Mohon tunggu...
Yunita Puji Astutik
Yunita Puji Astutik Mohon Tunggu... Guru - Staff Pengajar SMA

I have problem. The problem is i have too many hobbies.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Tentang Wildan (01)

21 November 2023   11:36 Diperbarui: 21 November 2023   11:43 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrator: nitapuji

SELAMA Ara mengoceh, aku seolah masuk ke dunia lain. Suara Ara tenggelam. Seperti bicara dalam botol. Aku menatap deretan delima dengan warna merah cantik memesona. Lama-lama mereka membawaku ke perasaan itu. Perasaan yang sejak pagi ingin kulupakan. Ara pernah bilang, kalau aku banyak pikiran, aku perlu jalan-jalan dan bersosialisasi. Agar pikiran di kepalaku tidak hanya terpusat pada satu. Tapi, lihatlah. Aku sudah keluar rumah, menyibukkan diri, mencoba bersosialisasi, tapi wajah lelaki itu selalu muncul tanpa permisi. Dan akhirnya wajahnya sempurna menghilang setelah badanku terhuyung hampir jatuh. Ara, si mantan atlet taekwondo mengaku hanya menyenggolku pelan, tapi hampir membuatku tersungkur.

"Badan kamu yang lemah! Badan lemah berasal dari hati yang rapuh!" katanya.

Aku tidak pernah bercerita pada Ara tentang apa yang sedang aku hadapi, yang bagiku ini adalah ujian. Ujian perasaan pada laki-laki yang bukan mahramku. Dan ini tentang Wildan Aditama. Barangkali kalau aku cerita, Ara akan habis-habisan meledek, dan seterusnya akan dijadikan bahan gurauan. Aku tidak sanggup. Lebih baik aku simpan semuanya sendirian. Saat kamu memutuskan untuk menyimpan segalanya sendiri, kau harus sudah siap dengan risiko bahwa saat kau terluka nanti, kau akan menghadapi dan harus menanganinya sendirian. Aku sudah menyiapkan diri untuk itu. Seperti biasanya.

"Hei!" Ara menjetikkan jari di depan wajahku. "Can you please tell me, what's going on?"

Pertanyaannya dalam Bahasa Inggris membuat perutku tergelitik. Dulu, ia sangat membenci belajar bahasa. Semuanya berubah sejak ia menjadi pelatih Nasional. "Ga ada apa-apa. Emang kenapa?" aku mengambil dua buah delima dan kutaruh sembarang di troli belanja.

"Kamu yang introvert yang susah banget diajak nongkrong ngajakin aku jalan loh pagi ini. Itu mustahil. Tapi terjadi. Dan, liat! Sekalinya kamu ngajak keluar, kamu ngelamun! Masalah kerjaan, ya? Pasti iya. Ga mungkin soal percintaan. Kamu kan jomblo!"

Kamu salah, Ara. Meski jomblo, seseorang bisa jadi memiliki masalah perasaan. Dan masalah perasaan rasanya lebih rumit dari rumus fluida dinamis.

Dari stan delima, aku beranjak ke stan buah plum. "Hei! Aku ga bisa nemenin nongkrong bukan karena aku introvert. Kamu kan tau sendiri kerjaanku bukan kerjaan mudah."

"Oh iyaaa!" Ara mengeraskan suara, hingga Ibu-ibu yang sedang melintasi kami menoleh terganggu. "Aku lupa kalau kamu adalah webtunis yang karyanya lagi hits, yang masuk 5 besar populer selama setaun ini. Gawat!" ia celingak-celinguk dengan  panik lantas bergerak cepat menutupi sebagian wajahku dengan hijab yang tergerai. "Apa pembaca fanatik kamu tau wajah kamu?"

"Ish! Apaan sih!" aku mengibaskan lengan Ara.

"Aduh! Kamu bisa tiba-tiba dikerubungi orang yang mau minta tanda tangan!" matanya berbinar. Kenapa ia yang justru terlihat bersemangat?

Aku memutar bola mata. "Aku ga sepopuler itu. Dan, malah ga populer. Kayaknya pembaca fanatik Webtoon aku cuma kamu sama ..." kata-kataku terhenti.

"Sama siapa?" mata Ara berkilat-kilat semangat. Senyumnya terbit kelewat lebar. Tapi aku bahkan tidak sanggup menyebut namanya.

"Sama ... yang suka Webtoon aku lah!" aku meninggalkannya, menuju rak susu kotak.

Dan akhirnya Ara berhenti menginterogasi. Tidak lagi menyerangku dengan pertanyaan kenapa, mengapa, ada apa. Ia sekarang mengoceh ke sana kemari dan seperti biasa aku berperan menjadi pendengar yang baik. Ara seseorang yang mudah bercerita. Si bungsu dari keluarga atlet yang berjiwa bebas. Mudah baginya menceritakan segala hal. Mudah baginya mengekspresikan diri. Keluarganya adalah tipe keluarga yang ramai, kocak, konyol dan berisik. Sementara aku tipe yang memilih untuk menyimpan semuanya sendiri dan mencoba mengatasi segalanya sendiri. Aku bukan Ara. Kami benar-benar bertolak belakang. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa kami bersatu saat SMA dulu meski sekolah kami berbeda. Kami dipertemukan di ujung gang perumahan setiap pagi di jam berangkat sekolah dan aku baru tahu memiliki tetangga sebaya. Ara yang pertama menyapa. Sok kenal sok dekat. Aku si gadis dingin hanya tersenyum pendek berharap saat itu adalah pertemuan kami yang terakhir. Hari-hari berikutnya justru Ara semakin sok dekat. Hingga waktu berlalu dan Ara menjadi satu-satunya teman dekat yang kupunya. Si gadis berisik yang lama-lama membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun