Ini kejutan karena mengapa tim ini kalah sementara didalamnya ada bintang-bintang persepakbolaan dunia. Ada apa dengan mereka sehingga begitu mudah kalah?. Kekecewaaan penonton diluruh dunia sungguh mewarnai situasi pertandingan.
Masuknya Era Disrupsi dalam Piala Dunia 2018
Menjawab pertanyaan mengapa banyak juara dunia berguguran dalam piala dunia kali ini, sejumlah diskusi lepas dikerumunan penikmat sepakbola dunia ini, mengatakan masuknya era disrupsi dalam laga sepakbola.Â
Artinya, meramalkan siapa yang akan memenangkan pertandingan pada setiap babak dan setiap group untuk setiap level tidak bisa lagi menggunakan garis linier atau garis lurus. Penggunaan ramalan linier akan memakasakan pilihan terbaik dan pemenang pada tim selama ini menjadi langganan juara, seperi Jerman, Argentina, Portugal ataupun Brazil.
Efektifitas ramalan dengan menggunakan garis liner, membutuhkan pengecekan akurasi tentang asumsi-asumsi yang melandasi ramalan itu. Dan ternyata dibagian asumsi inilah ramalan garis lurus itu gagal.Â
Asumsinya tidak memenuhi syarat secara empiris dan karenanya ramalannya salah. Cilakanya pula adalah seluruh pemain dalam tim yang diramalkan juga ikut-ikutan merasa akan menjadi pemenang dan juaranya. Akibatnya, lupa diri, dan mengabaikan lawan yang semula dianggap remeh ternyata unggul.
Inilah eranya disrupsi, dimana garis linier tidak ampuh meramalkan sesuatu secara akurat. Disrupsi menjadi pilihan melihat kecenderungan yang akan terjadi, karena munculnya variabel atau faktor-faktor baru dalam meramalkan keunggulan suatu tim. Variabel-variabel baru yang menentukan kemenangan suatu Tim, sangat tergantung situasi yang sedang dihadapi.Â
Maksudnya, tergantung siapa lawannya, dan susunan kekuatan lawan, aspek psikologis pemain tim, dan strategi yang dipilih untuk menghancurkan lawannya. Ini semua sangat tergantung dari pelatih yang mengatur strategi dan taktik berperang dilapangan.
Tim Korea Selatan tampil sangat prima, kompak, penuh stamina dan sangat energik. Nyaris mampu mengejar setiap bola yang meluncur. Tim Korea Selatan mengakui bahwa mereka merasa dianggap rendah dan remeh oleh Jerman sehingga menjadi daya dorong bagaikan anak panah keluar dari busur untuk mencetak gol.Â
Bila melihat langsung permainannya, mereka tampil tanpa beban seakan meluncur kemana-mana. Hal yang sama juga bisa disaksikan pada tim lainnya yang semua tidak diunggulkan seperti Kroasai, dan bahkan tuan rumah sendiri yaitu Tim Russia.
Teori-teori persepakbolaan yang selama ini ini dijadikan panduan seperti total foodballnya Jerman dan Belanda, tidak lagi mampu mempertahankan kemenangan yang diinginkan. Tapi, variabel kunci yang baru muncul adalah konektifitas dan akurasi.Â