"Mbok Nah sudah nggak tahu harus bagaimana lagi, Nduk ... hanya ini yang bisa Mbok masak untuk mengganjal perut," kata Mbok Nah sambil mengesat air mata dengan ujung selendang lusuh miliknya.
Aku amati sekali lagi sekeliling dapur dan perapian. Tidak ada apa-apa. Hanya beberapa tumpuk kayu bakar dan satu pupus pisang yang tergolek lemah di atas tanah.
"Mbok, aku mau pulang dulu. Nanti, aku balik lagi. Mbok Nah jangan ke mana-mana, ya?" jelasku sambil melangkah keluar mendekati pintu. Mbok Nah hanya mengangguk memandang kepergianku.
***
Hari telah berganti warna langit, aku telah kembali sesuai janjiku pada Mbok Nah. Satu kantong plastik warna hitam itu berisi beberapa kebutuhan pokok untuk bisa dikonsumsi Mbok Nah dan keluarganya. Setelah beberapa jam lalu aku berhasil meyakinkan kedua orang tua untuk sedikit mau berbagi pada tetangga.
"Mbok, ini ada sedikit rejeki dari kedua orang tuaku. Mungkin tak seberapa jumlahnya, tapi semoga ini bermanfaat untuk Mbok juga keluarga Mbok Nah."
Mbok Nah kembali berurai air mata. Tangannya gemetar menerima uluran dari tanganku.
"Terimalah, Mbok," jelasku meyakinkan.
Setelah sekian detik lamanya, Mbok Nah terduduk di lantai tanah. Wajahnya tersungkur ke bawah sebagai wujud syukur pada Allah. Melihat pemandangan tersebut, hatiku ngelu. Ya Allah, betapa kurang bersyukurnya aku selama ini. Di banding Mbok Nah yang ternyata biasa makan potongan pokok pisang, sering kali aku merasa lebih kurang. Lebih rendah dari orang lain. Bahkan waktu itu--di depan mataku sendiri--aku justru merasa rendah dan tak punya apa-apa lebih dari yang selama ini aku sadari.
End
Taiwan, 24 Juli 2018