Mohon tunggu...
Yunita Endah Sulistiyowati
Yunita Endah Sulistiyowati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Unissula. Dosen : Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.

Hanya manusia yang butuh lebih banyak cahaya matahari pagi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filicide, Pertanyaan Terkait Siapa yang Sebenarnya Bersalah

24 April 2022   22:20 Diperbarui: 24 April 2022   22:27 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai sebuah negara dengan penduduk bermayoritaskan muslim, tentu tidak asing lagi bagi kita untuk mendengar ucapan bila seorang Ibu adalah Madrasah atau sekolah pertama bagi anaknya. Yang mana hal ini sangat berperan besar dalam aspek penanaman dasar-dasar atas norma yang berlaku dalam masyarakat guna mempersiapkan generasi terbaik.

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Hafiz Ibrahim, “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”.

Yang memiliki arti, “Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.”

Lalu bagaimana dengan perkara seorang Ibu yang justru berniat untuk membunuh anaknya sendiri?

Tentu masih segar diingatan kita kasus seorang Ibu berinisial KU di Brebes yang berniat untuk menghabisi nyawa ketiga anaknya dikarenakan ingin menyelamatkan mereka dari kehidupan yang sengsara di bawah garis kemiskinan seperti yang ia alami. Kembali mengangkat beberapa kasus yang hampir serupa, yang sebenarnya cukup marak untuk kita temui, sebut saja kasus penganiayaan pada seorang anak baik itu dalam bentuk pemberiann luka fisik maupun batin. Namun untuk kasus KU, dalam ilmu psikologi tindakannya itu secara khusus digolongkan sebagai Filicide (tindakan orang tua yaitu ayah ibu, atau ibu tiri yang membunuh putra dan putrinya sendiri dalam keadaan sadar).

Bila ada yang berpendapat bila hal ini termasuk penyakit mental yang mana muncul pada era modern terlebih lagi di tengah pandemi Covid-19, agaknya itu bukan sebuah kesimpulan yang tepat. Fenomena tersebut sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani-Romawi di mana seorang ayah dibolehkan untuk membunuh anaknya sendiri tanpa hukuman. Seterusnya di zaman Arab jahiliyah, ada banyak pula kasus anak perempuan dibunuh setelah lahir karena anak perempuan dimengerti sebagai aib bagi keluarga.

Sama seperti pengakuan salah seorang tetangga KU, pengidap Filicide sebenarnya tidak langsung melakukan aksi. Mereka pada mulanya akan menunjukkan beberapa gejala, bahkan tidak jarang pula menceritakan perihal rencananya pada beberapa orang. Namun, minimnya edukasi perihal pentingnya kesehatan mental membuat hal ini tidak dapat ditanggapi dengan serius. Kerap kali para pengidap gangguan mental yang mencoba untuk terbuka bukannya mendapatkan solusi untuk permasalahannya tapi justru mendapatkan berbagai bentuk penghakiman. Dicap gila, tidak dekat dengan Tuhan, kurang beribadah atau berdoa, dan sebagainya.

Masalahnya, penghakiman tanpa melihat keseluruhan isi cerita bukannya memberikan jalan keluar, tapi justru memperkeruh pemikiran yang bersangkutan.

Mengutip dari dalam Child Murder by Parents: A Psychiatric Review of Filicide (1969) oleh Phillip Resnick, sekiranya terdapat lima motif yang dapat dijadikan swbagai latar belakang pembunuhan seorang anak oleh orang tuanya sendiri.

Pertama altruistik, dan yang cenderung paling sering ditemui adalah kondisi mana kala orang tua bukan hanya berpikiran bila kematian adalah keputusan terbaik bagi mereka daripada hidup dalam penderitaan (ekonomi, disbilitas, penyakit, maupun kondisi tidak menyenangkan lainnya) tetapi juga tidak ingin meninggalkan anaknya begitu saja. Tidak dapat membayangkan kehidupan anaknya setelah dirinya meninggal, namun justru disalurkan secara negatif.

Kedua, psikotik akut. Terjadi ketika orang tua mengalami kelainan jiwa hingga ingin membunuh anak tanpa motif rasional. Umumnya, orang tua dipengaruhi halusinasi, epilepsi, atau delirium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun