Mohon tunggu...
Yupi Larosa
Yupi Larosa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Entrepeneur

Ibu yang sayang anaknya, guru yang sayang muridnya, penjual yang sayang customernya, tukang kue yang ga sayang sama jualannya, plis habiskan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan Bu Guru (Bagian Pertama): Mendadak Ustadzah

12 Oktober 2023   09:24 Diperbarui: 12 Oktober 2023   09:29 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru


Guru adalah profesi yang banyak digeluti keluarga besar bapak saya. Bapak saya dosen. Kakak dan sepupu-sepupunya guru SD sampai SMA, pamannya juga guru dengan panggilan ala khas jaman dulu : Mbah Guru. Pemandangan guru bervespa lazim dalam kehidupan masa kecil saya.

Namun begitu, tak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menjadikan guru sebagai profesi. Saya kuliah di Jurusan Biologi, memakai ilmu saya sebagai product specialist di sebuah perusahaan kosmetik dan perawatan kulit dari sebuah negara Eropa. Kemudian menjadi trainer untuk jaringan pemasaran.

Setelah punya anak saya mundur, pindah kota dan mengelola sebuah lembaga bahasa asing dengan kemampuan manajerial, bukan lagi ilmu dari bangku sekolah.

Di lembaga bahasa ini saya bersentuhan dengan anak-anak melalui tutor tutor yang saya rekrut. Orientasi saya tentu keberlangsungan lembaga, branding dan pemasukan, saya tak mengajar karena tidak punya bekal itu.

Pengalaman mengajar anak hanya dari mengajari anak sendiri. Saya cukup beruntung tidak perlu mengajari anak membaca dan berhitung secara khusus karena dia bisa sendiri secara alami hanya dari aktivitas kami sehari-hari.

Peran mengajar malah lebih banyak pada kegiatan olimpiade IPA yang disukainya. Saya adalah coach yang menyusun kurikulum belajar, menjelaskan materi dan menemaninya belajar.Sampai suatu hari, seorang teman datang ke rumah. Dia menceritakan sebuah sekolah setingkat SD yang tengah dirintis di sebuah area dimana anak-anak tidak mudah mengakses pendidikan dengan baik.

Seorang ibu baru saja resign sebagai guru TK, beliau mendirikan TPQ di lahannya dan ingin membuat sekolah. Teman saya adalah wali murid di TKnya dulu, dan dimintai tolong menjadi Kepala Sekolah. Sudah ada tujuh anak yang siap menjadi murid perdana sekolah itu.

"Maukah melihat anak-anak di sana mbak? Terus terang kami perlu sukarelawan pengajar. Barangkali mbak Yupi mau ikut turun mengajar..."

Saya sampaikan lagi bahwa saya bukan guru, namun akan datang ke sana.

Sekolah Dasar Alam

Dengan sepeda motor, perlu waktu 10 menit bagi saya untuk sampai di lokasi sekolah. Setelah masuk jalan kecil dilanjut gang, saya sampai di sebuah tempat terbuka di pinggir sawah dan memarkir sepeda motor di bawah sebuah "rumah pohon" yang terbuat dari bambu.

Di sisi kiri ada bangunan semi permanen terbuka dengan cat warna-warni berukuran 2,5 x 5 meter. Lantai dialasi karpet dan terdapat meja meja pendek di atasnya, di tembok tertempel papan tulis dari triplek warna hitam. Oh, ini ruang kelasnya...


Teman saya sudah memberi tahu bahwa karena keterbatasan maka tidak ada ruang kelas yang memadai. Ruang yang saya lihat adalah tempat ngaji anak-anak TPQ di sore hari. Anak anak SD bisa menggunakan ruangan itu dan bisa juga belajar dari mana saja di lingkungan dekat sekolah.

Sekolah mempunyai rumah pohon (sebenarnya gubuk bambu tinggi saja, bukan rumah pohon), bersebelahan dengan sawah, berdekatan dengan sungai dan gumuk, bukit kecil yang jadi kekhasan geografi Jember.

Oh iya, anak anak ini mendaftar sekolahnya gratis. Bahkan sampai seragam pun sudah disediakan. Hanya satu anak yang membayar normal seperti anak sekolah pada umumnya, ia putri dari keluarga menengah yang mempercayakan pendidikannya atas dasar kepercayaan pada pemilik yayasan yang dulu adalah guru Tknya.

Hari Pertama Menjadi Guru

Lalu saya berjumpa tujuh anak kecil, dua diantaranya perempuan yang terlihat berbeda sekali karakternya. Anak-anak yang baru lulus TK dengan pipi chubby dan gigi ompong ini bertanya : " ustadzah baru ya?"

Maunya hanya senyum, tapi kepala saya terlanjur mengangguk.

Dan anak anak ini bergantian salim sama saya tentu saja sekalian dengan keringat yang berbintik-bintik di bawah hidung hasil mereka berlarian kesana kemari.

"Ayo duduk sini semua, belajar sama miss, eh, ustadzah yupi...

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Sungguh kagok, itulah pertama kalinya dalam hidup saya yang sudah hampir 4 dasawarsa saya menyebut diri sendiri ustadzah. Biasanya dikenal dengan sebutan mbak Yupi, bu Yupi atau miss Yupi di tempat kerja.

Tiba-tiba ustadzah itu rasanya malu, seperti harus lebih soleha, begitulah kira-kira.

Kami duduk merapat, saya melakukan sedikit observasi pada tiap anak untuk mengetahui kesiapan mereka. Ada yang sudah lumayan mengenal warna dan angka dengan penyebutan yang jauh dari benar dan sebagian besar  tidak mengenal sama sekali. Jangankan Bahasa Inggris, untuk selalu berbahasa Indonesia saja tidak semua terbiasa

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Saya certified trainer, tentu terbiasa bertemu dan berbicara dengan siapa saja. Tapi saat bertemu anak-anak ini saya agak kaget dan perlu membiasakan diri.

Dari tujuh anak, enam di antaranya adalah anak sekitar area sekolah. Mereka berbicara dengan tone keras, riuh, dan dengan bahasa Madura!

Pertemuan pertama tapi sudah harus memisahkan anak yang bertengkar dimana mereka saling mengatai dan membela diri dengan bahasa Madura yang tidak saya pahami.

Ini adalah tonggak perkenalan saya dengan bahasa ketiga di tanah Jember ini. Sejak saat itu saya tak hanya mengenal taiye saja, tapi juga sangat banyak kosakata Madura lain

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Hari pertama dilalui dengan lancar dan gembira karena hanya bermain-main saja. Setelah berjanji akan datang minggu depan, saya pulang dengan wajah dan hati yang tersenyum hangat.

Gawat, anak anak ini telah memikat hati...

Jember, Oktober 2023

Yupi - Ustadzahnya anak anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun