Tehku sudah lama habis. Tapi aku belum bisa sedikit pun menuliskan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan tentang hari ini, 02 Mei 2014, hari Pendidikan Nasional. Akhirnya aku memutuskan untuk menuliskan saja apa-apa yang berdesakan dalam otakku yang beberapa bagian masih perlu di-upgrade ini. Maklum sebagian masih terisi tempe sisa kemarin.
Mengapa harus tanggal dua Mei? Mengapa tak 23 Juni saja seperti hari kelahiran saya? (digetok orang sekampung) Karena pada tanggal itu telah lahir seorang pahlawan bangsa yang pada masanya sangat aktif memerhatikan dunia pendidikan di Indonesia. Beliau memprakarsai dan mendirikan sebuah sekolah bercorak nasional bernama Taman Siswa. Iya, lo… yang punya kalimat terkenal Tut Wuri Handayani itu. Iya… iyaaa yang pake kaca mata seperti saya, Ki Hajar Dewantara nama panggilannya! Dan sampai sekarang kekata Tut Wuri Handayani yang artinya ‘di belakang memberi dorongan’ itu masih ‘in’ disablon pada topi-topi sekolah dan lambang pendidikan lainnya. (Untung aja nggak diganti sama kekata “Cemngudh ea cekolahnya kaka!”)
Kalau orang bijak bilang, kualitas pendidikan sebuah Negara itu bisa mencerminkan kualitas Negara itu sendiri. Well, tahu sendiri, kan, mengapa pendidikan itu menjadi hal yang penting bagi suatu Negara? Yang jelas untuk mempersiapkan SDM unggul demi tercapainya tujuan sebuah Negara. Kalau pendidikannya bobrok sudah bisa dibayangkan sendiri lah bagaimana kondisi Negara yang begitu itu.
Banyaknya berita kurang sedap (kasih Royco aja dikit) yang berembus dari dunia pendidikan akhir-akhir ini, membuat saya sebagai seorang warga Negara asli Indonesia (aku nggak bule, memang banyak yang bilang mirip, sih, tapi sumpah 100% aku Indonesaaa) merasa amat sangat miris sekali. Hatiku sangat kacau.
Mulai dari pelecehan seksual terhadap anak di sekolah Internasional yang konon katanya sudah berdiri tahunan tapi nggak punya izin. How come!!! Mana pengawasannya, Buuuk??? Terus penyelenggaraan Ujian Nasional yang terkesan dipaksakan, meski nggak sesuai lagi dengan kurikulum yang berlaku. Sampai-sampai banyaknya output-output dari sekolah di Indonesia nggak siap ‘nyemplung’ dalam dunia kerja. Alias jadi pengangguran, jomblo pula, ah SIAL. Aduh, biyuuung… itu pendidikan jenis apa yang sedang diterapkan pada sekolah-sekolah kita? Kok, udah dari TK belajar sampe tamat sarjana cuma bisa jadi pengangguran. Padahal pas UN ponten seratos, loh. IP saja nggak pernah di bawah tiga.
Itulah, banyak yang salah kaprah, sih. Belajar kok nggak mentingin proses, tapi hasil. Ada berapa orang dari kamu yang ngakunya pernah sekolah terus dapat penghargaan karena pencapaian gemilang? Hampir semua, kan? Ada nggak yang dapat penghargaan saat nilainya jelek tapi semuanya itu atas hasil karya sendiri? Ndang adong pe. Tak ada! Palingan kalo gurunya baru gajian (hatinya lagi seneng) punggungnya ditepuk pelan. “Wess, ra po po, yo. Belajar lagi biar nilainya bagus….” Belajar kok supaya nilai bagus. Rene tak kandani, belajar baca supaya bisa baca, belajar ngaji supaya bisa ngaji, kan? Belajar jalan supaya bisa jalan, belajar naik sepeda supaya bisa naik sepeda. Apa ada orang yang belajar naik sepeda supaya bisa dapet ponten seratos dari Polisi Lalu Lintas?
Penilaian itu cuma sebagian kecil dari proses belajar. Bukan, dia bukan dewanya dalam proses belajar. Itu cuma jadi acuan guru, udah sampe di mana dia berhasil ngajar. Bukan acuan murid! Ini kok udah kewalik-walik ngene, toh, yo???
Untuk mengingatkan kembali, ini ada pengertian Pendidikan menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Memanusiakan manusialah pada intinya. Jadi sama sekali bukan untuk nilai belaka.
Adapun sekolah hadir di muka bumi ini hanya sebagai salah satu wadah untuk membantu melaksanakan pendidikan saja sesuai tugas Negara yang termakhtub di Undang-undang. Selebihnya pendidikan harus dilakukan oleh seluruh makhluk di bumi persada raya ini. Ya, kalau ia seorang anak, berarti keluarganya juga ikut serta.
Jangan lepas tangan. Bayar sekolah puluhan juta, udah gitu biarin aja mau diapakan sama sekolahnya. Itu anak anda, masa depan anda. Orang tua juga punya peran serta, loh, dalam menentukan berjalan tidaknya pendidikan yang baik di sebuah sekolah. Kan ada komite sekolah yang merupakan wadah bagi para orang tua murid untuk turut melakukan pengawasan. Ngomong aja kalo udah tampak ada kejanggalan. Yeah, nggak semudah itu, sih, karena kebanyakan orang tua yang kurang care, bisa jadi karena sibuk kerja. Masyarakat kita masih disibukkan banyak hal, terutama masih berkutat persoalan kesejahteraan. Itu saja sudah menguras tenaga, ya? I know. (puk-puk para ortu murid) Aku juga begitu, tiap hari banting kulit demi sesuap nasi
Sebenarnya jika pemerintah mau aja serius dan nggak mentingin kepentingan pribadi. Pasti pendidikan kita bakalan maju. Sistemnya udah bagus, menjalankannya yang suka melenceng. Lakukan pengawasan yang ketat, jangan kendor kayak kulit nenek-nenek. Itu udah ada bukti nyata rendahnya pengawasan dari pemerintah. Sekolah yang nggak berizin bisa berdiri perkasa puluhan tahun, malah Dirjen-nya bilang sering ngundang sekolah itu buat diskusi masalah pendidikan PAUD di Indonesia. Katanya sekolah itu nggak terdaftar, kok bisa diundang? Mencurigakan. Pengawas sekolah jangan maulah disogok bakwan sama teh botol Sosro terus amplop tebel, tegas-tegas ajah. Biarin aja jadi pengawas yang dibenci asal nggak dibenci Tuhan.
Hapuskan ajalah UN itu… nggak pas lagi sama kurikulum berkarakter yang sekarang lagi didengung-dengungkan. Karakter yang bagaimana yang mau dikembangkan dari UN yang disukseskan dengan cara nyontek bersama itu??? Haih, yang nggak-nggak aja kelen, bah!
Udah gitu… untuk para guru (memandang miris) ah… apalah yang hendak kukatakan pada pahlawan tanpa tanda jasa ini, ya? Sudah digembar-gemborkan bakalan ditingkatkan kesejahteraannya melalui sertifikasi malah dipersulit. Disuruh sertifikasi, ikut lagi ujiannya, belajar lagi sampe sakit-sakitan dan ninggalin murid. Eeehhh, uangnya nggak cair-cair. Sabar-sabar aja, lah…. Sumpah, kemarin aku nangis liat tayangan tentang guru honorer di Metro TV. Beliau udah ngajar selama dua puluh tahun, tapi nggak diangkat-angkat juga jadi PNS. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya terpaksa harus jadi juru parkir di luar waktu mengajar. Garda terdepannya aja nggak dihargai, macamana pula pendidikan mau bagus. Cemonglah yang ada. Ih, gemeees… (cubit Pak Lurah, hehe, kabooor). Kenyataan pahit, gaji guru masih banyak yang jauh di bawah UMR… kala kemarin para buruh minta UMR dinaikkan lagi, guru di Indonesia masih ada kok yang gajinya hanya 300ribu per bulan. Itu pun dirappel tiga bulan sekali. Apa lagi yang jam ngajarnya sedikit. Ngiriis, eh miriiis…. Padahal pekerjaan mereka bukan mencetak benda kayak buruh, melainkan mencetak generasi bangsa yang unggul kognitif, afektif dan psikomotorik. Yang notabene adalah manusia penerus bangsa.
Yah, memajukan pendidikan di negeri ini perlu sinergitas dari seluruh stake holdernya, mulai dari masyarakat hingga kuasa tertinggi di negeri ini. Segeralah kembali pada inti pendidikan secara kaffah. Memanusiakan manusia. Bukan mem”PNS”kan manusia, bukan me”robot”kan manusia, atau malah membobrokkan manusia. Ingat, teruslah berupaya menuju pendidikan yang memerdekaan, memanusiakan manusia yang bermartabat. HORAS.
Medan, 02 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H