Sengketa wilayah di Laut Cina Selatan sudah menjadi perbincangan hangat dalam beberapa dekade terakhir, Ketegangan yang terjadi di wilayah ini bukanlah hal yang muncul begitu saja, melainkan hasil dari perebutan sumber daya alam, klaim-klaim historis, kepentingan ekonomi, dan dinamika kekuatan besar yang saling bertentangan. Ketegangan di Laut Cina Selatan dipandang sebagai masalah penting dalam politik global saat ini, mengingat potensinya untuk mengancam stabilitas regional dan memengaruhi perubahan keseimbangan kekuatan di wilayah Asia-Pasifik. Esai ini bertujuan untuk mengeksplorasi kompleksitas geopolitik yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan dan melihat upaya apa saja yang dilakukan Cina untuk memperkuat posisinya di wilayah serta dampakanya terhadap keamanan regional.
Akar Ketengan Laut Cina Selatan
Ketegangan ini berakar ketika Cina mengkalim nine dash line (Sembilan garis putus- putus) masuk kedalam wilayah negara Cina di dalam peta resminya. Klaim ini didasarkan pada peta yang pertama kali dipublikasikan oleh pemerintah Cina pada tahun 1947 dan telah menjadi sumber sengketa territorial yang signifikan, terutama dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia, yang juga mengklaim beberapa wilayah di area tersebut. (Johannes, 2023). Pada intinya, sembilan garis putus-putus mencerminkan aspirasi Cina untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak dan gas, serta jalur pelayaran yang strategis di Laut Cina Selatan.
Dinamika Geopolitik
Sengketa Laut Cina Selatan merupakan isu yang sangat kompleks dan berpotensi mengganggu stabilitas regional serta tatanan global. Wilayah ini memiliki kepentingan strategis yang signifikan, baik dari segi ekonomi maupun geopolitik. Laut Cina Selatan berfungsi sebagai jalur perdagangan maritim yang penting, dengan nilai perdagangan mencapai $5,3 triliun setiap tahunnya, yang mencakup hampir sepertiga dari seluruh perdagangan maritim global. (Hidayat dkk, 2024). Laut Cina Selatan adalah laut semi tertutup yang berbatasan langsung dengan Negara Vietnam di sisi barat, dengan Filipina, Malaysia dan Brunei di sisi timur, dan Indonesia dan Malaysia, di sisi selatan, serta oleh Cina dan Taiwan di sisi utara, dengan luas totalnya adalah sekitar 550-650 mil laut (lebar) dan 1200 mil laut (panjangnya). (Beckman, 2013).
Dinamika geopolitik ketegangan di Laut Cina Selatan sangat kompleks dan melibatkan berbagai aktor serta kepentingan strategis. Tiongkok, sebagai pihak pengklaim terbesar, telah mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan berdasarkan "sembilan garis putus- putus," yang menimbulkan ketegangan dengan negara-negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Tindakan Tiongkok yang agresif, termasuk pembangunan pulau buatan dan peningkatan kehadiran militer, semakin memperburuk situasi. Negara-negara lain di kawasan ini, menyadari dampak dari kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar, telah merespons dengan meningkatkan kemampuan militer mereka dan membentuk aliansi untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok.
Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, setiap negara berdaulat dapat mengklaim zona ekonomi eksklusif hingga 200 mil laut dari garis pangkal pantainya, dan hingga 12 mil laut sebagai wilayah perairan. (Hidayat dkk, 2014). Tetapi apa yang dilaukan Cina sangat bertentangan dengan Hukum Laut Internasioanal, sehingga dapat terlihat bahwa hukum internasional masih memiliki kelemahan. ASEAN juga berperan dalam memfasilitasi dialog dan negosiasi antara negara-negara yang terlibat, meskipun konsensus mengenai penyelesaian sengketa seringkali sulit dicapai . Upaya diplomatik ini penting untuk mengurangi ketegangan dan mendorong penyelesaian damai, namun tantangan tetap ada, terutama dengan tindakan tegas Tiongkok yang sering kali menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga. Keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia dalam isu ini menambah dimensi geopolitik yang lebih luas. Negara- negara ini berusaha untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok dengan meningkatkan kehadiran militer mereka dan memperdalam aliansi keamanan di kawasan . Misalnya, AS telah menyatakan komitmennya untuk menjaga kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan, yang merupakan jalur perdagangan penting bagi ekonomi global.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa ketegangan di Laut Cina Selatan tidak hanya berkaitan dengan klaim teritorial, tetapi juga melibatkan kepentingan ekonomi dan keamanan nasional yang lebih luas. Negara-negara di kawasan ini berusaha untuk menjaga kebebasan navigasi dan eksploitasi sumber daya alam, yang menjadi kunci bagi stabilitas ekonomi mereka. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa ini memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk dialog berkelanjutan, kepercayaan, dan komitmen terhadap tatanan berbasis aturan serta penghormatan terhadap hukum internasional.
Keamanan Regional
Dampak ketegangan Laut cina Selatan dapat dilihat dari berbagai aspek salah satunya keamanan regional, salah satu penyebab utamanya adalah penguatan militer yang dilakukan Tiongkok, termasuk pembangunan pulau buatan dan pangkalan militer, telah meningkatkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga apalagi negara yang masuk dalam klaim tumpang tindih wilayah. Hal Ini menciptakan suasana yang dapat meningkatkan risiko pertempuran bersenjata, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Cina telah membangun setidaknya 7 pulau buatan di kawasan Laut China Selatan, dan telah mengkontruksi pangkalan militer yang 3 diantaranya adalah pulau karang subi, Mischief da Mischief. Ketiga pulau ini telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas militer yang canggih, termasuk landasan pacu untuk pesawat terbang, hanggar untuk menyimpan dan memelihara peralatan militer, stasiun radar untuk pemantauan, serta baterai rudal untuk pertahanan. Semua fasilitas militer yang canggih itu terletak di Kepulauan Spratly, kepulauan yang diklaim oleh beberapa negara termasuk Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. (Johannes, 2023). Sikap Tiongkok yang agresif dalam hal pembangunan militer dan pengklaiman wilayah di Laut Cina Selatan sangat mengancam tidak hanya keamanan nasional negara-negara yang terlibat, tetapi juga stabilitas regional secara keseluruhan. Keberadaan militer yang kuat dan infrastrukturnya yang semakin meluas menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya eskalasi konflik, yang dapat berdampak buruk tidak hanya pada negara-negara yang terlibat langsung, tetapi juga pada hubungan internasional dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik.
Kesimpulan