Kelima mengenai konflik agrarian, tuntutan klasik yang sejak dahulu dibawakan, sebagai sebuah tuntutan haruslah kembali di evaluasi kembali, apa eksekusi langsung mengenai peran mahasiswa dalam menyelesaikan konflik ini, ada beberapa pejuang agrarian yang memang totalitas berjuang sampai mendekam dipenjara, contohnya di Riau. Ada juga mereka yang hanya berteriak tidak mau turun kelapangan. Disini yang perlu di revisi adalah Gerakannya, tidak melulu demo membawa tuntutan yang sama, langsung turun dilapangan bersama-sama adalah bentuk solidaritas perjuangan.
Keenam mengenai penuntasan janji presiden, hal ini sangat patut dikawal, berkat pengawalan ini pula secara matematis, janji kampanye presiden Sebagian besar sudah ditepati walau belum semua tuntas, masih ada waktu untuk terus menuntaskan, maka teruslah kawal.Â
Bisa lebih konkret lagi, tuntutan janji apa yang harus diselesaikan, misal penanganan korupsi kah? Atau kebijakan yang tak bisa di ukur lainnya?, mengenai korupsi, sulit untuk diukur penuntasan janjinya, dikarenakan tidak ada  yang  secara pasti mengukur mengenai ini sudah belumnya tertuntaskan,Â
apakah dari ukuran besar nominal? Atau besar jabatan tersangkanya?, hal ini juga biasanya dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya saja, masih bisa diperdebatkan.
Atau mengenai pelanggaran HAM yang belum usai? Dari presiden sebelumnya pun sepertinya sulit menyelesaikan ini, implikasi dari actor-aktor tersebut yang masih menjabat menjadi faktor utama sehingga muncullah konflik interest didalamnya.Â
Coba kita sejenak merenung kembali janji yang sudah dituntaskan, maka tak cukup waktu secara detail untuk  di paparkan dengan dominasi janji yang berhasil di tepati.Â
Berkesimpulan bahwa poin tuntutan BEM SI ada yang layak dan tidak layak lagi menjadi poin tuntutan, baiknya point yang memalukan seperti poin pertama di coret saja, karena mencerminkan rendah intelektualitas mereka, terlebih secara urgensi, tidak begitu urgensinya tuntutan mereka lainnya yang harus melibatkan mahasiswa secara nasional dengan begitu masifnya, begitu sia-sia mereka dijalanan, padahal keringat, tenaga dan suara mereka bisa disimpan sementara untuk pengumpulan kekuatan disaat ada hal darurat yang mewajibkan mereka menjadi saluran penyambung lidah rakyat yang tumpah tak terkendali, bahkan depan istana sekalipun. Â
Pesannya, saat aksi kejarlah substansi bukan eksistensi, saat aksi kejarlah intelektualitas berdasar bukan pohon-pohon untuk bersandar, saat aksi kejarlah suara murni rakyat bukan menggendong kepentingan korporat dan saat aksi kejarlah panggung kemenangan rakyat bukan panggung komando hanya beteriak beratas namakan RAKYAT!
Sekarang kembali lah ke masing-masing kampus untuk mendiskusikan bersama poin tuntutan yang terbilang urgen dan menguji poin tersebut pada mimbar bebas di setiap kampus, sembari mencari jalan audiensi dengan pemangku kebijakan terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H