Mohon tunggu...
SatyaMeva Jaya
SatyaMeva Jaya Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, Berbagi, dan Lepas

I Never mess with my dreams "m a Sapiosexual"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lembaga Peradilan Dipegang, Demokrasi Terkekang

20 November 2021   16:55 Diperbarui: 20 November 2021   22:09 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demokrasi terancam melalui Kehakiman

Demokrasi patutnya menjadi pedoman negarawan dalam melangkah, mengambil dan melaksanakan sebuah keputusan bersama dengan memperhitungkan azaz musyawarah mufakat. Setelah lahirnya sebuah kesepakatan atau aturan, maka mereka yang terikat dalam aturan, berkewajiban  mentaatinya dan bagi pelanggar akan dikenakan sanksi dalam putusan pengadilan. Lembaga Peradilan disini adalah suatu badan yang bertugas untuk penegakan hukum warga dalam menerima, mencari dan memutuskan suatu perkara yang diberi, sesuai kaidah-kaidah konstitusi yang berlaku, konstitusi tersebut berlaku untuk semua warga. Artinya, lembaaga tersebut tidak memandang status ekonomi, jabatan politik dan Ras dalam suatu negara, tak terkecuali pemerintahan sekalipun jika melanggar, semua sama dimata hukum.

Tetapi apa jadinya jika Lembaga peradilan yang ada tidak melaksanakan fungsinya dengan seadil-adilnya? Menerima, mencari dan memutuskan suatu laporan dilaksanakan dengan tebang pilih, terutama sukar untuk melaksanakan tugasnya terhadap  pemerintah yang memimpin dengan semaunya saja dan terbuka terhadap intervensi pemerintah dalam menjalankan perannya. Perlu digaris bawahi, Lembaga peradilan  dibuat salah satunya untuk mencegah pemimpin yang otoriter, agar tidak membuat kebijakan hanya menguntungkan kawan dan membungkam lawan, salah diputuskan bersalah dan benar diputuskan tidak bersalah.

Pada artikel ini penulis akan memberikan beberapa contoh kasus dimasa lampau tentang para pemimpin negara mengintervensi dan memperalat Lembaga peradilan dengan tujuan untuk membungkam oposisi, menjalankan pemerintahan autokrasi dan mensusupi para hakim yang loyal kepada pemerintah. Sehingga tanpa disadari hal itu seolah berjalan sempurna secara konstitusional, dalam arti pemerintahan yang dijalankan tidak mencederai hukum walau dengan tujuan hanya menguntungkannya saja.

Pertama, Fujimori-Peru dikenal sebagai pemimpin yang otoriter dengan strateginya yang mengancam demokrasi, namun pada artikel ini kita mengerucut pada intervensinya kepada Lembaga Peradilan. Narasi di masa awal kepemimpinannya yaitu ia menganggap para pemimpin kongres penipu dan menyebut para hakim tidak kooperatif, kasarnya ia menyebut para hakim bajingan dan serigala, hal ini dilancaraknannya sebab saat itu para hakim tersebut di isi hakim yang dahulunya ditunjuk oleh para oposisi dan Sebagian besar mendukung Mario (lawan saat pencalonannya) dibanding Fujimori, seluruh kebijakan yang diajukannya sebanyak 126 dekrit  pun ditolak para hakim dan kongres, karena dianggap membatasi kebebasan sipil dan aturan yang autokrat. Sehingga Fujimori melangkahi kongres dan menggunakan dekrit eksekutif yang mulai membatasi dan kaku. Isu ancaman terorisme pun selalu ia angkat, terlebih kebijakan semena-mena nya saat mengeluarkan narapidana ringan agar ada ruang penjara bagi pelaku teroris, sampailah Fujimori membubarkan Kongres, pada 5 April 1992 dan menyatakan konstitusi tidak berlaku lagi, dua tahun selanjutnya ia menjadi "Tiran".

Konkretnya ia membuat Lembaga peradilan tak berdaya dengan memanfaatkan Badan Intelijen Nasional Peru Yaitu Vladimiro Montesinos, Montes diketahui banyak memvideokan aksi memeberikan atau menerima suap ratusan politikus oposisi, hakim, pengusaha, jurnalis, dll, hal itu dilakukannya guna memeras mereka agar nurut kepadanya. Montes juga memegang tiga hakim agung dan dua hakim konstitusi dan banyak hakim serta jaksa lainnya dengan caranya yaitu mengirim uang bulanan kepada mereka yang dilakukan Montes secara diam-diam sehingga sistem hukum di Peru Nampak seperti biasa. Namun dibalik layar, Montes membantu Fujimori mengamankan kekuasaannya dengan konsolidasi "imbalan uang".

Selanjutnya di Peru, saat MK Peru menyerukan akan mencegah Fujimori melanjutkan masa kekuasaan pada 1997. Para koalisi Fujimori diparlemen malah mencopot tiga dari empat hakim MK tersebut dengan alasan para hakim MK tersebut tak Konstitusional karena membatasi masa jabatan presiden, padahal hal tersebut dilakukan parlemen agar Fujimori dapat memimpin tanpa batas alias Otokrasi.

Oh iya, Fujimori melakukan Politik makan  bersamal elite, seperti di Indonesia pada salah satu Gubernur hehe tapi makan malam saja

Lanjut, tiap kali senat ingin mengesahkan undang-undang, terlebih dahulu Fujimori mengajak para pemimpin senat makan bersama, apalagi saat ia tidak bisa menerima gagasan. tampaknya ia tak sabaran dengan politik demokrasi, maka ia ingin terbebas dari etika berdemokrasi itu. 

Kedua, Juan Peron-Argentina pada 1946, dikarenakan Peron anti kubu konservatif  yang salah satunya pernah menyebut ia fasis, Peron nampaknya khawatir kepada mereka sebab dianggap sebagai ancaman yang melemahkan kekuasaannya kelak. Terlebih saat undang-undang pro buruh yang ia inginkan di batalkan oleh pengadilan, sehingga para hakim yang membatalkan UU tersebut dianggap  lebih pro kepada oposisinya yang sama-sama keras menolak UU tersebut.

Konkretnya, Peron dan para pendukungnya di kongres mencopot tiga hakim dengan alasan melanggar hukum dan hakim satunya mengundurkan diri sebelum dicopot, kemudia ia beserta kongres mengangkat empat hakim baru dan mereka loyalis peron, karena pergantian tersebut, pengadilan tidak pernah menentang Peron lagi.

Ketiga, Orban-Hungaria saat itu partai Fidesz adalah partainya Orban dan Orban saat itu menambah tujuh hakim Mahakamah Konstitusi yang semula berjumlah delapan hakim, hal itu dilakukan agar kelak partai Fidesz dapat menunjuk langsung hakim yang berkedudukan di Mahkamah Konstutsi Hungaria dengan tujuan megisisi tujuh posisi hakim baru tersebut dengan Loyalis Partainya Orban yaitu Partai Fidesz

Keempat, Chavez-Venezuela pada 1999, tokoh fenomenal ini dianggap kontroversial karena keotoriteran kepemimpinannya, dalam intervensi Lembaga peradilan, Chavez mengadakan pemilihan majelis konstituante (inkonstutional) dengan putusan majelis tersebut yaitu memberi kuasa Chavez untuk membubarkan Lembaga negara lain, termasuklah peradilan. Sebab, kuasa yang illegal ini, para hakim di Mahkamah Agung menyetujui dengan terpaksa, dan menganggap putusan tersebut constitutional, mereka (Mahkamah Agung) terpaksa karena takut dibubarkan. Sampai ada pernyataan dari Cecilia Cosa (MA), pengadilan telah "Bunuh Diri agar tidak dibunuh", tapi hasilnya sama saja, mati. Cecilia pun mengundurkan diri.

Konkretnya, ketakutan dari Mahkamag Agung itu benar, padahal mereka sudah mengalah dan menyetujui putusan dari Majelis Konstituante, tetapi Mahkamah Agung tetap saja dibubarkan dua bulan setelahnya dan digantikan Tribunal Agung Keadilan (Tribunal Supremo de Justicia), walau sudah diganti, Chavez belum sepenuhnya percaya dengan Tribunal, agar Tribunal makin patuh kepadanya, pada 2004 Chavez memperbanyak anggota Tribunal dari dua puluh menjadi tiga puluh dua hakim dan mengisi tambahan anggota tersebut dengan para loyalisnya, terbilang ampuh hal itu, selama Sembilan tahun berikutnya, tak satupun putusan Tribunal menentang pemerintah.

Berdasarkan sedikit contoh diatas dari banyak contoh kasus, sebaiknya kita lebih cermat lagi melihat cikal bakal pemimpin yang kelak dapat merusak tatanan demokrasi, para pemimpin diatas adalah pemimpin otoriter terpilih buah dari demokrasi, namun pada perjalanannya mereka merusak Lembaga-lembaga demokrasi yang seharusnya berperan menghalangi dia, menghalangi autokrasi dan otoriterianisme.

Mereka masuk pada Lembaga peradilan dengan senyap dan hukum seolah tampak baik-baik saja, walau ada pemimpin secara terang-terangan membubarkan Lembaga penjaga demokrasi, Fujimiro pada awalnya. Hal yang tak terang-terangan inilah yang harus menjadi perhatian, kita dipaksa untuk lebih cermat dalam mengamati peristiwa, terlebih banyak warga yang tak menyadari pada awalnya. Pemimpin tersebut masuk membungkam Lembaga peradilan dengan Langkah kecil bahkan sangat kecil dan tiap Langkah tersebut tampak tak penting, tak ada Langkah yang kelihatan benar-benar mengancam demokrasi, apalagi Langkah mereka tampak terkesan legal (disetujui parlemen atau dianggap constitutional oleh Mahkamah agung).

Hampir semua kasus terhadap ancaman demokrasi para calon pemimpin otoriter semasa antara PD 1 dan PD 2 seperti Hitler, Franco dan Mussolini. Semasa perang dingin seperti Castro, Marcos dan August Pincohet, sampai pada masa kini seperti chavez, Putin, Trump dan erdogan, menjalankan konsolidasi kekuasaan dengan mengecap lawan politik, pengkritik dan media non pendukung mereka sebagai ancaman eksistensial, pada kesempatan selanjutnya akan dibahas.

Sebagai penutup, inilah yang terjadi Ketika para wasit sebuah negara dipegang, Autokrat hasilnya, Otoriter kepemimpinannya dan Membungkam tiap lawannya, walau hanya baru bibit perlawanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun