"Selamat malam, Del. Sorry nih ganggu. Aku mau minta uang yang bulan lalu kamu pinjam nih, sorry banget ya. Soalnya lagi butuh banget buat bayar kos. Udah ditagih sama Bunda. Kalau besok atau lusa kira-kira kamu bisa usahain nggak? Makasih ya," sent!
Kukirim pesan itu ke teman satu organisasiku di kampus, Della. Menagih sejumlah uang yang sempat dipinjamnya beberapa waktu lalu. Bukan apa-apa, memang Bunda -panggilan untuk Ibu kosku- tidak pernah menagih pembayaran kos meskipun sudah jatuh tempo. Akan tetapi, tak enak rasanya menunda pembayaran lagi sementara Bunda sudah begitu baik seperti ibu pengganti di perantauan ini.
Kembali kulihat ruang pesan temanku ini. Centang biru tanpa balasan. Ahhh. Haruskah aku mendatanginya dan menagih langsung? Tak enak hati aku melakukannya. Mungkin bagi sebagian orang itu bukan seberapa. Tapi ... aku butuh. Honor parttime-ku belum turun juga. Sementara uang beasiswa juga perlahan menipis.
"Duh ... mungkin besok aku harus menemuinya," pikirku.
****
Keesokan harinya, selesai kelas aku bersama kedua temanku, Nay dan Ziva, menuju foodcourt kampus, sekadar membeli minum sembari menunggu kelas selanjutnya. Ah! Kebetulan sekali, kulihat Della tengah berbincang-bincang dengan teman-temannya.
"Eh, pesenin minum dulu, ya, yang biasa. Aku ada urusan bentar," pamitku pada kedua temanku.
"Okee. Mau kemana emangnya?" tanya Ziva.
"Nemuin Della bentar," jawabku seraya melangkah menuju meja yang ditempati Della dan teman-temannya.
"Hai, sorry ganggu. Boleh ngomong bentar nggak, Del?"
"Eh, hai. Boleh, kok! Ngomong aja disini," balasnya seraya tersenyum. Ah, memang dia gadis yang terlihat menyenangkan.