Perempuan itu sudah berusia lebih dari setengah abad. Uban di kepalanya yang selalu tertutup kain rapat bisa kuhitung satu-satu. Sejak kepergian kekasihnya, fajarnya dipenuhi dengan penyerahan diri kepada penciptanya. Harinya disibuki dengan berbagai urusan, mencukupi kebutuhan perut dan kantong anak-anaknya serta urusan hubungan dengan sekelompok masyarakat yang mempercayainya sebagai penghubung.
Tak banyak yang tahu hatinya acapkali merindu kekasih, merindu peluk yang menenangkan saat gundah menyapa.
Beberapa kali, tamu yang berbeda kulihat datang ke rumahnya. Namun tak lama keluar dengan wajah yang berusaha ditegakkan dan raut yang dipasang se-legawa mungkin.
Seperempat abad usiaku, setengah usianya. Mencoba untuk membuka pembicaraan dengannya mungkin tak semudah membuka dialog dengan teman sebaya. Persamaan kami, kami sama-sama sendiri. Dia, ditinggal kekasihnya menghadap Mahacinta, dan aku masih menanti pertemuan dengan kekasih yang membawaku menuju cintaNYA.
Kemudian perlahan aku mengenalnya, mencoba menyelami apa yang ada dalam pikir dan hatinya. Meski tak jarang perbedaan pendapat yang sangat tajam membuatku sejenak tergugu. Tak mudah memahaminya. Perempuan tangguh yang berusaha tetap berjalan meski terseok, memperlambat tempo, dan bahkan sejenak memaksa diri untuk berlari. Tapi dia, tetap berdiri tegak. Air matanya disimpan hanya untuk ditunjukkan kepada Penciptanya. Ah... sangat sulit untuk mencontohnya. Pilihanku kemudian hanya berusaha menjadi teman bicaranya. Tempatnya berbagi.
Sampai suatu ketika, meluncurlah dari mulutnya, siapa tamu-tamu yang datang ke rumah dan keluar dari rumah dengan wajah yang berusaha ditegakkan dan raut yang dipasang se-legawa mungkin.
"Mereka itu menawarkan diri atau menawarkan kenalannya untuk jadi suamiku"
"Lalu?"
"Ya tak tolak". Katanya tersenyum tipis.
"Alasannya?".
"Aku tahu, hidup tak mudah. Anak-anak sudah mulai besar, kebutuhan biaya pendidikan juga semakin tinggi. Mereka yang datang rata-rata berkecukupan, berpendidikan, berilmu agama. Yahh... Tapi ya ndak semuanya njuk bisa jadi alasan untuk diterima toh? Suamiku yang semoga dilimpahi ampunanNya, itu yang membimbingku sampai seperti ini. Menjalani suka duka bersama, dan kalau kamu tahu, cintaku tak pernah surut bahkan semakin bertambah dengan bertambahnya usia anak-anakku. Harta warisan terbesar darinya".
Aku mengangguk-angguk, mendengar lanjutan ceritanya.
"Kata sesepuh dan yang dikatakan juga oleh suamiku.. Orang-orang yang saling cinta itu bakal musuhan di hari akhir nanti, kecuali yang patuh sama titah Tuhannya. Aku cinta dan sayang sama almarhum suamiku. Makanya, kelak aku cuma pengen ketemu lagi sama Bapaknya anak-anakku. Walau ga ada larangan untuk nikah lagi, tapi aku ndak mau, wong dulu aku pas akad nikah udah janji, cintaku cuma untuk suamiku".
Perempuan itu menerawang, tersenyum, dan matanya berkaca-kaca.
Betapa beruntungnya lelaki yang menjadi suaminya...
Tak sabar, akupun memeluk perempuan yang mengalirkan darahnya dalam tubuhku. Ya, perempuan itu Ibuku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H