Mohon tunggu...
Yunita Rahma Fauziah
Yunita Rahma Fauziah Mohon Tunggu... -

Lahir di Jepara, besar di Kudus, Jepara, Bogor, dan saat ini mencoba belajar lebih banyak tentang hidup di Jakarta... Mencoba memaknai segala sesuatu lebih dalam, lebih detil, lebih dewasa dari sebelumnya, yuk berbagi....I Love Allah, Muhammad Rasulullah and My Family.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jangan Sunat Punya Saya

10 April 2012   05:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ini gimana ya? Ga cukup Neh?” “Ya dipaksain dikit, atau kalau perlu disiasati gimana caranya biar cukup. Kenapa siy kok bisa sampai segitunya?” Saya penasaran. “Ya,,, sudah jadi tradisi di sini. Ya memang harus gitu. Ini udah jadi sistem, mungkin kamu saja yang terlalu idealis”.

Percakapan ini mungkin memang ga jelas, apa pula hubungannya sama sunat menyunat. Ini bukan nyunat bagian vital dari lelaki ataupun perempuan. Ceritanya salah seorang temen saya dapet dana program pemerintah (kaitannya sama pertanian neh) yang katanya untuk pemberdayaan masyarakat. Dana ini digunakan untuk modal awal kelompok yang sudah dibentuk untuk berwirausaha. Pagu awalnya termasuk besar untuk ukuran saya pegawai yang lagi belajar berdiri. Tapi kemudian, temen saya itu cerita kalau dari pusat udah ada potongan sekitar belasan persen. Dan,,, penyunatan dana ini ga berhenti di situ. Pemerintah Dinas setempat juga nodong sejumlah uang (yang nilainya lebih dari belasan juta) sebagai ucapan TERIMA KASIH”. Hey,,, come on terima kasih untuk apa ya ini? Karena nandatanganin halaman persetujuan proposal? Karena PPL-nya udah bantuin sampai tahap workshop dan ndampingin workshop? Lalu siapa yang jalanin program, siapa yang nanti nanggung rugi kalau program belum berjalan lancar? Pasti orang-orang Dinas ga mau tahu urusannya 

apa ini?

Jujur saya sedih, apalagi setelah mendengar ucapan, “Mau gimana ya? Kita melawan sistem” kembali saya berpikir, sistem yang disebutkan sama temen saya itu ada dan meraja di sini di Indonesia ya karena kita mungkin terlalu permisif dan ewuh pakewuh. Saya jadi mikir juga, hakim-hakim kalau bentuknya ewuh pakewuh dan permisif ya jangan heran kalau keadilan di Indonesia ini memang nglokro. Ga nyalahin siapapun juga kalau semakin banyak yang diperes, ditindas, dan diperlakukan ga adil. (Huuffft…. saya terlalu esmoni tampaknya). Kemudian, setelah percakapan dengan teman saya itu, saya ngontak temen saya yang lain (temen saya banyak yaaa 

:lol:
:lol:
). Dia juga pernah dapet dana program serupa tapi empat tahun yang lalu. Dia bilang,, Program itu hanya berjalan baik dua tahun sejak dikenalkan. Memasuki tahun ke-tiga ya sudah,, mulai ada tumpangan politik, sarat dengan keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Intrik, dan mulut manis. Alih-alih memberdayakan masyarakat, program ini malah menjadi kendaraan “kesejahteraan” yang harusnya jadi pamong masyarakat. Ya, mereka udah jadi lintah berbaju PSH yang menghisap sesuatu yang bukan haknya.

Do it

Saya sempat sarankan sama si temen-penerima-program-bantuan itu untuk meminta kuitansi rincian dana atau semacam tanda terima kalau memang ada dana program pemerintah (yang suka memerintah memang, termasuk untuk jamaah korupsi 

:lol:
:lol:
) yang dikeluarkan dari rekening kelompok. Tapi mungkin berbagai pertimbangan temen saya masuk akal juga. Perjuangan untuk mendapatkan program itu tidak mudah, harus begadang berhari-hari, ngasih pengertian ke kelompok yang sudah pernah trauma dengan yang namanya bantuan pemerintah, serta biaya tenaga yang sudah dikeluarkan untuk workshop yang lokasinya nun jauh dari desanya akan sangat terbayar mahal jika cari masalah sama orang dinas. 
:cry:
:cry:
Dulu, saya pernah maksa minta kuitansi waktu dipalak di kelurahan deket kampus saya waktu ngurus surat keterangan kehialangan dompet. Gila memang, orang kehilangan dompet masih aja dipalak. Akhirnya mereka ga ngasih kuitansi karena ga bisa jelasin juga uang yang diminta itu uang apa. Yasudah, saya ga ngasih sejumlah uang yang mereka minta. Itu nominalnya kecil,, lha kasus temen saya ini,,, belasan juta 
:cry:
:cry:
. Saya juga sempat menawarkan opsi untuk mundur kalau memang kondisinya menyulitkan.
“Akan banyak yang tersakiti dan merasa kecewa kalau aku mundur”. Jawabnya saat saya ajukan opsi mundur dari program itu.

Sama halnya dengan program sertifikasi guru. Dinas setempat (yang saya tahu di kota saya) sempat menahan dana ini tidak turun ke masing-masing guru yang lolos sertifikasi. Banyak alasan yang disampaikan sampai akhirnya saya kesel dan su’udzon bahwa dana itu sengaja diendapkan dulu biar dinas dapat untung karena nyimpen uang di bank. Aaaahhh… saya kok jadi ga percayaan gini ya? Karena sudah sedemikian bobroknya “sistem”di sini saya hanya bisa berharap. Kalau tulisan ini bisa disebar kemana saja, biar ga banyak yang terjebak dalam “program bantuan pemerintah”yang ujung2nya bertujuan untuk “membantu pemerintah”. Dan saya juga ingin menyampaikan salut saya yang setinggi-tingginya,,, tribute to teman saya… yang tetap mau menjalankan program ini sebagai komitmen kelompok dan ini menunjukkan mentalnya adalah adalah MENTAL PAHLAWAN yang JUARA.Semoga TUHAN memudahkan jalannya… 

:)
:)
:)
:)
*tetep walau udah ditahan emosi saya terbaca,,, bukan karena saya sok idealis, tapi karena memang tak bisa permisif untuk hal-hal yang kaya gitu,,, jadi tolong,,, jangan sunat saya….* 
:lol:
:lol:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun