliki daya rusak yang luar biasa.Â
Target ini tidak muluk-mnuluk, karena hakekat manusia pada dasarnya adalah baik, mau baik, mau sempurna, mau damai, mau tenang dan mau suci adanya. Bila ini menjadi hakekat manusia, maka berita hoax akan menjadi musuhnya yang harus dihidari, dikelola dan dimusnahkan mulai dari lingkungan diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan komunitas.
Ini harus menjadi gerakan bersama seluruh rakyat yang mencintai kedamaian dan bukan kekacauan hanya karena berseliwerannya berita-berita berkonten negative. Budaya malu perlu dikembangkan ditengah-tengah masyarakat bila dia ketahuan menyebarkan berita hoax. Dengan demikian sanksi social akan diarasakan oleh mereka yang doyan dan gemar menyebarkan berita hoax.
Berita Hoax Tolok Ukur Kemajuan Bangsa
Harus diakui bahwa kemampuan masyarakat untuk mengelola berita hoax ini tergantung dari kemajuan masyarakat itu sendiri. Tesisnya dalah bahwa semakin maju suatu bangsa dan negara dan masyarakatnya maka bangsa itu memiliki daya tahan terhadap berita hoax. Demikian sebaliknya, apabila masyarakatnya masih terbekang maka dipastikan bahwa berita hoax akan memporak-porakan kehidupan social kemsyarakatannya.
Bila Indonesia masih saja dirusak oleh semacam berita hoax maka kita harus legowo mengakui bahwa memang kita masih terbelakang. Dan karenanya hidup masyarakat kita akan sangat akrab dengan berita hoax, bully, fitnah, dan lain-lain. Bila ini benar adanya, maka Indonesia harus bergegas untuk membangun republic ini menjadi salah negara maju didunia.
Mengejar ketertinggalan agar menjadi negara maju, tentu tidaklah mudah begitu saja. Tetapi, harus diakui bahwa jalur pendidikan bagi anak-anak bangsa Indonesia menjadi sarana yang bisa membebaskan rakyat pada berita-berita semacam hoax yang tidak ada gunanya. Semakin tinggi tinggat pendidikan masyarakatnya maka akan cepat meninggalkan konflik-konflik yang tidak ada faedahnya.
Berita Hoax, Politik, dan Perebutan Kekuasaan
Tidak biusa dipungkiri bahwa maraknya berita hoax tidak bisa dipisahkan dengan situasi politik di Indonesia yang nampaknya sejak reformasi bergulir tahun 1998 semakin panas dan panas. Apalgi tahun 2018 dan tahun 2019 menjadi tahun politik yang sangat panas suhunya. Selain proses pemilihan legislative diseluruh Indonesia juga pemilihanh Presiden dan Wakil Prfesiden tahun depan.
Karena begitu banyaknya partai politik di Indonesia, 20 Parpol, maka tidak bisa dihindari pemanfaatan semua media social untuk memperebutkan kekuasaannya sesuatu yang tdiak bisa dilawan. Walaupun UU ETI sudah ada tetap saja ramai-ramai dilanggar secara massive dan bervariasi. Tidak peduli sanksi yang akan mereka hadapi, tetap saja marak pelanggaran-pelanggaran itu.
Pada tataran ini, tanggungjawab moral para calon pimpinan negara ini melalui jalur legislative harusnya menjadi pintu yang baik dan efektif untuk ikut melawean dan mengurangi berita hoax yang tidak sehat.Â
Himbauan moral dan etika yang terus menerus harus dilakukan oleh Kantor Menteri Agama dan Pendidikan agar masyarakat menjadi pelaku yang sungguh-sungguh bebas dari kecenderungan menyebarkan berita hoax itu.
Tanggungjawab Media
Media merupakan salah satu pilar keempat bagi terrwujdunya demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya media yang ada, televise, koran, radio, internet, blog, website, dan lain sebagainya memiliki tanggungjawab sangat besar tentang penyebaran berita hoax ini. Artinya instrument itulah yang mudah dan efektif untuk melawan atau menumbuhkan hoax.
Saatnya pemerintah untuk tegas menyatukan gerakan para pengelola media itu untuk menjadi ujung tombak  melawan berita berkonten negative ini. Harusnya bisa apabila para media ini mau bersatu. Hanya saja dalam kenyataan harus diakui persaingan diantara bisnis media ini sangatlah ketat. Bahkan sangat mungkin ada bisnsi medaia yang menjadi fasilitastoor untuk menumbuhkan semangat menyebarkan ebrita hoax itu.Â
Semata-mata untuk kepentingan bisnisnya. Misalnya dengan acara-acara talk-show yang mengudang pertentangan negative akan menjadi panutan bagi masyarakat Indonesia untuk ditonton dan ditiru mentah-mentah. Apalagi masyarakat yang pendidikannya sangat rendah bahkan tidak berpendidikan. Berita berit yang tidak benar akan dimakan dan ditelan habis-habisan oleh mereka.
Yupiter Gulo, 3 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H