Konkretnya, Peron dan para pendukungnya di kongres mencopot tiga hakim dengan alasan melanggar hukum dan hakim satunya mengundurkan diri sebelum dicopot, kemudia ia beserta kongres mengangkat empat hakim baru dan mereka loyalis peron, karena pergantian tersebut, pengadilan tidak pernah menentang Peron lagi.
Ketiga, Orban-Hungaria saat itu partai Fidesz adalah partainya Orban dan Orban saat itu menambah tujuh hakim Mahakamah Konstitusi yang semula berjumlah delapan hakim, hal itu dilakukan agar kelak partai Fidesz dapat menunjuk langsung hakim yang berkedudukan di Mahkamah Konstutsi Hungaria dengan tujuan megisisi tujuh posisi hakim baru tersebut dengan Loyalis Partainya Orban yaitu Partai Fidesz
Keempat, Chavez-Venezuela pada 1999, tokoh fenomenal ini dianggap kontroversial karena keotoriteran kepemimpinannya, dalam intervensi Lembaga peradilan, Chavez mengadakan pemilihan majelis konstituante (inkonstutional) dengan putusan majelis tersebut yaitu memberi kuasa Chavez untuk membubarkan Lembaga negara lain, termasuklah peradilan. Sebab, kuasa yang illegal ini, para hakim di Mahkamah Agung menyetujui dengan terpaksa, dan menganggap putusan tersebut constitutional, mereka (Mahkamah Agung) terpaksa karena takut dibubarkan. Sampai ada pernyataan dari Cecilia Cosa (MA), pengadilan telah "Bunuh Diri agar tidak dibunuh", tapi hasilnya sama saja, mati. Cecilia pun mengundurkan diri.
Konkretnya, ketakutan dari Mahkamag Agung itu benar, padahal mereka sudah mengalah dan menyetujui putusan dari Majelis Konstituante, tetapi Mahkamah Agung tetap saja dibubarkan dua bulan setelahnya dan digantikan Tribunal Agung Keadilan (Tribunal Supremo de Justicia), walau sudah diganti, Chavez belum sepenuhnya percaya dengan Tribunal, agar Tribunal makin patuh kepadanya, pada 2004 Chavez memperbanyak anggota Tribunal dari dua puluh menjadi tiga puluh dua hakim dan mengisi tambahan anggota tersebut dengan para loyalisnya, terbilang ampuh hal itu, selama Sembilan tahun berikutnya, tak satupun putusan Tribunal menentang pemerintah.
Berdasarkan sedikit contoh diatas dari banyak contoh kasus, sebaiknya kita lebih cermat lagi melihat cikal bakal pemimpin yang kelak dapat merusak tatanan demokrasi, para pemimpin diatas adalah pemimpin otoriter terpilih buah dari demokrasi, namun pada perjalanannya mereka merusak Lembaga-lembaga demokrasi yang seharusnya berperan menghalangi dia, menghalangi autokrasi dan otoriterianisme.
Mereka masuk pada Lembaga peradilan dengan senyap dan hukum seolah tampak baik-baik saja, walau ada pemimpin secara terang-terangan membubarkan Lembaga penjaga demokrasi, Fujimiro pada awalnya. Hal yang tak terang-terangan inilah yang harus menjadi perhatian, kita dipaksa untuk lebih cermat dalam mengamati peristiwa, terlebih banyak warga yang tak menyadari pada awalnya. Pemimpin tersebut masuk membungkam Lembaga peradilan dengan Langkah kecil bahkan sangat kecil dan tiap Langkah tersebut tampak tak penting, tak ada Langkah yang kelihatan benar-benar mengancam demokrasi, apalagi Langkah mereka tampak terkesan legal (disetujui parlemen atau dianggap constitutional oleh Mahkamah agung).
Hampir semua kasus terhadap ancaman demokrasi para calon pemimpin otoriter semasa antara PD 1 dan PD 2 seperti Hitler, Franco dan Mussolini. Semasa perang dingin seperti Castro, Marcos dan August Pincohet, sampai pada masa kini seperti chavez, Putin, Trump dan erdogan, menjalankan konsolidasi kekuasaan dengan mengecap lawan politik, pengkritik dan media non pendukung mereka sebagai ancaman eksistensial, pada kesempatan selanjutnya akan dibahas.
Sebagai penutup, inilah yang terjadi Ketika para wasit sebuah negara dipegang, Autokrat hasilnya, Otoriter kepemimpinannya dan Membungkam tiap lawannya, walau hanya baru bibit perlawanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H