Beberapa bulan terakhir ini, polemik mengenai kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi di Indonesia kembali memanas. Pasalnya, isu ini berhasil menarik perhatian berbagai pihak dengan reaksi yang berbeda pula. Mulai dari mahasiswa, Orang tua, bahkan hingga para pengamat pendidikan. Pertanyaannya, apakah kenaikan UKT ini adalah suatu beban ekonomi yang semakin memberatkan masyarakat atau justru dianggap sebagai investasi masa depan yang berharga?
Tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan UKT yang cukup signifikan berhasil menambah tekanan finansial bagi beberapa keluarga apalagi kaum-kaum medioker yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Seiring dengan kenaikan biaya hidup, penaikan beban UKT bisa menjadi tantangan besar. Dalam situasi ini, kenaikan UKT dapat menyebabkan mahasiswa maupun para calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu harus bekerja paruh waktu atau bahkan menunda kuliah mereka. Hal ini semakin memengaruhi konsentrasi serta kinerja akademis mahasiswa apabila mereka tidak mampu menyeimbangkannya dengan baik.
Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir sudah banyak laporan mengenai calon mahasiswa baru yang memilih mengundurkan diri dikarenakan mereka memperoleh UKT yang cukup tinggi. Salah satunya adalah calon mahasiswa baru di Universitas Sumatera Utara, Naffa Zahra Muthmainnah yang mengaku kecewa tidak dapat berkuliah di kampus impiannya karena orang tuanya tidak mampu membiayai uang kuliah yang terbilang mahal itu. Hal ini memancing banyak pihak untuk mengungkapkan tanggapan dan kekecewaan mereka terhadap Kemendikbudristek karena program penaikan UKT tersebut.
Di sisi lain, Kemendikbudristek berusaha untuk meluruskan kesalahpahaman terkait polemik kenaikan UKT. Pemerintah menegaskan bahwa kenaikan UKT ini diperlukan untuk mendukung biaya operasional yang terus meningkat dan untuk memastikan institusi pendidikan mampu menyediakan lingkungan belajar yang optimal bagi mahasiswanya. Kemendikbudristek juga menambahkan bahwa masih ada skema bantuan keuangan dan beasiswa yang ditujukan untuk membantu mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu agar tidak ada mahasiswa yang terpaksa putus kuliah karena kendala biaya.
Namun, pandangan dari beberapa pihak cukup berbanding terbalik dengan pernyataan di atas. Ada beberapa pihak yang menekankan bahwa pendidikan merupakan sebuah investasi masa depan yang tidak ternilai. Pendidikan tinggi dapat memperluas peluang seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan penghasilan yang lebih tinggi sehinngga kedepannya mampu untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Peningkatan biaya ini dipandang sebagai sebuah upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Karena dengan semakin tingginya biaya yang dikeluarkan, diharapkan perguruan tinggi dapat menyediakan fasilitas yang lebih baik, mendatangkan tenaga pengajar yang berkualitas, dan memberikan pendidikan yang lebih relevan. Sehingga hal ini dianggap sebagai sebuah investasi dimana para lulusannya diharapkan mampu bersaing di pasar kerja global.
Sementara itu, sempat muncul sebuah pernyataan yang cukup kontroversial dari Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie, dimana beliau mengatakan bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier yang berarti tidak wajib seseorang menempuhnya. Hal ini langsung mendapat tanggapan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mereka menegaskan pendidikan tinggi seharusnya menjadi kebutuhan dasar yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat dan berharap negara lebih berperan aktif dalam memastikan akses yang merata terhadap pendidikan tinggi, sehingga semua warga negara dapat merasakan manfaatnya tanpa terbebani finansial.
Kenaikan UKT memang menimbulkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, kenaikan ini dapat menjadi beban ekonomi yang signifikan bagi banyak keluarga, mengurangi daya beli dan memperbesar kesenjangan pendidikan. Di sisi lain, jika dilihat dari perspektif jangka panjang, pendidikan tinggi adalah investasi masa depan yang bisa membawa banyak manfaat, baik bagi individu maupun negara.
Dalam menghadapi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif. Pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan UKT diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan yang nyata dan memberikan dukungan finansial bagi mereka yang kurang mampu. Hanya dengan cara ini, pendidikan tinggi bisa menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan sekadar beban tambahan di pundak keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H