Mohon tunggu...
YunitaUmar
YunitaUmar Mohon Tunggu... Buruh - Pengangguran

Anak Kampung

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Musim Paceklik dan Sistem Kapitalis di Kampungku

10 Februari 2019   18:00 Diperbarui: 10 Februari 2019   18:43 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang memiliki harapan dan impian tersendiri, termasuk Buk Ana yang ingin sekali hidup lebih baik dari sebelumnya. Sebagai petani yang hidupnya masih pas-pasan dan harus menyambi sebagai buruh tani di ladang tetangga. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan dapur yang setiap paginya harus mengepul asap. Bertahan hidup dari tahun ke tahun.

"Sekarang musim penghujan mbak, tanaman ibuk susah hidupnya di ladang. Sudah diracun tapi masih saja kurang memuaskan. Kemarin bibitnya mati terpaksa menghutang lagi untuk membeli bibit di toko."

Tidak hanya Buk Ana sendiri yang mengalami kegagalan. Ada banyak petani yang harus bertopang dagu memikirkan nasib tanamannya. Musim hujan kerap mengundang masalah tersendiri. Meski kadang musim kemarau pun menjadi merepotkan. Tanaman yang kurus, buahnya yang busuk atau batangnya tidak lagi segar dan kuat. Layu kemudian bisa saja mati.  Begitulah akhirnya musim paceklik melanda kampungku.

Lahan yang sudah diolah tidak mungkin dibiarkan kosong. Ingin diisi oleh tanaman namun bibitnya sudah keduluan rusak atau mati. Terpaksa membeli bibit baru dan kebutuhan pertanian lainnya. 

Buk Ana pergi ke salah satu toke sayuran untuk meminta pinjaman uang. Satu syarat diberikan kepada Buk Ana yaitu harus menjual hasil panen kepada toke sayuran yang memberi pinjaman. Tidak boleh menjualnya kepada orang lain. 

Perjanjian disetujui dengan berat hati. Kemudian Buk Ana pulang membawa harapan baru. Bibit ini harus tumbuh dan menghasilkan buah yang banyak. Tentu hasil panen yang banyak harus sesuai dengan harganya pula. Begitulah nasib petani di kampungku.

Sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya. Namun,  hidup masyarakatnya banyak yang tidak kunjung berubah dari tahun ke tahun. Bahkan sudah menjadi kakek dan nenekpun, masih tinggal di rumah kontrakan. Belum ada perubahan signifikan dari profesi petani. Selain usia yang terus berubah serta rambut yang terus memutih. Belum juga memenuhi harapan untuk hidup lebih layak lagi.

Yang kaya makin kaya sedangkan yang miskin akan terus melilit perut agar tetap bertahan hidup. Satu atau dua yang berhasil keluar dari jeratan. Berhasil menjadi petani sukses dan terpandang. Namun tidak bisa dinafikan pula yang kaya akan turun menjadi miskin. Mungkin perbandingannya hanya satu per seribu orang.

Petani tradisional sebut saja begitu. Tidak memiliki pengetahuan yang memadai akan seluk beluk pertanian yang benar. Meski sudah berpuluh tahun digarapnya lahan seluas apapun. Ditambah lagi peralatan pertanian yang masih sederhana. Teknologi belum masuk di kampungku tercinta. Belum bisa meniru pertanian modern di negara maju.

Dengan ketradisionalannya serta musim cuaca yang tidak menentu menjadi tantangan tersendiri. Ketika gagal panen, mendadak tanaman akan dihargai cukup mahal. Namun, apabila hasil panen menimpa ruah mendadak saja harga mengalami penurunan. Siapa sebenarnya yang mengatur harga? Kenapa harga hasil panen kerap berubah dan tidak stabil? Kadang terlalu jauh menurun, hingga para petani mengelus dada dan mengusap airmata.

Seperti Buk Ana, hasil panennya menimpa ruah. Namun, harganya murah dan itu tidak sebanding. Lebih mencekik leher lagi adalah beliau harus menjual hasil panen pada toke sayuran yang telah meminjamkan uang kepadanya. Sesuai perjanjian yang sudah disepakati. Kemana hendak diraih untung, jika ingin mencari secuil harga yang lebih tinggi kakipun tidak bisa melangkah lagi. Matematika Pertanian, Buk Ana gagal dan mengalami kerugian. Habis uang hasil panen untuk membayar hutang saja.

Siapa borjuisnya? Kemana kaum proletar? Ada sindikat kapitalis yang mengakar sejak lama dalam tradisi transaksi jual beli hasil panen. Pemilik modal dan penggarap. Seperti kisah Buk Ana yang kuceritakan ini.

Kenyataan ini membuat masyarakat bercita-cita kepada anaknya untuk keluar dari profesi petani. Berpendidikan tinggi dan mencari peruntungan di kota-kota besar. Melupakan problem ini dan menyimpulkan satu pernyataan. Bahwa profesi petani hanya menyengsarakan kehidupan.

Kampungku tercinta, siapa yang harus merubah? Terlebih lagi kepada siapa ingin diminta pertanggungjawaban. Anak-anak muda yang pergi merantau untuk menimba ilmu tidak kunjung pulang. Semakin mematikan harapan petani untuk keluar dari jeratan Kapitalis. Musim paceklik yang tak kunjung diberi solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun