Cerita ini berawal dari kehidupan sederhana yang pernah terjadi di masa kecilku dulu. Di mana pada waktu itu, untuk sekadar membeli beras teramat sangat sulit apalagi untuk membeli bahan bakar berupa gas elpiji dan teman-temannya.
Sebagai seorang gadis desa yang masih sekolah, kegiatan yang utama harusnya sekolah, bukan? Hal demikian tidak terjadi denganku. Untuk sekadar membantu meringankan beban kedua orang tua, setiap pulang sekolah, aku harus mencari kayu bakar ke hutan-hutan sekitar rumah. Baik dengan saudara, teman sejawat, bahkan sering juga dengan seorang nenek tua. Sebut saja Mbok Nah. Beliau perempuan berusia puluhan tahun lebih tua dariku. Namun, semangat juang demi menghidupi satu cucu dan suaminya yang lumpuh, Mbok Nah tidak pernah terlihat seperti orang yang gemar megeluh.
Hingga suatu hari di akhir pekan, aku mencoba datangi rumahnya.
"Assalamualaikum," Teriakku yang mungkin sudah bervolume sama tinggi dengan azan zuhur waktu itu.
Satu, dua kali aku coba mengucapkan salam lagi. Tetap tidak ada jawaban dari yang punya rumah. Antara yakin dan tidak yakin, tanganku berhasil membuka gagang pintu yang ternyata tidak terkunci itu.
Saat pintu terkuak, aku terkejut mendapati Mbok Nah ada di dekat perapian dengan berlinang air mata.
"Mbok Nah, kenapa menangis?" tanyaku sambil melihat ke sebuah kuali yang ada di atas perapian.
Ataghfirullahal'adziim. Desir hatiku yang diikuti bulir-bulir bening yang membanjir di pipi.
Masih dengan perasaan sedih dan prihatin, kuraih pundak Mbok Nah.
"Mbok, Mbok itu sudah aku anggap seperti nenekku sendiri. Kalau Mbok Nah butuh apa-apa, Mbok Nah bisa cari aku di rumah. Masya Allah, MBok ... sungguh ini bukan makanan untuk manusia. Ini makanan untuk hewan, Mbok," Ujarku masih dengan air mata yang terus susul menyusul semakin deras beranak sungai.
Mbok Nah tergugu di pelukanku.
"Mbok Nah sudah nggak tahu harus bagaimana lagi, Nduk ... hanya ini yang bisa Mbok masak untuk mengganjal perut," kata Mbok Nah sambil mengesat air mata dengan ujung selendang lusuh miliknya.
Aku amati sekali lagi sekeliling dapur dan perapian. Tidak ada apa-apa. Hanya beberapa tumpuk kayu bakar dan satu pupus pisang yang tergolek lemah di atas tanah.
"Mbok, aku mau pulang dulu. Nanti, aku balik lagi. Mbok Nah jangan ke mana-mana, ya?" jelasku sambil melangkah keluar mendekati pintu. Mbok Nah hanya mengangguk memandang kepergianku.
***
Hari telah berganti warna langit, aku telah kembali sesuai janjiku pada Mbok Nah. Satu kantong plastik warna hitam itu berisi beberapa kebutuhan pokok untuk bisa dikonsumsi Mbok Nah dan keluarganya. Setelah beberapa jam lalu aku berhasil meyakinkan kedua orang tua untuk sedikit mau berbagi pada tetangga.
"Mbok, ini ada sedikit rejeki dari kedua orang tuaku. Mungkin tak seberapa jumlahnya, tapi semoga ini bermanfaat untuk Mbok juga keluarga Mbok Nah."
Mbok Nah kembali berurai air mata. Tangannya gemetar menerima uluran dari tanganku.
"Terimalah, Mbok," jelasku meyakinkan.
Setelah sekian detik lamanya, Mbok Nah terduduk di lantai tanah. Wajahnya tersungkur ke bawah sebagai wujud syukur pada Allah. Melihat pemandangan tersebut, hatiku ngelu. Ya Allah, betapa kurang bersyukurnya aku selama ini. Di banding Mbok Nah yang ternyata biasa makan potongan pokok pisang, sering kali aku merasa lebih kurang. Lebih rendah dari orang lain. Bahkan waktu itu--di depan mataku sendiri--aku justru merasa rendah dan tak punya apa-apa lebih dari yang selama ini aku sadari.
End
Taiwan, 24 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H