Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Simak Bahaya Laten Siasat Politik Berkedok Agama - FPI (1)

29 Maret 2022   18:23 Diperbarui: 25 April 2022   05:09 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahaya siasat agama berkedok kepentingan politik  kian menunjukan eskalasinya, terkhusus para kelompok fudamentalis agama tak henti menggelorakan semangat memperjuangkan agama yang tampil seolah terhormat dan harus diikuti oleh pengikutnya sebagai jalan yang paling benar dengan membawa agama dan Tuhan. 

Mengklasifikasi hal ini sepertinya memicu dilema bagi beberapa individu karena kejahatan yang dibalut oleh agama seakan terlihat terhormat, seperti membunuh, mendelegitimasi pemerintahan, melabel yang bersebrangan adalah thagut, rela mati bunuh diri di titik tertentu dan sebagainya. 

Penyimpangan tersebut diklaim sebagai suatu kebenaran karena berdasarkan apa yang sebenarnya keliru mereka yakini, kemudian beraktualisasi menjadi diri yang intoleran, tidak mengutamakan humanisme dan kedamaian serta kaku dalam beragama dengan eksklusifitas tinggi, kerap disebut radikal dalam beragama.

Di Indonesia, fenomena politik identitas khususnya berkedok agama sudah lama menjadi fenomena menarik untuk diperbincangkan, dengan beberapa ormas yang dianggap sebagai kelompok radikal sudah dilarang, para petingginya sudah di bui dan gerakan mereka kian menyempit karena pengikutnya makin sedikit. 

Akhir-akhir ini mereka menjelma menjadi kelompok seolah berwajah baru, pada tulisan ini akan diambil FPI misalnya, pada 25 maret 2022 kemarin mendeklarasikan pemimpin barunya yaitu menantu dari Rizieq Shihab yang bernama Muhammad Bin Husein Alatas. 

FPI (Front Pembela Islam) memang sudah dibubarkan, namun wajah barunya kini hadir bernamakan Front Persaudaraan Islam. Tidak muncul dengan wajah yang benar-benar baru kelompok ini, mereka hanya berganti nama saja dan isinya sama saja, mereka yang menganggap pemerintahan sekarang adalah pemerintahan yang oligarki, ternyata mereka lah yang oligarki. 

Pemimpin baru tersebut terpilih entah dalam mekanisme apa, tiba-tiba saja menantu Rizieq di umumkan dalam demonya 25 maret kemarin, lucu sekali mereka ini. Gibran anak Jokowi, yang mereka anggap sebagai oligarki, jelas keliru, Gibran dipilih rakyat dalam sistem Pemilu dengan dominasi suara, begitu juga menantunya.

FPI Reborn ini sama konsepnya seperti lahirnya FPI terlarang yang muncul akibat pragmatisme politik semata, dengan kata lain sesuai kebutuhan beberapa aktor politik tertentu. Setelah FPI lama dilarang, lalu muncul FPI Reborn secara sporadic. 

Konkretnya, mereka nampak hanya ingin muncul saja sebagai bursa yang kelak dianggap sebagai kelompok yang masih potensial untuk dimanfaatkan beserta masanya, maka mereka mencoba untuk tampil kembali dengan tampilan kosmetik yang cantik agar mendapat perhatian bagi pemakainya nanti. 

Mereka juga seperti mengesampingkan de jurenya, fokus mereka ingin menunjukan secara de facto dalam pergerakan demo-demonya agar kian mendapat perhatian dan pengakuan. 

Pragmatisme Politik secara konsepnya, mereka akan melihat wadahnya, untuk user pakai atau mass deployment yang pada kebutuhan-kebutuhan politik hal ini adalah lazim. 

Pertanyaan muncul, apa perbedaan antara FPI lama dengan FPI Reborn?, relevansi muncul ketika mengingat bagaimana Pilkada DKI 2017 kemarin ,FPI sebagai ormas berhasil menguntungkan Gubernur Anies Baswedan dalam mencapai kursi DKI satu, walau gagal untuk Menhan Prabowo untuk RI satu, spekulasi muncul , apakah FPI Reborn ini pesanan-pesanan politik dari beberapa actor politik tertentu? 

Kekhawatiran dengan FPI Reborn bukanlah menjadi persoalan atau fokus utama, melainkan kelompok-kelompok jaringan teroris yang selama ini Clandestine atau Underground harus menjadi perhatian, nampaknya mereka sedang membangun kekuatan dengan siasat untuk masuk dalam sektor-sektor politik. 

Seperti Jamaah Islamiah (JI), bahkan telah mendirikan partai politik yang dibentuk oleh Farid Okbah yaitu Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) berslogan "Dari masjid, Kita bangkit!", sedikit tetang Farid Okbah, dia pernah ditangkap Densus 88 dan sebagai afiliator JI dengan Al-Qaeda. 

Jika kita memaksa jauh membayangkan pada pilpres 2024, perlu diingat bahwa ada peringatan satu abad runtuhnya kekaisaran ottoman pada 1924 silam. 

Relevansinya, momentum tersebut akan menginfluence mereka untuk membangkitkan militansi, politik identitas tersebut akan bertemu menjadi satu bagai Melting Pot ditahun 2024, bukan hal yang perlu ditakuti, tetapi kita harus meningkatkan kewaspadaan dan hindari betul politik-politik identitas dengan berbagai macam siasatnya dan Negara harus hadir, jangan sampai kita diam, kemudian mereka membesar dan kita kewalahan memberangusnya. 

Jangan sampai seperti fenomena Taliban, mereka di Afghanistan meremehkan kelompok-kelompok tersebut yang ada di perbukitan dan gunung-gunung, ketika secara diam mereka berhasil mendominasi populasi, secara gampang mereka merebut Kabhul.

Ancaman ini secara komparatif bisa kita lihat pada banyak Negara seperti di Somalia dimana politik identias bergulir begitu cepat, terkenal dengan nama Muhammad Buhari yaitu cikal bakal Al Ittihad al-Islamiya yang dianggap sebagai organisasi teroris, lainnya juga di Libya, Suriah, Mali dan Afghanistan. 

Fenomena Amerika dengan mudahnya keluar dari Afghanistan karena  ingin menguasai Asia Pasifik dengan menguatnya China, kausalitas ini menjadikan geo politik global menjadikan salah satu pertimbangan utama bangsa ini sejak dini. 

Ditengah pertarungan Amerika dan China, Indonesia kemudian menjadi pertaruhan politik identitas, akhirnya kian menguat atas sentiment-sentimen global yang terjadi. 

Perlu diingat bahwa Indonesia berada dikawasan non CommonWealth, dan kita dikelilingi Negara persemakmuran. Hal ini menjadi bahaya jika tidak di terdeteksi karena setiap politik identitas menghadirkan adu domba rakyatnya sendiri, akhirnya muncul lah pengkhianat-pengkhianat bangsa.

Ketika agama dijadikan ajang politik, maka semua kejahatannya akan terlihat mulia, ini yang dimanfaakan ormas-ormas radikal. Misalnya, dengan cap "Imam Besar", semua orang akan tersihir, kemudian orang akan membenarkan seluruh tindakannya. Alhasil, seluruh kejahatan dengan sendirinya akan berusaha di eliminer dengan mulia atau terhormat, inilah imbas dari politik identitas. 

Seperti  kejamnya kelompok Al Shabaab dan Boko haram  yang masih mengadopsi politik identitas, dengan perjuangan Islam harus berkuasa, islam adalah gerakan politik yang harus diwujudkan dan pergerakan dijalan Tuhan menjadikan orang yang buta, akan tersihir. 

Walau Al Shabaab membantai suku-suku Swahili, sekte Zahiri dan kelompok di Afrika  lainnya dihabiskan oleh mereka, pengagumnya tetap ada. Jika di Indonesia tidak segera ditindak dengan cermat dan mendevaluasi bahkan mendegradasi berdasarkan fakta hukum yang ada, maka taruhannya konflik komunal sehingga kita menjadi bangsa yang hancur.

Akibat Politik berbalut Agama, menghadirkan konflik berkepanjangan. Jikalau, konfliknya pun selesai, maka resikonya adalah terbelah, Sudan contohnya terbelah menjadi Sudan utara (pemeluk Islam) dan Sudan Selatan (Pemeluk Kristen), awalnya dipicu dari konflik identitas dari Hasan Al Turabi yang menggunakan politisasi agama hingga akhirnya mereka terlibat dalam perang sipil terpanjang selama 24 tahun. 

Kemudian India, yang terpecah menjadi Pakistan karena perbedaan agama antara Hindu dan Islam, lalu Pakistan terbelah lagi menjadi Bangladesh akibat perbedaan warna kulit, kemudian Afrika dengan Negara hamparan tanpa laut saja, berbeda dengan Indonesia Negara dengan banyak pulau dan dikelilingi lautan saja konfliknya tidak selesai-selesai, karena politisisasi agama dengan leluasa bemain disana, dan terakhir semisal Libya yang sekarang Dual Government Shift hanya Karena perpecahan konflik agama.

Kalau Indonesia tidak bisa mengendalikan dan kalah melawan politik identias, akan memicu perpecahan dan konflik berkepanjangan, konsekuensi logis yang harus kita tahu dari kepicikan tersebut taruhannya tidak lain adalah keutuhan bangsa, sehingga harus benar-benar dihindari mereka yang teridentifikasi mempunyai paham radikal dan intoleran, jika mereka berkuasa maka akan meredominasi sistem Indonesia dan berhasil lah mereka menguasai Indonesia dengan segala aturan intolerannya. Taliban misalnya, yang sekarang mendiskriminasi perempuan, dan kita lihat saja kedepannya.

Next, di artikel selanjutnya! ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun