Mohon tunggu...
Yunus Shahab
Yunus Shahab Mohon Tunggu... -

Lahir di palembang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Freeport Terjepit di Tengah Masa Sulit

28 Januari 2016   06:21 Diperbarui: 28 Januari 2016   21:58 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Harga saham Freeport McMoran (NYSE : FCX), induk perusahaan PT Freeport Indonesia, melorot ke angka hanya sekitar USD4 per saham dari sebelumnya berada pada kisaran normal USD50 per lembar sahamnya. Penurunan harga yang signifikan ini disebabkan oleh banyak faktor terutama kondisi harga minyak dunia yang turun tajam dalam beberapa waktu terakhir ini, disamping adanya  penurunan harga komoditas tembaga dan molybdenum sejalan dengan penurunan permintaan global akibat menurunnya perekonomian dunia. Kepastian perpanjangan kontrak anak perusahaan mereka, PTFI, juga belum final dan masih menunggu hasil renegosiasi kontrak karya dengan pemerintah Indonesia.

Harga saham yang rendah diatas terkait dengan pencapaian earnings mereka yg rendah dan bahkan merugi yang terjadi selama beberapa waktu terakhir. Hasil laporan keuangan kuartal terakhir FCX yang baru diumumkan kemarin menunjukkan kerugian dengan nilai USD - 0.2 per lembar sahamnya. Tercatat adanya kerugian perusahaan yang terjadi selama 5  kuartal terakhir.

Kalau kita cermati angka angka laporan keuangan FCX dalam beberapa periode terakhir, tampak bahwa mereka betul sedang menjalani fase ekspansi bisnis. Sebuah strategi yang dilakukan untuk memastikan keberlangsungan bisnis. Hal ini tercermin dengan tingginya angka arus kas dari kegiatan investasi yang tentunya dibarengi dengan kegiatan pembiayaan hutang jangka panjang mereka. Rasio tingkat hutang terhadap assset melambung selama beberapa periode terakhir ke level diatas 40%. Hutang ini menimbulkan biaya dana yang tidak sedikit yang harus dibiayai dari arus kas operasi perusahaan. Namun sayangnya arus kas operasi ini juga terpengaruh oleh kondisi harga yang kurang baik yang membuat posisi mereka semakin sulit dan mengharuskan mereka melakukan sesuatu untuk menyikapinya. Tingkat hutang yang tinggi FCX yang mencapai angka hingga USD 20 milyar harus diturunkan hingga USD 5-10 milyar dan itu bisa berasal dari penjualan asset, cadangan kas ditambah dengan arus kas operasi.

Untuk mendapatkan tambahan arus kas operasi tidak gampang karena harga bahan tambang juga sedang mengalami penurunan. Satu satu jalan keluarnya adalah dengan meningkatkan produksi di lokasi operasi yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Dan itu terletak di operasi mereka yang berada di Grasberg, Papua.

Yang menarik juga untuk diperhatikan dalam release laporan keuangan mereka adalah tingginya proyeksi rasio P/E FCX yang hampir sebesar 90x. Itu berarti setiap lembar saham yang dibeli hanya memberikan harapan kontribusi keuntungan per tahun sebesar 1.1%, sebuah angka yang terlalu kecil bagi investor dengan risiko yang besar terutama risiko penurunan harga saham. Hal diatas juga bisa diartikan dengan harga saham yang masih terlalu tinggi pada level sekarang. Padahal kita semua tahu bahwa harga tsb sudah demikian rendah.

Dengan demikian ditengah kondisi harga saham yang  turun, proyeksi tingkat pencapaian laba diperkirakan masih amat rendah di masa-masa mendatang. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan para pemegang saham yang berharap agar manajemen FCX mengambil tindakan yang cepat dan tepat untuk mengatasi hal tsb. Masuknya investor kakap Carl Icahn sebagai pemegang saham mayoritas individu telah mendorong langkah langkah strategis perusahaan yang akan menggiring FCX ke sebuah fase baru yang nantinya akan kita saksikan bersama bagaimana hasil akhirnya. Salah satu opsi adalah dengan melepas portfolio investasi mereka baik yang tak terkait dengan bisnis inti mereka atau yang dianggap terlalu berisiko dalam waktu dekat.  FCX juga dituntut untuk menekan tingkat hutang mereka ke level yang wajar.

"Risiko Strategi"

Keputusan FCX melakukan diversifikasi usaha beberapa tahun lalu (khususnya mulai tahun 2013)  dengan melebarkan sayap bisnis ke industri lain yaitu Oil and Gas dituding sebagai penyebab utama menurunnya harga saham mereka sekarang. Untuk membiayai investasi mereka ini mereka perlu pinjaman besar hingga total pinjaman membengkak ke angka USD 20 miliar dan ini menimbulkan biaya dana yang tinggi yang harus dihasilkan dari arus kas divisi lain yang tersebar di beberapa lokasi geografis dunia, mulai dari Arizona USA, Chile, Peru, Congo hingga Indonesia. Sayangnya tidak semua lokasi ini menguntungkan dilihat dari margin keuntungan usaha seperti di lokasi mereka yang terletak di Arizona. Mereka harus memutuskan untuk menghentikan setengah operasinya atau memutuskan secara keseluruhan kegiatan operasi disana.

Dari sisi operasi unit usaha baru mereka yang baru ini (dalam bidang Oil and Gas) mengalami kendala dengan melorotnya harga minyak yang diperkirakan dapat menyentuh angka USD 20 per barelnya. Bayangkan dengan kondisi harga minyak yang masih USD 100 per barelnya pada saat mereka memutuskan untuk masuk ke bisnis ini yang dianggap menggiurkan, sekarang mereka harus membayar mahal ongkos investasi mereka yang dianggap salah tadi. Inilah yang dinamakan sebagai risiko strategi investasi.

"Fokus pada PTFI "

Sementara itu lokasi yang paling menguntungkan dengan tingkat biaya produksi terendah di dunia ada pada PTFI, operasi mereka yang terletak di Grasberg, Papua. FCX sekarang tentunya mengandalkan PTFI sebagai 'cash cow' yang dapat menyelamatkan keberlangsungan bisnis mereka. Sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia mereka juga harus melakukan proses divestasi asset mereka disana yang kemarin sempat menimbulkan masalah dengan kasus "papa minta saham" disamping kewajiban lainnya.

Hari-hari terakhir ini mereka juga sedang disibukkan dengan perpanjangan izin ekspor PTFI, yang akan segera habis masa berlakunya. Pemerintah Indonesia melalui Menteri ESDM telah memberikan sinyal perpanjangan izin ekspor selama mereka dapat memenuhi kewajiban penyediaan dana jaminan investasi smelter sebesar USD 530 juta yang tentunya cukup memberatkan terutama di tengah situasi dan kondisi seperti sekarang. Rencana pertemuan bos baru PTFI dengan Menko Perekonomian Darmin Nasution mungkin akan membahas soal ini.

Hal ini tentunya menjadi pil pahit yang harus ditelan dan segera diputuskan ditengah kondisi sulit induk perusahaan guna memastikan bahwa kegiatan utama bisnis mereka dapat berjalan dan memastikan agar arus kas kegiatan operasi lainnya dapat tetap berjalan dengan baik.

Freeport memang tengah terjepit, namun sejarah membuktikan bahwa mereka terbiasa menghadapi masa-masa sulit seperti ini sebelumnya.

 

*) Penulis pernah bekerja di PTFI selama 13 tahun 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun