Suara ramai riuh kini tak terdengar lagi. Tidak seperti biasanya para pedagang ikan, pedagang sayur, penjual kelontong, penjual obat yang berasal dari berbagai penjuru arah berdatangan ketika pagi mulai merangkak diatas loteng.
Aneka suara menggema di pagi buta. Mulai dari Suara tawar menawar, suara bising knalpot motor paggandeng, suara ledakan mesin benno, suara anak parakka barang ke ibu-ibu kompleks yang menenteng banyak belanjaan.
Tidak kalah juga suara lodspeaker penjual obat yang heboh dengan binatang landaknya, semuanya saling deru-menderu membuat minggu pagi semakin ramai bergembira.
Dulunya pasar Dawi-Dawi di bangun atas rasa persaudaraan antara bugis dan makassar yang merantau di tanah merah Pomalaa.Â
Sebagian pendatang yang baru tiba dari tanah selatan, membagun rumah darurat di pasar untuk ditinggali sementara hingga mereka menemukan tempat tinggal baru yang tetap.
Di saat itulah mereka mulai berinteraksi saling tukar menukar barang, mengadakan jual beli hingga kemudian berkembang menjadi pasar besar.Â
Konon, disitu juga awal Perusahaan Nikel PT. ANTAM Pomalaa melakukan rekrutmen karyawan dengan membuat sayembara bagi yang bisa membaca sila pancasila, bisa diangkat langsung menjadi karyawan. Entah.
Pasar itu sudah tak ada. Simbol kebanggan kami tiba-tiba hilang begitu saja. Kini Pasar itu digeser angkat dari tempatnya, di pindahkan satu kilo meter mengarah ke barat tepat di gerbang laut bay pass yang berdampingan dengan Teluk Bone. Cukup jauh sudah.
Bagi banyak orang, pasar tua itu diibaratkan seperti sekolah yang menghimpun kerumunan dari bermacam profesi dan berharap bisa saling berbagi ilmu dan rejeki. Pasar tua mulai nampak ramai ketika pagi menjelang dan sepi kembali jika sore menyambut.
Sama persis dengan sekolah, banyak pelajaran dan hikmah yang didapat dari situ. Sepertinya Tuhan memang sengaja menyediakan tempat bagi si tua di siang hari, agar kasih sayang rahmatNYA tertumpah dan kami bisa memungutnya di pasar itu.