Seperti sedang terperangkap dalam ruang kosong yang gelap. Kadang sibuk mencari jalan keluar, melebarkan pupil mata, berusaha untuk melihat apa yang bisa dijadikan penuntun jalan disekeliling ruangan, walau tak nampak, namun tetap berusaha. Namun, kadang kala juga duduk diam merundung, ketakutan menghantui, gelapnya ruang kosong membuat tubuh enggan begerak kemanapun. Hanya bisa diam, terduduk, merangkul kedua lutut yang diatasnya dagu bersender. Kaku, tapi tidak beku, kebingungan hendak berbuat apa.
Rasa dan suasana seperti itu kerap sekali terjadi, lebih tepatnya setiap kali tragedi pahit dan masalah pelik yang meninggalkan trauma menghantui pikiran. Rasanya seperti terperangkap dalam ruang kosong yang gelap. Tidak tahu hendak kemana melangkah, seakan-akan semuanya sudah tertutup. Pikiran membuat pagar sendiri terhadap cakrawalanya, tidak bisa merangsang akal yang lebih luas. Sudah berusaha mencari-cari jalan keluar, namun tidak dapat menemukan. Pada akhirnya berujung ketakutan. Ketakutan untuk melangkah maju. kemudian semakin lama semakin terpaku.
Sebuah trauma berawal dari kisah pahit dan masalah pelik di masa lalu, mengerahkan diri mencari-cari, siapa dalangnya. Berusaha untuk menemukan jawaban bertahun-tahun lamanya, siapakah orang yang patutnya disalahkan dan dijatuhi hukuman? Begitu, setiap hari kala hati merasa sepi, pikiran dijajah oleh pikiran itu sendiri.
Menangis tersedu-sedu kala sendiri dalam ketakutan dan penyesalan menjadi jalan ninja agar yang lain tidak tahu, justru makin membuat semuanya terasa sakit. Menyalahkan orang lain atas apa yang telah terjadi, sesaat memuaskan hati, namun, kemudian justru menambah beban pikiran lagi. Hmm… kadang mengumpat orang lain atas trauma yang dialami, namun ternyata belum juga memuaskan hati, tak juga dapat melepaskan trauma. Lalu, apa yang harus dilakukan? Kata benak dalam diri… bahkan ketika menyalahkan yang lain, rasa trauma nya semakin sakit, masalahnya makin pelik.
Sulit untuk menemukan apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Sampai pada suatu waktu, setelah bertahun-tahun mencari jawaban, sebuah jawaban muncul dalam benak. Jawaban yang mengatakan “berhenti menyalahkan orang lain” atas trauma yang merasuki diri bertahun-tahun lamanya. Menyalahkan orang lain hanya akan membuat borok trauma itu menjadi luka baru yang tidak pernah sembuh. Terima apa yang telah terjadi, dan berusaha untuk memperbaiki diri. Hidup tidak akan pernah menyedihkan karena trauma di masa lalu, kecuali kita memprogram kesedihan atas trauma itu dan menjadikannya berkelanjutan di dalam pikiran sendiri, sehingga trauma itu terperangkap dalam benak menjadi trauma abadi.
lanjut ke tulisan https://www.kompasiana.com/yuniwabtbt/604c2261d541df0670783625/hentikan-kemarahan-dan-kebencian-teruslah-bergerak-maju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H